BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pada dasarnya
hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia baik bersifat individu
maupun kolektif. Banyaknya jumlah manusia dan beragamnya kepentingan mereka
tidak mustahil menimbulkan pergeseran antara yang satu dengan yang lainnya.
Oleh karenanya perlulah dilakukan perlindungan terhadap kepentingan tersebut
untuk kehidupan yang lebih baik. Perlindungan itu bisa dilakukan dengan
membentuk suatu peraturan atau kaidah dengan disertai sanksi yang bersifat mengikat
dan memaksa.
Kaidah hukum
tersebut harus diyakini dengan sungguh-sungguh untuk melindungi kepentingan
manusia yang akan berlaku di dalam masyarakat sebagai pedoman tentang bagaimana
seharusnya manusia bertindak baik sebagai individu maupun kelompok. Masyarakat
harus menyadari bahwa hal ini patut dilakukan . Kesadaran dari masyarakat akan
patut atau tidak patutnya dilakukan di dalam masyarakat inilah memberi wibawa
kepada kaidah hukum sehingga hukum itu ditaati. Tanpa wibawa tersebut hukum
tidak akan ditaati.
Sehubungan
dengan itu, perlulah kiranya membangun atau melakukan pembaharuan terhadap
hukum khususnya pembaharuan hukum pidana agar hukum tersebut tetap mempunyai
wibawa. Pada kajian mengenai membangun atau memperbaharui hukum bukan hanya
memperbaharui pasal-pasal yang kurang tepat diterapkan dengan keadaan sekarang,
melainkan juga harus dikaji secara komperhensif ide dasar dari pembentukan
hukum yang baru sehingga ketika diterapkan hukum tersebut tidak seperti tambal
sulam.
Dalam sejarah
panjang pembentukan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RUU KHUP) sudah semenjak lama hal ini dibahas. Hingga kini, RUU KUHP tersebut
belum juga diundangkan menjadi undang-undang. Lamanya pembahasan dimungkinkan
mengarahkan RUU KUHP menjadi lebih sempurna atau masih terus-menerus
disempurnakan seiring dengan banyaknya kejahatan baru yang timbul. Sehingga
ketika diberlakukan KUHP baru, ini dapat menjadi acuan dalam pembuatan
undang-undang khusus diluar KUHP atau sebagai aturan umum jika tidak ada
undang-undang khusus yang mengaturnya dan juga dimungkin-kan sesuai dengan perkembangan hukum dan ilmu
hukum yang terjadi.
Ide dasar
mengenai pokok pikiran tentang konsep RUU KUHP dilatarbelakangi oleh kebutuhan
dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus
perubahan/penggantian KUHP lama (Wetbook
van Strafrecht) sebagai produk hukum pemerintahan Kolonial Hindia Belanda.
KUHP WvS sekarang ini dirasakan sudah kurang cocok untuk menjawab permasalahan
hukum yang ada. Serta perlunya pembenahan mengenai sistem pemidanaan di
Indonesia. Sehingga hukum itu dapat ditegakan berdasarkan keadilan. Untuk menjamin
tetap tegaknya keadilan, maka materi hukum nasional nantinya harus disesuaikan
dengan politik hukum, keadaan dan perkembangan kehidupan berbangsa dan
bernegara bangsa Indonesia.
Upaya
pembaharuan hukum pidana termasuk dibidang penal
policy merupakan bagian dan terkait erat dengan law enforcement policy, criminal policy dan social policy. Ini berarti pembaharuan hukum pidana merupakan
bagian dari kebijakan untuk memperbaharui substansi hukum dalam rangka lebih
mengefektifkan penegakan hukum, untuk memberantas/menanggulangi kejahatan dalam
rangka perlindungan masyarakat, untuk mengatasi masalah sosial dan masalah
kemanusiaan dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional, serta upaya
peninjauan kembali pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar, atau nilai-nilai
sosio-filosofik, sosio-politik, dan sosio-kultur yang melandasi kebijakan
kriminal dan kebijakan (penegakan) hukum pidana selama ini.
Bukanlah
pembaharuan hukum pidana apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang
dicita-citakan sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan
penjajahan (KUHP WvS). Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana harus jauh
lebih baik pengaturannya dibandingkan KUHP WvS dan juga harus ditempuh dengan
pendekatan yang berorientasi pada kebijakan dan sekaligus pendekatan yang
berorientasi nilai.
Selama ini
diketahui bahwa tindak pidana dalam KUHP WvS hanya berada dalam tataran teori
saja bukan dalam suatu aturan umum, sehingga dalam penerapannya orang-orang
akan merujuk pada teori-teori yang ada. Maka dari pada itu, perlulah pengkajian
terhadap sistem pemidanaan dalam Ketentuan Umum Konsep Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2004 sebagai pembaharuan dalam hukum pidana
Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah yang telah penulis diuraikan diatas, dapat dirumuskan masalah
yang akan diteliti, sebagai berikut:
1.
Bagaimana sistem pemidanaan dalam
Ketentuan Umum Konsep RUU KUHP 2004?
C.
Sistematika
Penulisan
Untuk mempermudah
pemahaman makalah ini, maka penulis membagikannya menjadi empat bab yaitu;
Bab I Pendahuluan,
merupakan bab yang menjadi pedoman dalam penulisan yang terdiri dari: (a) latar
belakang masalah; (b) rumusan masalah; dan (c) sistematika penulisan.
Bab II merupakan
tinjauan pustaka yang terdiri dari kerangka konseptual dan kerangka teoritis
yang bersifat umum untuk dipakai sebagai dasar dalam bab pembahasan
Bab III merupakan
pembahasan yang mengenai sistem pemidanaan dalam Ketentuan Umum
Konsep RUU KUHP 2004 sebagai pembaharuan dalam hukum pidana.
Bab IV merupakan bab
penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kerangka
Konseptual
Secara singkat
sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai sistem pemberian atau penjatuhan
pidana. Menurut Jan Remmelink, pemidanaan adalah “pengenaan secara sadar dan
matang suatu azab oleh instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang
bersalah melanggar suatu aturan hukum”.[1]
L. H. C. Hulsman mengemukakan bahwa sistem pemidanaan adalah “aturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan”.[2]
Sistem pemberian atau penjatuhan pidana atau sistem pemidanaan itu dapat
dilihat dari dua sudut, yaitu dari sudut fungsional dan sudut substantif. Sudut
fungsional terdiri dari hukum pidana materil, hukum pidana formal, dan hukum
pelaksanaan pidana. Sedangkan dari sudut subtantif terdiri dari aturan umum dan
aturan khusus.
1.
Dari
sudut fungsional
Dilihat dari sudut bekerjanya/berfungsinya/prosesnya,
sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem (aturan
perundang-undangan) untuk fungsionalisasi/operasional-isasi/kongkretisasi
pidana. Dan atau keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur
bagaimana hukum pidana ditegakan atau dioperasionalkan secara kongkret sehingga
seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.
Dengan pengertian demikian, maka
sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri
dari subsistem hukum pidana materil/substantif, subsistem hukum pidana formal
dan subsistem hukum pelaksanaan pidana. Ketiga subsistem ini merupakan satu
kesatuan sitem pemidanaan karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan/ditegakan
secara kongkret hanya dengan salah satu sub sistem itu. Pengertian sistem
pemidanaan yang demikian itu dapat disebut dengan sistem pemidanaan fungsional
atau sistem pemidanaan dalam arti luas.
2.
Dari
sudut norma subtantif
Jika dilihat dari norma-norma hukum
pidana substantif, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem
aturan/norma hukum pidana materiel untuk pemidanaan; atau keseluran sistem
aturan/norma hukum pidana materiel untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan
pidana.[3]
Dengan
pengertian demikian, maka keseluruhan peraturan perundang-undangan yang ada
dalam KUHP maupun undang-undang khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan
suatu kesatuan sistem pemidanaan yang terdiri dari aturan umum dan aturan
khusus. Aturan umum terdapat dalam Buku I KUHP dan aturan khusus terdapat di
dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam undang-undang khusus di luar KUHP. Dalam
KUHP WvS terdiri dari Tiga Buku yaitu Buku I tentang aturan umum, Buku II
tentang Kejahatan dan Buku III tentang pelanggaran sedangkan dalam Konsep RUU
KUHP 2004 hanya terdiri dari dua Buku saja yaitu Buku I tentang aturan umum dan
Buku II tentang kejahatan. Berdasarkan uraian diatas, tulisan ini hanya
membatasi pengertian sistem pemidanaan dalam arti yang kedua yaitu sistem
pemidanaan subtantif yang terdapat dalam RUU KUHP, khususnya yang terdapat di
dalam ketentuan umum Buku I Konsep RUU KUHP 2004.
B.
Kerangka Teoritis
Bambang Purnomo mengatakan “perkembangan
pembaharuan pidana dan pemidanaan saat itu telah memasuki era baru dari konsep
reaksi pemidanaan (punitive reactions)
tumbuh ke arah suatu modifikasi konsep reaksi pembinaan (treatment reactions)”.[4]
Akibat munculnya paradigma baru dalam
pemidanaan tersebut, berkembang ide individualisasi pemidanaan. Sheldon Gluack
mengemukakan adanya empat prinsip yang mendasari individualisasi pemidanaan,
yaitu sebagai berikut.
a.
The
treatment (sentence-imposing) feature of the proceedings must be sharphly
differentiated from the guilt-finding phase.
b.
The
decision as to treatment must be made by a board or tribunal specially
qualified in the interprestation and evaluation of pshychiatric, psychological,
and sociatogic data.
c.
The
treatmen must be modifiable in the light of scientific reports of progress.
d.
The
right of the individual must be
safeguarded against possible arbitrariness or other onlawful action on the part
of the treatment tribunal.[5]
Kemudian Barda Nawawi Arif berpendapat,
individual pemidanaan dibangun berdasarkan ide keseimbangan dalam pemidanaan,
yaitu mencakup empat hal berikut.
- Keseimbangan
monodualistik antara kepentingan umum atau masyarakat dengan kepentingan
individu atau perorangan. Dalam ide keseimbangan tersebut, kepentingan
umum dan kepentingan individu tersebut tercakup ide
perlindungan/kepentingan korban, dan ide individualisasi pemidanaan.
- Keseimbangan
antara unsur objektif (yaitu perbuatan atau lahiriah) dengan unsur
subjektif (batiniah atau sikap batin), dan ide daatdaader strafrecht.
- Keseimbangan
antara kriteria formel dan dengan materiel.
- Keseimbangan
antara kepastian hukum dengan kelenturan atau elastisitas atau
fleksibelitas, dan keadilan.[6]
Titik tekan pengkajian teori individualisasi pemidanaan adalah
pada unsur pertanggungjawaban pidana (criminal
responsibility), yaitu terkait dengan unsur kesalahan dalam arti luas, dan
bagaimana memahami pelaku kejahatan secara totalitas untuk mengantaskan pelaku
kejahatan dari jalan yang sesat. Dengan demikian, teori individualisasi
pemidanaan merupakan salah satu pendekatan untuk lebih mengefektifkan
pencapaian tujuan pemidanaan.[7]
Individulisasi pemidanaan adalah
pelaksanaan pidana yang selalu disesuaikan dengan laporan keadaan pribadi
pelaku. Teori individualisasi pemidanaan merupakan konsekuensi logis dari
pemikiran aliran positif dalam hukum pidana, yang berpendirian bahwa manusia
adalah mahluk tuhan yang bersifat dependen. Teori individualisasi pemidanaan
merupakan pemikiran yang progresif sebagai upaya untuk mendekatkan pada upaya
pencapaian tujuan pemidanaan, dengan menggunakan pendekatan humanistik dan
medis.
Disamping itu, juga ada teori-teori
pemidanaan (dalam banyak literatur hukum disebut dengan teori hukum pidana/strafrecht-theorien) yang berhubungan lansung
dengan pengertian hukum pidana subjektif. Teori-teori ini mencari dan
menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana
tersebut. Ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini, namun yang
banyak itu dapat dikelompokan kedalam tiga golongan besar, yaitu:[8]
1. Teori
absolut atau teori pembalasan (vergeldings
theorien).
2. Teori
relatif atau teori tujuan (doel theorien.)
3. Teori
gabungan (vernegings theorien).
Teori absolut,
dasar berpijak teori ini adalah pembalasan. Ini dasar pembenar dari penjatuhan
penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana
karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan, dan perkosaan hak serta
kepentingan hukum baik untuk pribadi, masyarakat atau negara yang telah
dilindungi. Oleh karena itu, ia harus
diberi pidana yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya. Penjatuhan
pidana yang pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat
telah berbuat penderitaan bagi orang lain. Setiap kejahatan tidak boleh tidak
harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, tidak dilihat dari akibat-akibat apa
yang dapat timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak memerhatikan masa depan,
baik terhadap diri penjahat maupun masyarakat. Menjatuhkan pidana tidak
dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud satu-satunya
penderitaan bagi penjahat.
Tindakan
pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu:
1. Ditujukan
pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan);
2. Ditujukan
untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan masyarakat (sudut
objektif dari pembalasan).
Bila seseorang
melakukan kejahatan, ada kepentingan hukum yang terlanggar. Akibat yang timbul,
tidak lain berupa suatu penderitaan baik fisik maupun psikis, ialah berupa
perasaan tidak senang, sakit hati, amarah, tidak puas, terganggunya ketentraman
batin. Timbulnya perasaan seperti ini bukan saja pada korban langsung, tetapi
juga masyarakat umumnya. Untuk memuasakan atau menghilangkan penderitaan
seperti ini (sudut subjektif), kepada pelaku kejahatan harus diberikan
pembalasan yang setimpal (sudut objektif), yakni berupa pidana yang tidak lain
suatu penderitaan pula. Oleh sebab itulah, dapat dikatakan bahwa teori
pembalasan ini sebenarnya mengejar kepuasan hati, baik korban dan keluargannya
maupun masyarakat pada umumnya.
Teori relatif
atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk
menegakan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana ialah tata tertib
masyarakat, dan untuk menegakan tata tertib itu diperlukan pidana. Pidana
adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata
tertib masyarakat tetap terpelihara. Ditinjau dari sudut pertahanan masyarakat
itu tadi, pidana merupakan suatu yang terpaksa perlu diadakan. Untuk mencapai
tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai sifat
menakut-nakuti, bersifat mamperbaiki, dan juga bersifat membinasakan. Sementara
itu, sifat pencegahan dari teori ini ada dua macam yaitu, pencegahan umum dan
pencegahan khusus.
Sedangkan teori
gabungan, mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata
tertib masyarakat. Dengan kata lain, dua alasan ini menjadi dasar dari
penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan
besar, yaitu sebagai berikut:
1.
Teori gabungan yang mengutamakan
pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang
perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.
2.
Teori gabungan yang mengutamakan
perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana
tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.
BAB III
Sistem
Pemidanaan Dalam Ketentuan Umum
Konsep
RUU KUHP 2004
Sebagaimana
telah dikemukakan di awal tadi, sistem pemidanaan ditujukan untuk mengambil
langkah bagaimana menjatuhkan pidana terhadap pelaku yang melanggar aturan. Dalam hal pembaharuan hukum pidana, Konsep RUU
KUHP 2004 telah merancang mengenai sistem pemidanaan sefokus mungkin yang
sedikit berbeda dari KUHP WvS. Lebih jelasnya, perhatikan tabel dibawah ini:
No
|
Buku I KUHP
WvS
|
Buku I Konsep
KUHP 2004
|
1.
|
BAB I. Tentang batas-batas berlakunya
aturan pidana dalam perundang-undangan
|
BAB I. ruang
lingkup berlakunya ketentuan peraturan perundang-undangan pidana
Bagian Kesatu:
menurut waktu
Bagian Kedua:
menurut tempat
Bagian Ketiga:
waktu tindak pidana
Bagian
Keempat: tempat tindak pidana
|
2.
|
BAB II.
Tentang pidana
|
BAB II. Tindak
pidana dan pertanggungjawaban pidana
Bagian Kesatu:
tindak pidana
Bagian Kedua:
pertanggungjawaban pidana
|
3.
|
BAB III.
Tentang hal-hal yang menghapuskan, mengu-rangkan, atau memperberat-kan
pengenaan pidana
|
BAB III.
Pemidanaan, pidana, dan tindakan
Bagian Kesatu:
pemidanaan
Bagian Kedua: pidana
Bagian Ketiga:
tindakan
Bagian
Keempat: pidana dan tindakan bagi anak
Bagian kelima:
faktor-faktor yang memperingan dan memperberat pidana
Bagian keenam:
perbarengan
|
4.
|
BAB IV.
Tentang percobaan
|
BAB IV.
Gugurnya kewenangan penuntutan dan pelaksanaan pidana
Bagian kesatu:
gugurnya kewenangan penuntutan
Bagian kedua:
gugurnya kewenangan pelaksanaan pidana
|
5.
|
BAB V. tentang
penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana
|
BAB V.
pengertian istilah
|
6.
|
BAB VI.
Tentang perbarengan (concursus)
|
BAB VI.
Ketentuan penutup
|
7.
|
BAB VII.
Tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal
kejahatan–kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan
|
|
8.
|
BAB VIII.
Tentang hapusnya kewenangan kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana
|
|
9.
|
BAB IX.
Tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang
|
|
10.
|
Aturan Penutup
|
|
Dari tabel
diatas, Buku I KUHP WvS terdiri dari 9 (Sembilan) bab dan 1 (satu)
aturan penutup, sedangkan Konsep KUHP baru hanya terdiri dari 6 (enam) bab
saja. Perbedaan ini seakan menunjukan adanya fokus masalah pokok dalam hukum
pidana, yaitu masalah tindak pidana, masalah pertanggungjawaban pidana, serta
masalah pidana dan pemidanaan. Ini hanya terdapat dalam Konsep KUHP, sedangkan
KUHP WvS pengaturan masalah pokok hukum pidana tidak tersusun secara urut.
Adanya pemisahan
sistem konsep yang demikian bertolak dari pandangan dualistis yang memisahkan antara
tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, maka dalam konsep juga membuat
subbab khusus tentang tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Sedangkan
dalam KUHP WvS tidak ada bab atau subbab yang mengatur tentang
pertanggungjawaban pidana (kesalahan). Adanya pemisahan tersebut, maka dalam
Konsep KUHP juga memisahkan ketentuan tentang alasan pembenar yang ditempatkan
di subbab tindak pidana dan alasan pemaaf ditempatkan dalam subbab
pertanggungjawaban pidana. Dalam Konsep KUHP baru, hukum pidana tidak hanya
menitikberatkan pada perbuatan dan akibat yang ditimbulkan saja yang
dipengaruhi aliran klasik, namun juga berorientasi pada orang atau kesalahan
yang akan melakukan tindak pidana, yang dipengaruhi oleh aliran modern.
Sebagaimana
telah dipaparkan diatas, terdapat tiga masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu
tindak pidana, pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaan. Kesemua
itu menunjukan sistem pemidanaan yang harus dibangun sebagai pembaharuan dalam
Konsep KUHP baru. Sehingga apa yang dicita-citakan hukum untuk menegakan
keadilan setinggi-tingginya benar-benar bisa tercapai. Untuk lebih memahaminya,
maka akan dijelaskan satu persatu bagian tersebut.
1.
Tindak pidana
Bagian
ini menjadi bagian baru, yang biasanya strafbaar feit berada di dalam tataran
teori, kini telah menjadi normatif.
a) Dasar
patut dipidananya perbuatan
Untuk dapat
dipidananya suatu perbuatan, ini berkaitan erat dengan sumber hukum atau
landasan legalitas yang menyatakan bahwa apakah perbuatan yang dilakukan
merupakan tindak pidana atau bukanlah suatu tindak pidana, sebagaimana hal
tersebut dalam KUHP saat ini. Konsep KUHP juga tetap bertolak dari asas
legalitas formal (bersumber pada undang-undang), namun dalam konsep KUHP juga
memberi tempat kepada hukum yang hidup di dalam masyarakat yakni hukum adat
yang bersifat tidak tertulis sebagai sumber hukum diluar asas legalitas formal.
Dalam rumusan
Pasal 11 RUU KUHP untuk unsurnya dinyatakan bahwa tindak pidana adalah
perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana, mempunyai sifat melawan hukum atau bertentangang dengan kesadaran
hukum masyarakat serta dikecualikan adanya alasan pembenar dalam melakukan
tindak pidana tersebut.
Adanya
pengertian tindak pidana dalam RUU KUHP merupakan perkembangan baru. Istilah
tindak pidana berasal dari hukum pidana Belanda yaitu strafbaarfeit. Baik dalam KUHP Belanda maupun KUHP peninggalan
kolonial Belanda ini tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud strafbaarfeit itu. Oleh karenanya, para
ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu.[9]
Sebagai salah seorang pakar hukum, Moeljatno menggunakan dengan istilah
perbuatan pidana karena ia berpandangan bahwa istilah tindak pidana merupakan
istilah yang tidak tepat dengan alasan perkataan “tindak” tidak menunjukan pada
hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi sama dengan perkataan peristiwa yang
juga menyatakan keadaan kongkret, seperti kelakuan, gerak-gerik atau sikap
jasmani, yang lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan dan bertindak.[10]
Dengan demikian terlihat bahwa Moeljatno seperti memisahkan antara perbuatan
dengan orang yang melakukan juga disebut dengan pandangan dualisme.
Selain pandangan
dualisme ada lagi pandangan lain yakni pandangan monisme, yaitu pandangan yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai
perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya. Seperti yang dikemukakan
oleh Wirjono Prodjodikoro, ia menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana. Penganut monisme tidak
secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan syarat dapat
dipidananya pelaku. Unsur yang mengenai diri orangnya bagi penganut dualisme,
yakni kesalahan dan adanya pertanggungan jawab pidana sebagai bukan unsur
tindak pidana melainkan syarat untuk dapat dipidannya, sedangkan menurut
penganut monisme juga merupakan unsur pidana. Monisme tidak membedakan antara
unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapatnya dipidana, syarat dipidanannya
itu juga masuk dalam dan menjadi unsur tindak pidana.
Adami Chazawi mengatakan bahwa:
Perbedaan itu ada karena didasarkan pada
sudut pandang yang berbada. Dualisme memandang dari sudut abstrak bahwa dalam
memberikan isi pengertian tindak pidana tidak dengan demikian, lalu dibayangkan
adanya orang yang dipidana, memandang tindak pidana semata-mata pada perbuatan
dan akibat yang sifatnya dilarang. Jika perbuatan yang sifatnya dilarang itu
telah dilakukan/terjadi (kongkret), baru melihat pada orangnya jika orang itu
mempunyai kemampuan bertanggung jawab sehingga perbuatan itu dapat dipersalahkan
kepadanya. Dengan demikian, kepadanya dapat dijatuhkan pidana.
Sementara itu, aliran monisme memandang
sebaliknya (kongkret), yaitu strafbaar feit
tidak dapat dipisahkan dari orangnya, selalu dibayangkan bahwa dalam strafbaar feit selalu adanya si pembuat
(orangnya) yang dipidana. Oleh karena itu, unsur-unsur mengenai diri orangnya
tidak dipisahkan dengan unsur mengenai perbuatan. Semuanya menjadi unsur tindak
pidana. Unsur tindak pidana (pada perbuatan) dengan syarat dipidana (pada
orang) tidak dipisah sebagaimana menurut paham dualisme.[11]
b) Bentuk-bentuk
tindak pidana
Aturan
pemidanaan dalam KUHP WvS tidak hanya ditujukan pada orang yang melakukan
tindak pidana, tetapi juga terhadap mereka yang melakukan perbuatan dalam
bentuk percobaan, permufakatan jahat, penyertaan, perbarengan (consurcus), dan pengulangan (resedive). Hanya saja dalam KUHP WvS, permufakatan
jahat dan resedive tidak diatur dalam
Aturan Umum Buku I, melainkan diatur dalam aturan khusus yaitu Buku II dan Buku
III.
Dalam konsep,
semua bentuk tindak pidana atau tahapan terjadinya/dilakukannya tindak pidana
itu dimasukan dalam ketentuan Umum Buku I, bahkan dalam Konsep RUU KUHP dimuat
pula mengenai hal “persiapan (preparation)”
yang selama ini tidak diatur dalam KUHP. Mengenai persiapan tersebut diatur
dalam pasal tersendiri yakni pada Paragraf Dua Pasal 13 dan Pasal 14.
Aturan umum
pemufakatan jahat dan persiapan dalam Buku I Konsep agak berbeda dengan
percobaan, perbedaanya dapat dilihat pada penentuan dapat dipidananya percobaan
dan lamanya pidana ditetapkan secara umum dalam Buku I, kecuali ditentukan lain
oleh undang-undang. Pidana pokoknya (maksimum/minimum) dikurangi sepertiga. Dan
penentuan dapat dipidananya pemufakatan jahat dan persiapan ditentukan secara
khusus/tegas dalam undang-undang (dalam perumusan tindak pidana yang
bersangkutan).
Aturan umum
hanya menentukan pengertian/batasan kapan dikatakan ada pemufakatan jahat atau
persiapan dan lamanya pidana pokok (yaitu dikurangi dua pertiga). Dalam Konsep,
Pasal 13 mengenai persiapan dan Pasal 15 mengenai permufakatan jahat. Permufakatan
jahat yang dapat dipidana diatur dalam Pasal 230, Pasal 259 (1), Pasal 273,
Pasal 296, Pasal 344 (2), pasal 391 (2), Pasal 480, Pasal 671 dan Pasal 719
(2). Dari kesembilan pasal tersebut, ancaman pidananya menyimpang dari
Ketentuan Umum Buku I RUU KUHP. Ini berarti tidak ada satu delik permufakatan
jahat pun yang ditundukan pada aturan umum pemidanaan dalam Buku I RUU KUHP.
Jika semua menyimpang, tidak ada arti lagi Pasal Pasal 15 Buku I.
Khususnya
mengenai bentuk/tahapan tindak pidana yang berupa percobaan, ketentuan yang
diatur tidak hanya mengenai unsur-unsur (kapan) dapat dipidananya percobaan,
tetapi diatur juga mengenai batasan perbuatan pelaksanaan, masalah percobaan
tidak mampu, masalah pengunduran diri secara sukarela dan tindakan penyesalan.
Adapun ketentuan umumnya sebagai berikut:
(1) Untuk
percobaan tidak mampu (alat/objeknya) tetap dipidana, tetapi maksimum pidananya
dikurangi setengah (Pasal 19);
(2) Untuk
percobaan tidak selesai (pengunduruan diri secara sukarela), tidak dipidana.
(Pasal 17 ayat (1));
(3) Untuk
percobaan tidak selesai:
(a) Tidak
dipidana, apabila pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya
tujuan atau akibat perbuatannya (Pasal 17 ayat (2));
(b) Tetap
dipidana, apabila telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan
perundang-undangan telah merupakan tindak pidana tersendiri (Pasal 17 ayat
(3)).
Percobaan tidak
mampu karena alat/objeknya Pasal 19 ini sesuai dengan pemikiran seorang ahli
hukum, Lamintang membaginya menjadi dua, yaitu percobaan tidak mampu karena
alatnya yang tidak sempurna (ondeugdelijke
middel) dan karena objeknya tidak sempurna (ondeugdelijke object). Yang dimaksud disini adalah perbuatan
seseorang yang tidak dapat menyelesaikan kejahatan sebagaimana yang disyaratkan
undang-undang, oleh sebab alat dan atau objek yang menurut sifatnya tidak
mungkin dapat terjadinya suatu kejahatan. Sedangkan Adami Chazawi berpendapat,
yang tidak sempurna itu bukan percobaan atau perbuatannya, tetapi alat dan atau
objek kejahatan tidak sempurna karena sifat yang sedemikian rupa sehingga
menyebabkan tindak pidana yang dituju tidak mungkin terwujud.[12]
Pengulangan (recidive) juga diatur secara umum dalam
Buku I (sebagai alasan pemberatan pidana yang umum). Jadi, berbeda dengan KUHP WvS, yang mengaturnya sebagai alasan
pemberatan pidana yang khusus untuk delik-delik tertentu (diatur dalam Buku II
dan III). Dikatakan ada pengulangan menurut
Konsep (Pasal 2), apabila orang melakukan pengulangan tindak pidana
dalam waktu lima tahun sejak:
(1) Menjalani
seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan;
(2) Pidana
pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
(3) Kewajiban
menjalankan pidana pokok yang dijatuhkan belum kedaluwarsa.
Pemberatan
pidananya diatur dalam Pasal 132, yaitu maksimumnya diperberat sepertiga.
Namun, ketentuan Pasal 132 ini tidak berlaku untuk anak sebagaimana diatur
dalam Pasal 112 Konsep RUU KUHP yang melakukan pengulangan tindak pidana.
2.
Pertanggungjawaban pidana
Dalam
Bab pertanggungjawaban pidana (kesalahan), Konsep menegaskan secara eksplisit
dalam Pasal 35 ayat (1) “asas tiada pidana tanpa kesalahan” yang dalam KUHP
tidak ada. Asas culpabilitas ini
merupakan salah satu asas fundamental, yang oleh karenanya perlu ditegaskan
secara eksplisit di dalam Konsep sebagai pasangan dari asas legalitas.
Penegasan yang demikian merupakan perwujudan pula dari ide keseimbangan
monodualistik.
Konsep
tidak memandang kedua asas/syarat itu sebagai syarat yang kaku dan bersifat
absolut. Oleh karena itu, Konsep juga memberikan kemungkinan dalam hal tertentu
untuk menerapkan asas “strict liability”,
asas “vicarious liability”, dan asas
“pemberian maaf/pengampunan oleh hakim”. Karena Buku I menegaskan bahwa asas “strict liability”, asas “vicarious liability” dimungkinkan untuk
tindak pidana tertentu (Lihat Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3) Konsep), maka
tindak pidana atau hal tertentu itu ditentukan secara specifik dalam aturan
khusus di dalam Buku II KUHP atau undang-undang diluar KUHP. Dalam Buku II RUU
KUHP, ketentuan khusus itu belum terlihat. Oleh karenanya perlu dikaji ulang.
Asas
mengenai pemberian maaf/pengampunan tidak ditampatkan dalam Bab
pertanggungjawaban pidana tetapi di dalam Bab pemidanaan. Di dalam asas ini
terkandung:
a.
Menghindari
kekakuan/absolutisme pemidanaan;
b.
Menyediaan
“klep/katup pengamanan”;
c.
Bentuk
koreksi judisial terhadap asas legalitas;
d.
Pengimplementasian/pengintegrasian
nilai atau paradigma “hikmah kebijaksanaan” dalam pancasila;
e.
Pengimplemantasian/pengintegrasian
tujuan pemidanaan ke dalam syarat pemidanaan (karena dalam memberikan pemaafan/
pengampunan, hakim harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan); jadi syarat atau
justifikasi pemidanaan tidak hanya didasarkan pada adanya “tindak pidana” (asas
legalitas) dan “kesalahan” (asas culpabilitas), tetapi juga pada “tujuan pemidanaan”.[13]
Di
samping itu, di dalam bab pertanggungjawaban pidana ini Konsep juga mengatur
tentang masalah “kekurangmampuan bertanggung- jawab”, masalah
“pertanggungjawaban terhadap akibat yang tidak dituju/ tidak dikehendaki/tidak
sengaja” (erfolgshaftung), dan
masalah “kesesatan” (error/dwaling/mistake),
yang kesemuanya itu tidak diatur di dalam KUHP saat ini. Pengaturan erfolgshaftung dan error di dalam Konsep tidak berorientasi pada pandangan
tradisional/klasik, tetapi tetap berorientasi pada asas kesalahan.
Karena
masalah Pertanggungjawaban pidana berhubungan juga dengan masalah subjek tindak
pidana, maka di dalam Bab pertanggungjawaban pidana ini ada pula dalam
ketentuan tentang subjek berupa
“korporasi”, yang selama ini juga belum diatur dalam KUHP. Bentuk
pertanggungjawaban pidana ini dinamakan pertanggungjawaban fungsional yang
merupakan pertanggungjawaban pidana apabila tindak pidana dilakukan korporasi.
3.
Pemidanaan
Masalah
pemidanaan merupakan masalah yang paling banyak disoroti masyarakat saat ini.
Hal ini disebabkan masalah pidana menjadi barometer keadilan dalam hukum pidana
dan penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, perlulah kirannya ditinjau masalah
pemidanaan dari sudut tujuan dan pedoman pemidanaan serta ide dasar dari sistem
pemidanaan.
a. Tujuan
dan pedoman pemidanaan
Berbeda dengan KUHP WvS, di dalam
Konsep dirumuskan tentang tujuan dan pedoman pemidanaan. Dirumuskannya hal ini bertolak
dari pokok pemikiran bahwa:
1)
Sistem
hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan (purposive system) dan pidana hanya
merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan.
2)
Tujuan
pidana merupakan bagian integral (subsistem) dari keseluruhan sistem pemidanaan
(sistem hukum pidana) disamping subsistem lainnya, yaitu tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan pidana.
3)
Perumusan
tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi pengendali/kontrol/pengarah
dan sekaligus memberikan dasar landasan filosofis, rasionalitas, motivasi, dan
justifikasi pemidanaan.
4)
Secara
fungsional/operasional, sistem pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses
melalui tahap formulasi (kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan
judicial/judikatif), dan tahap eksekusi (kebijakan administratif/eksekutif).
Oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu
sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, dilakukan perumusan tujuan dan pedoman
pemidanaan.
b.
Ide-ide
dasar sistem pemidanaan
Sistem pemidanaan yang dituangkan di
dalam Konsep dilaterbelakangi oleh ide dasar atau prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1)
Ide
keseimbangan monodualisti antara kepentingan masyarakat (umum) dengan
kepentingan individu.
2)
Ide
keseimbangan antara social welfare dan
social defance.
3)
Ide
keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku (individualisasi
pidana) dan korban (victim).
4)
Ide
penggunaan “double track system ”
(antara pidana/punishment dan
tindakan/treatment/measures).
5)
Ide
mengefektifkan “noncustodial measures
(alternative to imprisonment)”.
6)
Ide
elastisitas/fleksibelitas pemidanaan.
7)
Ide
modifikasi/perubahan/penyesuaian pidana (modification
of sanction; the alteration/annulment/revocation of sanction; redetermining of
punishment).
8)
Ide
subsideritas di dalam memilih jenis pidana.
9)
Ide
pemaafan hakim
10)
Ide
mendahulukan/mengutamakan keadilan daripada kepastian hukum.
Bertolak dari ide dasar itu, maka di
dalam Konsep ada ketentuan-ketentuan yang tidak ada dalam KUHP yang berlaku
saat ini, yaitu antara lain:
1)
Adanya
pasal yang menegaskan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas culpabilitas)
yang diimbangi dengan adanya ketentuan tentang strict liability dan vicarious
liability (Pasal 35).
2)
Adanya
batas usia pertanggungjawaban pidana anak (Pasal 46).
3)
Adanya
bab khusus tentang pemidanaan terhadap anak (Bab III bagian keempat).
4)
Adanya
kewenangan hakim untuk setiap saat menghentikan atau melanjutkan proses
pemeriksaan perkara pidana terhadap anak (asas diversi), (Pasal 111).
5)
Adanya
pidana mati bersyarat (Pasal 86).
6)
Dimungkinkan
terpidana seumur hidup memperoleh pelepasan bersyarat (Pasal 67 jo. Pasal 69).
7)
Adanya
pidana kerja sosial; pidana pembayaran ganti rugi, dan pemenuhan kewajiabn adat
dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup (Pasal 62 jo. Pasal 64).
8)
Adanya
pidana minimal khusus yang disertai juga dengan aturan/ pedoman pemidanaannya
atau penerapannya (Pasal 66, Pasal 82, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 130, dan
pasal 137).
9)
Dimungkinkan
penggabungan jenis sanksi (pidana dan tindakan).
10)
Dimungkinkan
pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang berdiri sendiri (Pasal 64 ayat
(2)).
11)
Dimungkinkan
hakim menjatuhkan jenis pidana lain yang tidak tercantum dalam perumusan delik
yang hanya diancam dengan pidana tunggal (Pasal 56-Pasal 57).
12)
Dimungkinkan
hakim menjatuhkan pidana secara kumulatif walaupun ancaman pidana dirumuskan
secara alternatif (Pasal 58).
13)
Dimungkinkan
hakim memberi maaf/pengampunan (rechterlijk
pardon) tanpa menjatuhkan pidana/tindakan apapun kepada terdakwa, sekalipun
telah terbukti adanya tindak pidana dan kesalahan (Pasal 52 ayat (2)).
14)
Adanya
kewenangan hakim untuk tetap mempertanggungjawab-kan/memidana si pelaku
walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan
(dicela) atas terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut,
(Pasal 54).
15)
Dimungkinkan
perubahan/modifikasi putusan pemidanaan walau-pun sudah berkekuatan tetap (Pasal
55 dan Pasal 2 ayat (3)).[14]
Penggunaan
sistem dua jalur (double track system)
dalam RUU KUHP “hal ini berarti bahwa dalam KUHP itu atas suatu pelanggaran
bahwa terhadap hukum pidana dapat dikenakan sanksi berupa pidana dan/atau
tindakan.”[15] pengenaan
tindakan dapat berupa Perawatan dirumah sakit jiwa, penyerahan kepada
pemerintah atau penyerahan kepada seseorang. Sedangkan tindakan yang dapat
dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok berupa pencabutan surat izin
mengemudi, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, perbaikan
dari tindak pidana, latihan kerja, rehabilitasi, dan/atau perawatan di lembaga.[16]
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Konsep Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Konsep RUU KUHP) 2004 terdiri dari dua buku yaitu
Buku I mengenai Ketentuan Umum dan Buku II mengenai Tindak Pidana. Hal ini
berbeda dengan KUHP WvS yang mempunyai tiga buku yaitu Buku I tentang Aturan Umum,
Buku II tentang Kejahatan dan Buku III tentang Pelanggaran. Dalam Buku I Konsep
RUU KUHP 2004 semula mengenai tindak pidana hanya berada pada tataran teori
saja namun sekarang sudah dimasukan menjadi normatif. Kemudian adanya pemisahan
antara tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Dipisahkan antara tindak pidana dan
pertanggungjawaban pidana, karena tindak pidana menyangkut perbuatan sedangkan
pertangungjawaban pidana menyangkut orangnya.
2.
Dalam
Konsep RUU KUHP 2004, masih ditemukannya norma yang kabur khususnya mengenai
ancaman hukuman permufakatan jahat. Yang mana dalam Buku I Ketentuan Umum Pasal
15 ancaman pidananya sepertiga dari ancaman pidana pokok untuk tindak pidana
yang bersangkutan dan pidana tambahannya sama dengan tindak piana bersangkutan.
Namun di Buku II yang ada unsur permufakatan jahat, justru ancaman pidananya
menentukan lain yakni sesuai dengan ketentuan pasal-pasal yang bersangkutan.
B.
Saran
1.
Dikenalnya pemisahan antara tindak
pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam Konsep RUU KUHP bukanlah hal yang
perlu dipertentangkan, kesemua itu untuk menegakan hukum kearah yang lebih baik
lagi. Namun sangat disayangkan sekali jika RUU KUHP baru nantinya ketika
disahkan tidak dibarengi dengan harmonisasi pembaharuan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena itu, maka perlulah kiranya melakukan
pembaharuan terhadap KUHAP sehingga ada keharmonisasian antara KUHP dan KUHAP
dalam menghadapi kejahatan dimasa yanga akan datang.
2.
Tidaklah menutup kemungkinan aturan yang
dibuat dengan jangka waktu lama jauh lebih sempurna dari aturan yang ada saat
ini. Kepentingan politik tetap ada dalam setiap pembuatan peraturan
perundang-undangan. Seperti halnya Pasal 15 Konsep RUU KUHP, yang dirasa kabur
dalam hal mengenai ancaman pidana. Oleh karena itu, sebelum disahkannya Konsep
RUU KUHP 2004 menjadi UU maka perlu dilakukan kajian mendalam lagi terhadap
pasal-pasalnya dan mensingkronisasikan antarpasal tersebut sehingga materi
hukum pidana nasional dapat sesuai dengan politik hukum, keadaan dan perkembangan
kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Adami
Chazawi. 2007. Pembelajaran Hukum Pidana
1: Stesel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan, dan Batas berlakunya
hukum Pidana. Raja grafindo Persada, Jakarta,
______________.
2005. Pelajaran Hukum Pidana 3: Percobaan
dan Penyertaan. Raja grafindo Persada, Jakarta.
Barda
Nawawi Arief. 2010. Kapita Selekta Hukum
Pidana. Cet. Kedua. Citra Aditya Bakti, Bandung.
______________.
2011 Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif
Kajian dan Perbandinga.. Cet. Kedua. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Dwidja
Priyatno. 2009. Sistem Pelaksanaan Pidana
Penjara Di Indonesia. Cet. Kedua. Refika Aditama, Bandung.
Marlina.
2011. Hukum Penentensier. Cet.
Pertama. Refika Aditama, Bandung.
Widodo.
2009. Sistem Pemidanaan dalam Cyber
Crime: Alternatif Ancaman Pidana Kerja Sosial dan Pidana Pengawasan Bagi Pelaku
Cyber Crime. Cet. Pertama. Laksbang Mediatama. Yogyakarta.
Konsep
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana 2004.
[1] Marlina, Hukum Penentensier, Cet. Pertama, Refika Aditama, Bandung, 2011 ,hal. 34-35.
[2] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cet. Kedua,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal. 141.
[3] Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif
Kajian dan Perbandingan, Cet. Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011,
hal. 261.
[4] Widodo, Sistem Pemidanaan dalam Cyber Crime: Alternatif Ancaman Pidana Kerja
Sosial dan Pidana Pengawasan Bagi Pelaku Cyber Crime, Cet. Pertama,
Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2009, hlm. 123.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm. 124.
[7] Ibid., hlm. 125.
[8] Adami Chazawi, Pembelajaran Hukum Pidana 1: Stesel Pidana,
Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan, dan Batas berlakunya hukum Pidana, Raja
grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 157.
[9] Ibid., hal. 67.
[10] Lihat Ibid., hal. 71-72.
[11] Ibid., hal. 76-77.
[12] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3: Percobaan dan
Penyertaan, Raja grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 47-48.
[13] Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal.274.
[14] Ibid., hal.275-278. Dan lihat juga di Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di
Indonesia, Cet. Kedua, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 20-22.
[15] Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di
Indonesia, Cet. Kedua, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 11.
[16] Pasal 98 ayat (1) dan ayat (2) Konsep
RUU KUHP 2004.