Selasa, 15 Februari 2011

makalah hatah

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
            Hak dan kewajiban para pihak sebagai dasar penyelesaian sengketa mereka dalam masalah hukum yang diistilahkan choice of law, dan ada pula yang mempergunakan party autonomy. Istilah choice of law lebih pasti pengertiannya dari pada party autonomy. Istilah autonomy (otonom) mengandung pengertian menentukan sendiri hukum yang harus berlaku bagi mereka. Secara hukum para pihak tidak mempunyai kemampuan untuk membuat sendiri undang-undang bagi mereka. Tidak ada kewenangan untuk menciptakan hukum bagi para pihak. Mereka hanya diberikan kebebasan untuk memilih hukum mana yang mereka kehendaki untuk diterapkan dan tidak diberikan kewenangan secara otonom menentukan sendiri hukum yang harus berlaku bagi mereka. Kolleewijn mengemukakan dalam kaitan ini: “Het is slechts kiesvrijheid...Niet het recht tot self- regeling”. (Itu hanyalah kebebasan untuk memilih....bukanlah hak untuk mengatur sendiri). Perkembangan masalah otonomi para pihak ke arah kebebasan memilih hukum menjadi dasar hubungan. Kebebasan para pihak untuk memilih hukum ini ternyata tidak dibatasi untuk soal-soal perkawinan, tetapi juga dibidang hukum lainnya diakui pilihan hukum oleh para pihak, baik secara tegas maupun diam-diam, sebagai faktor yang menentukan.
            Choice of law (pilihan hukum) adalah kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan bila terjadi masalah nantinya. Tujuan penerapan pilihan hukum adalah perlakuan sama untuk kasus serupa, dan pengembangan kepentingan, tujuan dan kebijakan masyarakat. Ada beberapa alasan memberlakukan pilihan hukum, yaitu memberlakukan klausula pilihan hukum yang terdapat dalam kontrak (pengakuan) terhadap party autonomy mengesampingkan pilihan hukum, dan memberlakukan klausula pilihan hukum sebagai penunjang, dan bukan faktor penentu. Manfaat pilihan hukum adalah memuaskan para pihak karena menggunakan hak dasarnya, bersifat kepastian karena memungkinkan para pihak dengan mudah menentukan hukumnya, memberikan efisiensi dan manfaat. Dasar pertimbangan berlakunya pilihan hukum atas pemikiran bahwa semua negara tidak memiliki sistem hukum nasional yang sama. Apabila tidak ditentukan pilihan hukum, maka diterapkan hukum privat nasional.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian diatas itulah maka kelompok membagi masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:


























BAB II
PEMBAHASAN

A. PEMBAGIAN GOLONGAN HUKUM

            Pada Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda mereka membagi golongan penduduk yang ada di Indonesia menjadi:

Di dalam pasal 131 I.S (Indische Staatsregeling) yang berasal dari zaman kolonial Belanda. Menyebutkan siapa yang tergolong kedalam masing-masing golongan hukum tersebut yaitu:

Pasal 131 ayat (2) I.S mengatur mengenai hukum perdata/sipil mana yang berlaku bagi masing-masing golongan hukum tersebut:
Hukum yang berlaku ialah hukum Eropah yang isinya sama dengan isi hukum yang berlaku di negeri Belanda (Pasal 131 ayat 2 sub a I.S). Asas  ini dinamakan asas konkordansi (concordantie beginsel), yaitu hukum yang berlaku bagi golongan Eropah harus dipersamakan (= dikonkordansi) dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda.
Tetapi bilamana keadaan khusus di Indonesia memerlukan pengecualian terhadap asas konkordansi itu, maka:
Bila keperluan sosial mereka memerlukannya, maka pembuat ordonansi (surat perintah) dapat menentukan bagi mereka (pasal 131 ayat 2 sub b I.S) hukum Eropa:
Menurut I.S. (Indische Staatsregeling) ukuran untuk mengadakan golongan ini tidak lagi digunakan ukuran agama, tetapi ethnologis (keturunan bangsa) karena dengan demikian seorang Indonesia tetap akan digolongkan dalam golongan Bumi Putera walaupun dia memeluk agama kristen.

B. TITIK PERTALIAN SEKUNDER
“Secundaire aanknopingspunten”
Gautama: “faktor-faktor yang menentukan hukum manakah yang harus dipilih daripada
stelsel-stelsel hukum yang dipertautkan.”
            Status personal adalah wewenang untuk mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum pada umumnya. Hukum yang mengatur status personal dari WNI adalah hukum Indonesia sebagaimana diatur pada Pasal 16 AB (Algemeene Bepalingen) yang menentukan bahwa setiap warga Indonesia dimana pun ia berada tetap tunduk pada ketentuan hukum Indonesia.

Pilihan Hukum sebagai TPP
Pilihan Hukum dalam hubungan intern
2 atau lebih subyek hukum yang berasal dari golongan yang sama, melakukan hubungan hukum yang terhadapnya berlaku hukum bagi golongan rakyat lainnya.
Pilihan Hukum sebagai TPS
Pilihan Hukum antargolongan (intergentiele rechtskeuze)
2 atau lebih subyek hukum yang berasal dari golongan rakyat yang berbeda, melakukan hubungan hukum yg terhadapnya berlaku hukum dari salah satu golongan rakyat.

Maksud dari para Pihak “Bedoeling van partijen”
1. Secara tegas
2. Dengan sekian banyak perkataan (uitdrukkelijk)
3. Secara diam-diam (stilzwijgend)
Menarik kesimpulan dari kenyataan-kenyataan (omstandigheden)

Milieu
Suatu faktor yang dapat menentukan keberlakuan suatu hukum.
Oleh karena seorang bumiputera bertempat tinggal di dalam milieu Eropa, di tengah-tengah orang Eropa dan Timur Asing, menyewa rumah dari seorang Eropa, membuat kontrak dengan orang Eropa dan Tionghoa, maka peraturan yang berlaku baginya berkenaan dengan eksekusi dan hubungan sewa-menyewa adalah Hukum Eropa.
            Faktor milieu dapat bergandengan dengan “maksud para pihak” atau dengan konstruksi “masuk dalam suasana hukum pihak lain”. Masuk ke dalam Suasana Hukum Pihak yang Lain “Zich begeven in de rechtssfeer van den ander”
Orang yang berasal dari satu golongan rakyat lain karena untuk melakukan suatu perbuatan hukum maka ia harus masuk ke suasana hukum dari golongan rakyat lain pula. Apabila telah terjadi pemasukan oleh satu pihak ke suasana hukum pihak lain, maka disimpulkan dari kenyataan-kenyataan yang harus ditetapkan hakim dalam concreto.

C. KEWAARGANEGARAAN

1. Pengertian Warga Negara
            Istilah warga negara merupakan terjemahan istilah Belanda (saatsburger). Dalam pengertian yang sama, terjemahan istilah Inggris (citizen), dan terjemahan istilah perancisnya (citoyen). Soetanjo Wignjosoebroto mengambarkan hal ini sebagai pengaruh konsep polis pada zaman Yunani Purba, karena kedua terjemahan istilah Inggris dan Perancis tersebut arti harfiahnya adalah warga kota. Dalam Bahasa Indonesia juga dikenal istilah kaulanegara, yang berasal dari kata kaula dalam Bahasa Jawa.
            Dalam keseharian pengertian mengenai kewarganegaraan atau warga negara/rakyat sering disamakan dengan penduduk. Terkait dengan hal ini RG Kartasapoetra mengemukakan penjelasan sebagai berikut:

Dari batasan pengertian tersebut, maka rakyat mengandung pengertian atau disamakan dengan warga negara. Sedangkan penduduk mempunyai makna yang lebih luas, yakni meliputi warga negara atau rakyat maupun bukan warga negara yang terpenting disini adalah menyangkut domisilinya, oleh sebab itu penngertian penduduk dapat dibagi menjadi dua yakni:

Berdasarkan perbedaan pengertian antara warga negara dengan penduduk tersebut diatas, UUD 1945 juga mengatur perbedaaan perlakuan, khususnya mengenai perlindungan terhadap warga negara dan perlindungan terhadap penduduk. Contoh pasal-pasal yang mencerminkan hal itu adalah:
(1) Segala warga negara bersama kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian.
(3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
Ketentuan pasal seperti ini memberikan penegasan akan perlindungan terhadap warga negara.
(1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yanng Maha Esa.
(2)  Negara menjamin kemerdekan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Ketentuan pasal seperti ini jelas memperlihatkan adanya perlindungan bagi seluruh penduduk.

2. Asas-Asas Kewarganegaraan
            Sebagaimana diketahui negara itu pada hakikatnya sama dengan organisasi. Sebuah organisasi dapat berdiri dengan syarat utamanya adanya anggota. Demikian pula hal dalam negara, anggotanya dinamakan warga negara dan penduduk negara. Untuk menentukan siapa yang menjadi warga negara masing-masing negara yang merdeka dan berdaulat bebas menentukannya, sepanjang tidak bertentangan dengan pasal 15 Declaration of Human Right, pasal tersebut menentukan sebagai berikut:

Pada prinsipnya dalam menentukan kewarganegaraan ada dua asas yang digunakan, yakni:

Akibat adanya kebebasan bagi negara yang merdeka dan berdaulat tersebut maka dalam menentukan asas kewarganegaraan yang digunakan untuk menentukan warga negara ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi, yaitu:
Contoh: A dan B sepasang suami istri berkewarganegaraan Cina yang menganut asas ius sanguinis, bertempat tinggal di Indonesia yang menganut asas ius soli. Kemudian dari perkawinannya itu lahir anak (C). Terhadap  C tersebut oleh negara Indonesia diakui sebagai WNI karena lahir dalam wilayah Indonesia. Sebaliknya, negara Cina juga mengakui bahwa C adalah sebagai warga negaranya karena lahir dari orang tuanya yang berwarganegara Cina.
Contoh: A dan B adalah suami istri berkewarganegaraan Indonesia yang menganut asas ius soli. Mereka bertempat tinggal di negara Cina yang menganut asas ius sanguinis, selama mereka tinggal di negara Cina lahirlah anak (C). anak tersebut tidak diakui oleh negara Indonesia sebagai warga negaranya karena tidak lahir dalam wilayah Indonesia. Sebaliknya negara Cina juga tidak mengakui bahwa C sebagai warga negaranya, karena bukan lahir dari keturunan warga negaranya. Akibatnya C tidak mempunyai kewarganegaraan.

3. Hukum Kewarganegaraan di Indonesia
            Sebelum amandemen UUD 1945, masalah kewarganegaran diatur dalam Pasal 26 yang menyatakan bahwa:
(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang.
(2) Syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang-Undang.
            Ketentuan semacam ini memberikan penegasan bahwa untuk orang-orang  bangsa Indonesia asli secara otomatis merupakan warga negara, sedangkan bagi orang-orang bangsa lain menjadi warga Indonesia harus disahkan lebih dahulu dengan undang-undang.
            Dalam sejarah perjalanannya, pasal 26 UUD 1945 (sebelum amandemen) telah melahirkan dua persoalan sosiologis yuridis dibidang hukum kewarganegaraan, yaitu:
Keempat penafsiran semacam itu, dalam dataran hukum jelas sulit untuk dibuktikan, karena yang disebut “bangsa asli” sering hanya dikaitkan dengan aspek fisiologis manusia, seperti warna kulit, bentuk wajah. Padahal dalam berbagai aspek fisiologis manusia ini juga dapat direkayasa melalui berbagai cara. Entah berdasarkan kondisi alam atau rekayasa genitika.


Kedua persoalan sosiologis yuridis tersebut diatas, dalam dataran pelaksanaan lebih lanjut melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah ditingkatnya (dari UU sampai Keppres ataupun Inpres) atau telah menimbulkan penegakan hukum yang diskriminatif.  Bagi golongan pertama (yang diangggap pribumi, cikal bakal bangsa Indonesa ataupun orang-orang bangsa Indonesia asli secara otomatis sudah menjadi WNI. Artinya tanpa melalui upaya hukum apapun sudah dianggap sebagai WNI. Sedangkan bagi golongan kedua (non pribumi, bukan cikal bakal bangsa Indonesia ataupun orang-orang bangsa asing), untuk disebut sebagai WNI harus melakukan upaya hukum tertentu yang memakan waktu, biaya dan tenaga yang relatif  besar sebagai akibat birokrasi yang berbelit-belit.

4. Kewarganegaraan Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946
            UU pertama yang mengatur  masalah kewarganegaraan sebagai pelaksanaan dari Pasal 26 UUD 1945 adalah UU no 3 tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Indonesia, yang dibentuk tanggal 10 april 1946. UU tersebut di ubah dengan UU no 6 tahun 1947 dan UU no. 8 tahun 1947. Menurut  Pasal 1 UU no 3 tahun 1946, warga negara Indonesia adalah:

            UU no 3 tahun 1946 dalam menentukan kewarganegaraan RI lebih mengutamakan asas ius soli, sebagaimana terlihat dalam Pasal 1 huruf  huruf a, b, h dan i. Pengutamaan asas ius soli dilatarbelakangi karena kenyataan menunjukan sebelum Indonesia merdeka sudah banyak peranakan bangsa-bangsa lain yang bertempat tinggal di Indonesia, oleh karena itu kepada mereka diberikan kesempatan untuk menjadi WNI, kecuali ia menolaknya.

5. Kewarganegaraan Menurut UU Nomor 62 Tahun 1958
            UU no.62 tahun 1958 dibentuk pada saat berlakunya UUDS 1950. UU ini tetap berlaku sampai kembali berlakunya UUD 1945. Menurut Pasal 1 UU no 62 tahun 1958, warga negara Indonesia ialah:

            UU no 62 tahun 1958 pada prinsipnya menggunakan asas ius sanguinis. Namun dalam beberapa hal asas ius soli juga dipergunakan (Pasal 1 huruf f,g,h dan i). Digunakannya asas ius soli dengan maksud untuk menghindari apatride bagi orang-orang yang kebetulan ada di wilayah RI yang status kewarganegaraannya tidak jelas, terutama bila ditinjau dari status kewarganegaraan orang tuanya.

6. Kewarganegaraan Menurut UU Nomor 12 tahun 2006
            Melalui perubahan UUD 1945, terjadi perubahan terhadap Pasal 26 UUD 1945, menjadi sebagai berikut:
(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga negara.
(2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
(3) Setiap warga negara dan penduduk diatur dengan UU.

            Berdasarkan Pasal 26 ayat (3) UUD 1945 tersebut, maka lahirlah UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dengan berlakunya UU ini, sekaligus mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi UU nomor 62 tahun 1958. Lahirnya UU yang baru tersebut karena UU no 62 tahun 1958 secara filosifis, yuridis dan  sosiologi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan RI.
            Secara filosofis, UU no 62 tahun 1958 tersebut masih mengandung ketentuan-ketentuan yang belum sejalan dengan falsafah pancasila, antara lain karena bersifat deskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antar warga negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak.
            Secara yuridis, landasan pembentuk UU tersebut adalah UUDS 1950 yang sudah tidak berlaku lagi  sejak dekrit presiden 5 juli 1959 yang menyatakan kembali ke UUD 1945. Dalam perkembangannya UUD RI 1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin perlidungan terhadap HAM dan warga negara.
            Secara sosiologis, UU tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarkat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender.
            Untuk memenui tuntutan masyarakat dan melaksanakan amanat UUD sebagaimana tersebut diatas, UU ini memperhatikan asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam UU ini sebagai berikut:

            Tentang WNI diatur dalam Pasal 4 UU nomor 12 tahun 2006 yang menentukan bahwa:
WNI adalah setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian pemerintah RI:

Kemudian dalam Pasal 5 dinyatakan:
(1) Anak WNI yang lahir diluar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang bekewarganegaraan asing tetap diakui sebagai WNI.
(2) Anak WNI yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai WNI.

            Bila ketentuan diatas menimbulkan status kewarganegaraan ganda pada anak maka untuk itu dalam Pasal 6 UU no. 12 tahun 2006 dinyatakan bahwa:
(1) Dalam hal status kewarganegaraan RI terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, d, h, l dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
(2) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan didalam peraturan perundang-undangan.
(3) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 3 tahun setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin.

7. Syarat dan Tata Cara Memperoleh Kewarganegaraan RI
            Pewarganegaraan dapat diperoleh dengan syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU nomor 12 tahun 2006, yaitu:
            WNA yang kawin secara sah dengan WNI dapat memperoleh kewarganegaraan RI dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat. Pernyataan tersebut dilakukan apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah negara RI paling singkat 5 tahun berturut-turut atau paling singkat 10 tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan peroleh kewarganegaraan tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda. Dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh kewarganegaraan RI yang diakibatkan oleh kewarganegaraan ganda, maka yang bersangkutan dapat diberi izin tinggal tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
            Orang asing yang telah berjasa kepada negara RI atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi kewarganegaraan RI oleh presiden setelah memperoleh pertimbangan DPR RI, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang bersangkutan bekewarganegaraan ganda (Pasal 20 UU no 12 tahun 2006).
            Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU nomor 12 tahun 2006, yang menentukan sebagai berikut:
(1) Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah negara RI, dari ayah atau ibu yang memperoleh kewarganegaraan RI dengan sendirinya berkewarganegaraan RI.
(2) Anak WNA yang belum berusia 5 tahun yang diangkat secara sah oleh penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
(3) dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) memperoleh kewarganegaraan ganda, anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya sebagaiman dimaksud dalam Pasal 6.

8. Kehilangan Kewarganegaraan RI
            Berdasarkan Pasal 24 UU nomor 12 tahun 2006, WNI kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersngkutan:
            Ketentuan sebagaiman dimaksud dalam huruf d diatas tidak berlaku bagi mereka yang mengikuti program pendidikan di negara lain yang mengharuskan mengikuti wajib militer.

            Selanjutnya kehilangan kewarganegaraan RI juga dapat disebabkan karena adanya perkawinan dengan orang asing. Hal ini diatur dalam Pasal 26 sebagai berikut:
(1) Perempuan WNI yang kawin dengan lelaki WNA kehilangan kewarganegaraan RI jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suaminya sebagai akibat perkawinan tersebut;
(2) Laki-laki WNI yang kawin dengan perempuan WNA kehilangan kewarganegaraan RI jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istrinya sebagai akibat perkawinan tersebut;
(3) Perempuan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaiman dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi WNI dapat mengajukan pernyataan mengenai keinginannya kepada pejabat atau perwakilan RI yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
(4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan oleh perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimna dimaksud pada ayat (2) setelah 3 tahun sejak perkawinan berlangsung.


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda mereka membagi golongan penduduk yang ada di Indonesia menjadi:

Di dalam pasal 131 I.S (Indische Staatsregeling) yang berasal dari zaman kolonial Belanda. Menyebutkan siapa yang tergolong kedalam masing-masing golongan hukum tersebut yaitu:
Yang tunduk pada peraturan-peraturan golongan hukum adat ialah:
  1. Semua orang Bumi Putera (Indonesia asli) kecuali mereka yang sudah masuk kedalam suatu golongan hukum lain.
  2. Mereka yang masuk golongan hukum lain tetapi sejak lama diterima sebagai orang Bumi Putera.
Yang tunduk pada peraturan-peraturan golongan hukum Eropah (Barat) ialah:
  1. Orang Belanda.
  2. Orang lain yang berasal dari Eropah (Jerman, Inggris).
  3. Jepang, Amerika, Australia (tunduk pada B.W yang berasaskan monogami).
  4. Mereka yang lahir sebagai anak (sah) atau diakui sahnya oleh golongan yang termaktub dalam poin a,b dan c dari keturunan mereka.
Yang tunduk pada peraturan-peraturan golongan hukum adat Timur asing ialah orang asing yang lain:
  1. Cina.
  2. Arab.
  3. India, dan
  4. Pakistan.
Titik pertalian sekunder “Secundaire aanknopingspunten”
Gautama: “faktor-faktor yang menentukan hukum manakah yang harus dipilih daripada
stelsel-stelsel hukum yang dipertautkan.”
Status personal adalah wewenang untuk mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum pada umumnya. Hukum yang mengatur status personal dari WNI adalah hukum Indonesia sebagaimana diatur pada Pasal 16 AB (Algemeene Bepalingen) yang menentukan bahwa setiap warga Indonesia dimana pun ia berada tetap tunduk pada ketentuan hukum Indonesia
            Istilah warga negara merupakan terjemahan istilah Belanda (saatsburger). Dalam pengertian yang sama, terjemahan istilah Inggris (citizen), dan terjemahan istilah perancisnya (citoyen). Soetanjo Wignjosoebroto mengambarkan hal ini sebagai pengaruhkonsep polis pada zaman Yunani Purba, karena kedua terjemahan istilah Inggris dan Perancis tersebut arti harfiahnya adalah warga kota. Dalam Bahasa Indonesia juga dikenal istilah kaulanegara, yang berasal dari kata kaula dalam Bahasa Jawa.
Pada prinsipnya dalam menentukan kewarganegaraan ada dua asas yang digunakan, yakni:
            UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. UU ini memperhatikan asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam UU ini sebagai berikut:


B. SARAN

            Sipapaun warga negara Indonesia dan dimana pun ia berada maka harus tetap tunduk pada ketentuan hukum Indonesia sesuai pasal 16 AB  (Algemeene Bepalingen). Dan bagi pihak pemerintahan atau lembaga departemen sendiri yang menjamin adanya kepastian hukum hendaknya memperhatikan masalah kewarganegaraan ini dengan saksama, jangan sampai seseorang tidak mempunyai kewarganegaraan ataupun mempunyai kewarganegaraan tapi kewarganegaraannya ganda. Serta jangan mempersulit dalam mengurus urusan pemindahan kewarganegaraan dari yang sebelumnya WNA menjadi WNI dan begitu juga sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar yang baik