Selasa, 15 Februari 2011

analisa kasus

KASUS POSISI

Meminjamkan uang kepada rekan bisnis dengan niat untuk menolong itu merupakan perbuatan terpuji apalagi bila rekan sangat mebutuhkannya. Tapi bisa juga menjadi malapetaka bagi si peminjam itu sendiri bila uang yang dipinjam tak kunjung diganti dan lebih parahnya lagi jika uang yang dipinjam itu dalam jumlah sangat besar.
            Setidaknya hal inilah yang dialami Bie Hok yang berusia 36 tahun. Seorang pengusaha computer yang tinggal di Jalan Karantina, kota Medan, Sumatera Utara. Ia meminjamkan uangnya kepada Erik Lee alias Hansen yang beralamat di jalan Ibus Raya Medan Petisah, kota Medan, Sumatera Utara. senilai Rp 113.627.650 (seratus tiga belas juta enam ratus dua puluh tujuh ribu enam ratus lima puluh rupiah). Ketika diminta mengganti uang tersebut Hansen berdalih uang yang dipinjam itu telah dikembalikannya ke rekening Bie Hok. Melalui transfer internet banking Bank Danamon dengan No Rek : 78851433 milik Hansen, ke Rekening Bank Central Asia (BCA) dengan No Rek : 1950064974 milik Bie Hok. Hansen langsung menunjukan print out hasil bukti transfer pembayaran internet banking dari Bank Danamon, yang menyatakan bahwa Hansen telah mengirim uang kepada Bie Hok.
            Ternyata Setelah dilakukan pengambilan oleh Bie Hok, uang yang dinyatakan telah dikirim melalui internet banking tidak ada. Bukti print out transfer internet banking yang ditunjukan Hansen, ternyata diketahui korban setelah diteliti melalui petugas perbankan independen, uang yang diteransfer ke korban kembali lagi ke rekening tersangka.
            Atas kejadian yang menimpa dirinya Bie Hok melapor kepihak berwajib. Laporan tersebut ditujukan ke Poltabes Medan. Dengan bukti pengaduan No.Pol : STBL / 1985/VIII/2009/Tabes tanggal 19 Agustus 2009, dengan pasal yang dikenakan 372-378 atau penipuan dan penggelapan.
            Setelah adanya laporan dari korban (Bie Hok), tersangka (Hansen) ditangkap dengan dikuatkan bukti dan keterangan saksi. Namun tersangka tidak ditahan karena mendapat jaminan dari pengacaranya. Setelah penyidikan dilakukan pihak Poltabes Medan, berkas Erik Lee alias Hansen dilimpahkan ke kejaksaan, namun jaksa menolak dengan alasan berkas tidak P21.


ANALISIS

Kasus Bie Hok ini merupakan kejahatan cyber crime hal ini dikarenakan kejahatan belangsung dengan mengunakan media internet banking. Memang pada dasarnya kejahatan ini berupa penipuan dan penggelapan atas uang yang dimiliki korban tapi karena tempat berlangsungnya kejahatan dengan media internet banking maka kejahatan ini dapat disebut cyber crime. Oleh karena itu salah satu upaya perlindungan kepada korban cyber crime adalah melalui hukum pidana, baik dengan bersaranakan penal maupun non penal.
            Berhubung belum adanya aturan tegas dan khusus mengatur mengenai cyber crime maka untuk saat ini sanksi yang dapat diterapkan untuk menjerat pelaku tindak pidana cyber crime adalah dengan Undang-undang Telekomunikasi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun demikian, interpretas/penafsiran yang dilakukan atas pasal-pasal KUHP dalam kasus cybercrime terkadang kurang tepat untuk diterapkan. Oleh karena itu urgensi/sangat mendesak pengesahan RUU Cyberlaw perlu diprioritaskan untuk menghadapi era cyberspace dengan segala konsekuensi yang menyertainya termasuk maraknya cybercrime belakangan ini.
Kasus kejahatan Mayantara (Cyber Crime) yang dialami Bie Hok berdasarkan penggunaan KUHP untuk menjerat pelakunya dapat merujuk  ke pasal-pasal bahwa :
1.  Pasal 372 KUHP tentang penggelapan, yang berbunyi “ Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri barang sesuatu atau seluruhnya atau sebahagian kepunyaan orang lain, tetapi yang ada didalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah ”
Artinya bahwa apabila ada orang yang dengan sengaja mengakui milik kepunyaan orang lain atas barang sesuatu yang ada padanya secara melawan hukum dia sadari dan diketahui perbuatan itu salah maka atas perbuatan itu orang tersebut dapat dipidana penjara maksimal empat tahun.
2. Pasal 378 KUHP tentang penipuan, yang berbunyi “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memakai nama/ martabat palsu dengan tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun penghapusan utang diancam karena penipuan dengan pidana penjara maksimum 4 tahun.” Artinya bahwa apabila ada orang yang menggunakan kewenangan orang lain, hak dan atau tanggung jawab dengan memalsu atau menggunakan barang milik orang lain untuk mendapatkan sesuatu keuntungan pribadi tanpa ijin secara sadar oleh pemiliknya merupakan sebuah kejahatan. Kejahatan tersebut dapat dikenai pidana. Penggunaan milik orang lain berupa kartu kredit atau alat transaksi elektronik lainnya banyak menjadi modus operandi kejahatan mayantara. Kasus ini merupakan kasus Karding atau penggunaan kartu orang lain untuk transaksi melalui internet. Ini semua merupakan tindakan pemalsuan yang dapat dikenai pasal pidana. Selama pembuktian itu ada kasus seperti ini dapat dituntut secara hukum yang ada berupa hukum konvensional yaitu KUHP.

Proses Pembuktian
KUHAP menganut sistem pembuktian negatif. Sistem pembuktian KUHAP diatur dalam pasal 183 yang berbunyi “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Pembuktian dalam kasus Kejahatan cyber crime cukup sulit dibuktikan karena dalam KUHAP membutuhkan alat bukti yang sah, sedangkan pembuktian dalam kasus ini cukup sulit karena tidak dapat ditunjukkan obyek atau benda sebagai bukti fisik. Maka banyak kendala dalam pembuktian dan hakim dalam menjatuhkan perkara sebagai bukti kejahatan. Berdasarkan pasal tersebut, putusan hakim harus didasarkan pada dua syarat, yaitu : (1) minimum 2 alat bukti; (2) dari alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.
Macam-macam alat bukti diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu : (1) Keterangan saksi; (2) Keterangan ahli; (3) surat; (4) Petunjuk; (5) Keterangan terdakwa. Dari pembuktian diatas bahwa pembuktian perkara pidana lebih dititik beratkan pada keterangan saksi. Oleh karena itu di dalam KUHAP pasal 183 telah pula secara tegas dinyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dilakukan oleh terdakwa. Sedangkan dalam pasal 184 KUHAP disebutkan bahwa untuk acara pemeriksaan cepat keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah.
Penyelidik (Pasal 1 butir 4 KUHAP) berbunyi : “Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penyelidikan”. Penyelidikan ( pasal 1 butir 5 KUHAP) berbunyi : “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Penyidik (pasal 1 butir 1 KUHAP) berbunyi : “Penyidik adalah pejabat polisi Negara atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”. Penyidikan (pasal 1 butir 2 KUHAP) berbunyi : “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Sedangkan sesuai dengan ketentuan tersebut para penyelidik dan penyidik harus orang yang mempunyai kemampuan dan keahlian khusus dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan dalam kasus ini dibutuhkan sumber daya yang memadai dalam penanganan kasus cyber crime yang dialami Bie Hok, Bahwa disamping hal tersebut di atas di dalam KUHAP, UU no. 8 tahun 1981 juga ditentukan , dalam peristiwa apa orang yang berhak dan yang wajib mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyidik dan atau pada penyidik. Dalam hal ini adalah siapa yang berhak dan yang wajib mengajukan laporan kejahatan mayantara kepada penyidik dalam kasus ini.
Apabila seseorang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan adanya bukti permulaan maka ini disebut ”tersangka” (pasal 1 butir 14 KUHAP). Dan kemudian apabila tersangka ini dituntut dan diadili di sidang pengadilan, maka berubahlah ia dari tersangka menjadi ”terdakwa” (pasal 1 butir 15 KUHAP). Setelah terdakwa diadili salah melakukan sesuatu tindak pidana keputusan hakim mana telah mempunyai kekuatan pasti, maka berubahlah ia dari status terdakwa menjadi terpidana. (pasal 1 butir 32 KUHAP). Namun tidak mudah menentukan tersangka, terdakwa bahkan terpidana untuk kejahatan cyber crime karena memiliki syarat tertentu bagi hakim untuk memutuskan terdakwa, karena kasus ini adalah kasus khusus, dan membutuhkan penanganan yang lebih serius dan jeli. Karena pelaku kejahatan cyber crime rata-rata memiliki kecerdasan dan intelektual yang cukup tinggi sehingga cukup sulit mendesak terdakwa sebagai tersangka.
Sedangkan hakim harus mendasarkan diri pada UU no. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menganut aliran bahwa :
1.Pra Duga Tak Bersalah (pasal 8 UU No. 14 Tahun 1970)
2.Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang (pasal 5 UU No. 14 tahun 1970).
Khusus untuk pembuktian begitu kuatnya adagium Praduga tak bersalah maka pasal 66 KUHAP tegas mencantumkan tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Maka pelaku kejahatan cyber crime juga harus mendapatkan adagium praduga tak bersalah apakah kejahatan itu merupakan sebuah kejahatan atau tidak sesuai ketentuan hukum yang berlaku baik bukti yang sah ataukah merupakan delik perkara yang dapat dipidanakan. Maka penanganan kasus cyber crime cukup mengundang konsentrasi khusus bagi aparat penegak hukum yang menangani kasus kejahatan ini. Maka perlu pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam kasus kejahatan ini berupa pendidikan, pelatihan, dan sosialisasi. Sedangkan untuk hal ini membutuhkan sumber biaya yang cukup besar.

Kebijakan Kriminalisasi Cybercrime
Kebijakan kriminalisasi Perlu dilakukan karena merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana).  Jadi pada hakekatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari“kebijakan hukum pidana” (penal policy), khususnya kebijakan formulasinya.
Dalam kasus yang dihadapi Bie Hok sebenarnya tidak ada kekosongan hukum, ini terjadi jika digunakan metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum dan ini yang mestinya dipegang oleh aparat penegak hukum dalam menghadapi perbuatan-perbuatan yang berdimensi baru yang secara khsusus belum diatur dalam undang-undang. Sayangnya dalam persoalan mengenai penafsiran ini, para hakim belum sepakat mengenai kateori beberapa perbuatan.  Misalnya carding, ada hakim yang menafsirkan masuk dalam kateori penipuan, ada pula yang memasukkan dalam kategori pencurian.  Untuk itu sebetulnya perlu dikembangkan pemahaman kepada para hakim mengenai teknologi informasi agar penafsiran mengenai suatu bentuk cybercrime ke dalam pasal-pasal dalam KUHP atau undang-undang lain tidak membingungkan.
Mengingat cybercrime merupakan kejahatan yang menggunakan atau bersaranakan teknologi komputer, maka diperlukan modifikasi jenis sanksi pidana bagi pelakunya.  Jenis sanksi pidana tersebut adalah tidak diperbolehkannya/dilarang sipelaku untuk menggunakan komputer dalam jangka waktu tertentu.  Bagi pengguna komputer yang sampai pada tingkat ketergantungan, sanksi atau larangan untuk tidak menggunakan komputer merupakan derita yang berat.

Pencegahan dan Penanggulangan Cybercrime Dengan Sarana Non Penal
Cybercrime merupakan kejahatan yang dilakukan dengan dan memanfaatkan teknologi, sehingga pencegahan dan penanggulangan dengan sarana penal tidaklah cukup.  Untuk itu diperlukan sarana lain berupa teknologi itu sendiri sebagai sarana non penal.  Teknologi itu sendiripun sebetulnya belum cukup jika tidak ada kerjasama dengan individu maupun institusi yang mendukungnya.  Pengalaman negara-negara lain membuktikan bahwa kerjasama yang baik antara pemerintah, aparat penegak hukum, individu maupun institusi dapat menekan terjadinya cybercrime.
Faktor penentu lain dalam pencegahan dan penanggulangan cybercrime dengan sarana non penal adalah persoalan tentang etika.  Dalam berinteraksi dengan orang lain menggunakan internet, diliputi oleh suatu aturan tertentu yang dinamakan Nettiquette atau etika di internet.  Meskipun belum ada ketetapan yang baku mengenai bagaimana etika berinteraksi di internet, etika dalam berinteraksi di dunia nyata (real life) dapat dipakai sebagai acuan.

Penanganan Cybercrime
Pencegahan dan penanggulangan cybercrime menjadi relevan untuk dikemukakan di tengah kondisi hukum dan peraturan yang belum juga diundangkan.  Apalagi dilihat keterbatasan kemampuan sumber daya manusia aparat penegak hukum dalam menangani cybercrime dan terbatasnya anggaran, maka pilihan untuk melakukan self protection terhadap data atau informasi yang terdapat dalam jaringan komputer merupakan ujung tombak dalam pencegahan dan penanggulangan cybercrime.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar yang baik