BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dewasa ini perkembangan kejahatan kian meningkat. Di
media cetak maupun elektronik, setiap harinya ada saja pemberitaan mengenai
kejahatan. Baik dari cara melakukan ataupun akibat yang ditimbulkan yang
namanya kejahatan tetaplah kejahatan. Peraturan perundang-undangan dan aparat
penegak hukum seakan dibuat kebingungan melihat gerakan kejahatan yang semakin
canggih. Aturan yang ada terkadang tidak cukup untuk menjangkau perbuatan
melawan hukum tersebut. Bisa dikarenakan aturan tersebut terlalu usang untuk
diterapkan pada kejahatan baru (new
crime) ataupun aturan tersebut kurang menjamin dapat atau tidaknya
diterapkan bagi pelaku yang merugikan kepentingan masyarakat, negara ataupun
dunia internasional.
Lambannya gerak dari hukum sendiri menjadikan ia sulit
untuk mengikuti perubahan sosial di tengah masyarakat. Dengan demikian
memberikan kesempatan besar kepada orang untuk melakukan tindak pidana karena
tiada perbuatan yang dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada. Kejahatan baru (new crime) ini muncul tidak terlepas dari pengaruh perkembangan
zaman dan kemajuan teknologi. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
(selanjutnya disebut iptek) bagaikan pedang yang mempunyai bermata dua. Disatu sisi,
memberikan kemudahan untuk mendapatkan informasi baik nasional maupun
internasional dan disisi lain kemajuan iptek sangat rentan dimanfaatkan untuk
melakukan tindak pidana.
Kejahatan yang dimaksud dalam hal ini adalah tindak
pidana terorisme, yang mana tindak pidana seperti ini harus ditangani secara
serius dan memerlukan kehati-hatian ekstra khususnya oleh aparat penegak hukum
jangan sampai tujuan mulia untuk menegakan hukum salah/disalahgunakan, karena tindak
pidana ini termasuk extra ordinary crime dan seriously crime. Tindak pidana
terorisme mempunyai karakteristik tersendiri dari pada kejahatan yang
konvensional. Seperti wilayah yang menjadi sasaran tindak pidana terorisme,
target manusia yang dipilih dengan sistem random
artinya tidak jelas siapa tujuan sebenarnya yang menjadi sasaran utama
kecuali menciptakan rasa takut ditengah-tengah masyarakat, terorganisir dengan
rapi ibarat sel bilamana ia tertangkap maka ia akan lepas dari sel induk, dan
mempunyai jaringan yang luas artinya terorisme bukan hanya berkembang disuatu
wilayah saja melainkan juga sudah berkembang
di wilayah lain.
Oleh karena itulah dibuat aturan khusus mengenai
tindak pidana terorisme diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan
maksud agar setiap orang seharusnya mengambil peran jika ingin tindak pidana
terorisme ditumpas habis. Pada dasarnya tidaklah mungkin menumpas habis
kejahatan terorisme sampai pada akar-akarnya tapi setidaknya dengan melakukan
kerjasama baik pada tingkat masyarakat, nasional,regional dan internasional
bisa mencegah dan menekan perbuatan agar tidak dilakukan.
Disinilah dibutuhkan peran politik hukum dalam
penanganan tindak pidana terorisme. Kebijakan pidana dan politik kriminal
pertama kali dikemukakan Soedarto pada Simposium Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional, 28-30 Agustus 1980 di Semarang. Politik kriminal dalam arti
seluas-luasnya meliputi segala usaha yang dilakukan melalui pembuatan
undang-undang dan tindakan dari badan resmi yang bertujuan menegakan norma-norma
pokok yang dianut oleh masyarakat. Sedangkan politik hukum pidana menurut Barda
Nawawi Arif mengandung arti, yakni bagaimana mengusaha-kan, membuat dan
merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.[1]
Ini bukti bahwa tindak pidana terorisme merupakan masalah besar di masa
sekarang dan masa depan yang perlu dilakukan pencegahan sedini mungkin dengan
melihat akibat yang ditimbulkan mempunyai dampak besar bagi kehidupan
masyarakat, negara dan dunia internasional. Karena kejahatan terorisme akan mngancam
integritas suatu bangsa dimata Internasional.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang
telah penulis diuraikan diatas, dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti,
sebagai berikut:
- Apakah
tindak pidana terorisme itu?
- Bagaimana
peran politik hukum dalam menangani tindak pidana terorisme di Indonesia?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tindak Pidana Terorisme
Sebagai bagian dari dunia internasional, Indonesia
dalam memerangi tindak pidana terorisme (selanjutnya disebut TPT) telah
memiliki sarana atau perangkat hukum. Yang mana perangkat hukum tersebut
digunakan untuk turut serta memerangi TPT dan melindungi bangsa Indonesia dari
aksi-aksi terorisme. Pengaturan khusus mengenai TPT terdapat pada Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian ditetapkan melalui
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Menjadi Undang-Undang. Selain peraturan tersebut, masih ada juga
peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan TPT seperti Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2010 tentang
Pengesahan Memorandum Saling Pengertian Antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Federasi Rusia Tentang Kerja Sama Di Bidang Pemberantasan Terorisme
(Memorandum Of Understanding Between The Government Of The Republic Of
Indonesia And The Government Of The Russian Federation On Cooperation In
Combating Terrorism). Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun
2010 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Serta meratifikasi dua konvensi internasional yang berkaitan dengan
pemberantasan TPT dan menyetujui menjadi Undang-Undang yaitu Konvensi
Internasional Pemberantasan Pengeboman dan Terorisme tahun 1997 (“Internasional Convention for The
Suppression of the Financing of Terrorisme 1999).[2]
Kesemua itu bertujuan untuk melindungi masyarakat dan negara dari ancaman
bahaya serangan terorisme yang bersifat merusak itu.
Tindak Pidana Terorisme sendiri adalah segala
perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.[3]
Dalam Pasal 23 Perpres 52
tahun 2010 dinyatakan bahwa:
(1) Detasemen Khusus 88 Anti Teror disingkat
Densus 88 AT adalah unsur pelaksana tugas pokok di bidang penanggulangan
kejahatan terorisme yang berada di bawah Kapolri.
(2) Densus 88 AT sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), bertugas menyelenggarakan fungsi intelijen, pencegahan, investigasi, penindakan,
dan bantuan operasional dalam rangka penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
terorisme.
Dengan adanya Perpres tersebut maka penanganan
terorisme ini secara khusus dapat dilakukan oleh Densus 88 AT. Yang mempunyai
fungsi intelijen sebagai spionase pergerakan terorisme, pencegahan sedini mungkin akan TPT, investigasi
secara menyeluruh dalam memberantas TPT, penindakan tegas yang harus dilakukan
untuk memberikan efek jera bagi para pelaku dan juga orang yang mau mencoba
melakukan TPT, dan menerima bantuan operasional dalam rangka penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana terorisme. Densus 88 AT mempunyai tugas dan tanggung
jawab yang bernaung di bawah Polisi Republik Indonesia.
Disamping itu, dalam Rapat Kerja Komisi I Dewan
Perwakilan Rakyat Indonesia bersama dengan Kementerian Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan tanggal 12 Juni 2006 dan 31 Agustus 2009, telah
merekomendasikan kepada Pemerintah tentang perlunya membentuk suatu badan yang
berwenang melakukan tugas penanggulangan terorisme. Oleh karena itu dibentuklah
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang ditetapkan berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010. BNPT merupakan Lembaga Pemerintah Non
Kementerian yang berada dan bertanggung jawab kepada Presiden.
BNPT
mempunyai tugas:
a. Menyusun
kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme;
b. Mengkoordinasikan
instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di
bidang penanggulangan terorisme;
c. Melaksanakan
kebijakan di dalam penanggulangan terorisme dengan membentuk satuan tugas yang
terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas,
fungsi, kewenangan masing-masing.
Bidang penanggulangan sebagaimana dimaksud meliputi
pencegahan, perlindungan, dekarilisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan
nasional. BNPT juga menjadi pusat pengendalian krisis yang berarti berfungsi
sebagai fasilitas bagi presiden untuk menetapkan kebijakn dan
langkah-langkahpenanganan krisis termasuk pengerahan sumber daya dalam
penanggulangan aksi terorisme. BNPT terdiri dari kepala, sekretaris utama,
deputi bidang pencegahan, perlindungan, dan deradikalisasi, deputi bidang
penindakan dan pembinaan kemampuan, deputi bidang kerjasama internasional dan
inspektorat.
Sehubungan dengan itu, untuk memperkuat sistem hukum
terhadap TPT. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional yang
memberikan kesempatan besar bagi aparat penegak hukum dan pemerintah untuk
melakukan penegakan hukum terhadap TPT. Bisa saja dilakukan dengan penukaran
informasi, pengumpulan barang bukti, alat serta kerjasama yang solid dengan
dunia internasional demi terciptanya perdamaian dunia. Yang mana kita ketahui
bahwa terorisme mempunyai jaringan luas di seluruh dunia. Upaya yang dilakukan
untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan TPT bisa dilakukan secara
prementif dan represif serta dilakukan secara hati-hati. Meskipun telah
diratifikasi namun terdapat kekurangan pada hukum acara pidana kita dalam
merespon hadirnya kejahatan transnasional dan terorganisir ini.
TPT merupakan kejahatan yang terorganisir, mempunyai
jaringan luas, sumber pendanaan yang memadai, perekrutan yang baik dan dominan
menggunakan high technology baik
sebagai sarana maupun sasaran, target sasaran dalam jumlah besar. Ini
menunjukan bahwa TPT sangat berbeda dari kejahatan konvensional lainnya. Oleh
karena itu, aparat dalam menegakan hukum harus ekstra hati-hati baik ditingkat
penyidikan, penahanan, penuntutan hingga proses vonis. Pemberantasan TPT dalam
Perpu 1/2002 merupakan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk memperkuat
ketertiban masyarakat, dan keselamatan masyarakat dengan tetap menjunjung
tinggi hukum dan hak asasi manusia, tidak bersifat deskriminatif, baik berdasarkan
suku, agama, ras, maupun antargolongan.
Semenjak terjadi bom Bali, TPT di Indonesia
mengalami peningkatan yang cukup drastis. Aksi teror tersebut jelas telah
melecehkan nilai-nilai kemanusiaan martabat bangsa, dan norma-norma agama.
Teror telah menunjukan gerakan nyatanya sebagai tragedi atas hak asasi manusia.
Eskalasi dampak destruktif yang ditimbulkan telah atau lebih banyak menyentuh
multidimensi kehidupan manusia. Jati diri manusia, harkat sebagai bangsa
beradab, dan cita-cita dapat hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam misi
mulia “kedamaian universal” mudah dan masih dikalahkan oleh aksi teror. Karena
demikian akrabnya aksi teror ini digunakan sebagai salah satu pilihan manusia,
akhirnya teror bergeser dengan sendirinya sebagai “terorisme”. Artinya
terorisme ikut ambil bagian dalam kehidupan berbangsa ini untuk menunjukan
potret lain dari dan di antara berbagai jenis dan ragam kejahatan, khususnya
kejahatan kekerasan, kejahatan terorganisir, dan kejahatan yang tergolong luar
biasa (extra ordinary crime).[4]
B.
Peran
Politik Hukum Dalam Penanganan Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia
Menurut Moh. Mahfud MD ia mengemukakan bahwa politik
hukum adalah “legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum
yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan
penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.” Padmo Wahjono
mengatakan poitik hukum adalah kebijakan dasar yang menetukan arah, bentuk
maupun isi hukum yang akan dibentuk dan dalam tulisan yang lain ia memperjelas
definisi tersebut dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan
penyelenggaraan negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan
sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.
Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan
kehendak penguasa negara mengenai hukum yang akan berlaku di wilayahnya dan
mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Satjipto Raharjo mendefinisikan
politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk
mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang
cakupannnya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar, yaitu: 1)
tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada; 2) cara-cara apa dan
yang mana yang dirasakan paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan
tersebut; 3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah;
4) dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam
memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut
dengan baik. Soedarto pun ambil bagian dalam mendefinisikan politik hukum,
menurutnya politik hukum adalah kebijakan negara melalui badan-badan negara
yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang
diperkirakan akan dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan, di tahun 1986 ia
mengemukan kembali politik hukum merupakan upaya untuk mewujudkan
peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu.[5]
Jika diperhatikan secara saksama, apa yang dikemukakan diatas mengenai politik
hukum akan menunjukan bahwa adanya persamaan secara subtantif mengenai hukum
yang akan diberlakukan, dicabut ataupun hukum yang tidak diberlakukan. Secara
sederhana politik hukum itu dapat diartikan sebagai kebijakan negara tentang
hukum yang akan diberlakukan di dalam negara yang bentuknya dapat berupa
pembentukan hukum-hukum baru atau pencabutan dan penggantian hukum-hukum lama
untuk disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat saat ini dan masa yang akan
datang sehingga hukum itu benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya.
Hubungan politik hukum dengan penanganan TPT sangat
dirasakan sekali manfaatnya, karena aturan mengenai terorisme semula belum ada
semenjak adanya kasus Bom Bali I di Legian yang menewaskan lebih dari 200 orang
baik warga negara Indonesia maupun asing, membuat pemerintah merespon kejadian
tersebut dengan dikeluarkannya Perpu No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme atau pengeluaran Perpu tersebut 6 hari pasca terjadinya
bom Bali. Dan dikeluarkannya Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu
No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan TPT. Perpu tersebut dikeluarkan karena
negara dalam keadaan genting sedangkan aturan mengenai terorisme belumlah ada
pada saat kejadian bom Bali I itu terjadi. Yang kemudian di undangkan menjadi
UU no 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2002 tersebut. Ini
menjadikan aturan tersebut sebagai payung hukum dalam menangani TPT.
Bertalian dengan payung hukum tersebut dapat
diberikan beberapa catatan yang kajian akademik antara lain berkaitan dengan:[6]
1.
Rumusan
pasal-pasal yang bersifat elastis (Unpredictable);
Rumusan –rumusan
yang sifatnya elastis dapat dilihat pada Pasal 6 dan Pasal 7 Perpu No. 1 Tahun
2002 akan menyulitkan orang yang terkena dampak ataupun aparat penegak hukum
yang menjadi pelaksana dari akibat berlakunya Perpu ini. Elastisnya pasal ini
dapat dibaca dari kata-kata “suasana teror atau takut terhadap orang secara
meluas” yang belum ada kualifikasi dalam Perpu ini.
Dari uraian di
atas selintas dapat dilihat bahwa definisi “terorisme” seperti yang dimaksud
Perpu ini belum dapat digunakan untuk
mengkalkulasi/kuantifikasi suatu perbuatan dan akibat dari perbuatan
tersebut dapat dikategorikan sebagai TPT.
Begitu pula
ketentuan dalam Pasal 7 Perpu No. 1 Tahun 2002 yang merumuskan kata “bermaksud”
sebagai salah satu unsur utama TPT. Adanya unsur bermaksud sebagai salah satu
unsur utama TPT dikhawatirkan akan menciptakan “arogansi” dari aparat keamanan,
khususnya intelijen untuk menafsirkan dan menggunakan kewenangannya menangkap,
menahan, dan kemudian memproses sebagai teroris “tanpa” perlu membuktikan
secara materil terhadap orang-orang yang diduga sebagai teroris.
2.
Kewenangan
penyidik yang agak berlebihan;
3.
Minimnya
hak-hak tersangka/terdakwa;
4.
Belum
lengkapnya perlindungan saksi, korban dan aparat penegak hukum;
5.
Kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi.
Pasal 25 ayat (1) menyatakan “Penyidik, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam TPT, dilakukan berdasarkan hukum
acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Perpu ini.” Dilihat dari
bunyi pasal tersebut seakan tersirat bahwa adanya pemberlakuan asas lex specialist
derogat lex generalis. Dimana lex
specialist adalah Perpu dan lex
generalist adalah KUHAP. Yang
mana untuk kepentingan penyidikan dan
penuntutan, penyidik diberi kewenangan untuk menahan tersangka paling lama 6
bulan[7],
terdiri dari 4 bulan untuk proses penyidikan dan 2 bulan untuk proses
penuntutan. Hal ini berbeda apa yang ada di KUHAP, di KUHAP disebutkan bahwa
perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik berlaku paling lama 20 hari dan
dapat diperpanjang paling lama 40 hari.[8]
Sedangkan untuk penuntutan penahanan dapat dilakukan paling lama 20 hari dan
dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan yang berwenang paling lama 30 hari.[9]
Bila diakumulasikan lama dalam proses penahanan, maka ada sekitar 70 hari lebih
lama penahanan di Perpu daripada KUHAP dan berlaku apabila ancaman tindak
pidana tersebut kurang dari 9 tahun.
Sedangkan menurut Lilik Mulyadi ia mengatakan;
“apabila ancaman
tindak pidana tersebut lebih dari 9 tahun, maka sesuai pasal 29 masa penahanan
KUHAP lebih lama 50 hari dari Perpu. Selain itu, untuk tingkat penyelidikan dengan
ancaman pidana kurang dari 9 tahun, masa penahanan Perpu lebih lama 60 hari,
sedangkan yang diancam tindak pidananya lebih dari 9 tahun maka Baik KUHAP
maupun UU Pemberantasan TPT sama waktunya yaitu selama 120 hari. Berikutnya
pada tahap penuntutan untuk tindak pidana yang ancaman pidananya dibawah 9
tahun , masa penahanan undang-undang lebih lama 10 hari, sedangkan untuk
ancaman pidana yang lebih dari 9 tahun maka KUHAP lebih 60 hari dari Perpu”.[10]
Akan tetapi
dalam Perpu1/2002 jo UU no 15/2003 tidak ditegaskan berapa lama kewenangan
hakim melakukan penahanan. Apabila bertitik tolak pada ketentuan Perpu tersebut
karena tidak diatur maka berlaku lex
generalist KUHAP dimana menurut Pasal 26 ayat (1), (2), Pasal 29 ayat (1)
huruf b, dan ayat (2) hakim maksimal
dapat menahan selama 150 hari.
Selain itu pada Pasal 5 Perpu 1/2002 berbunyi “tindak pidana terorisme yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dikecualikan dari
tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana
politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan
politik, yang menghambat proses ekstradisi.” Muatan politik dalam tindak pidana
terorisme ini dikecualikan, sedangkan diketahui bahwa terorisme terkadang
cenderung perbuatannya mengarah pada nuansa politik.
Dalam penjelasan umum angka 3 Perpu 1/2002 jo UU No
15 Tahun 2003 memuat ketentuan khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi
tersangka/terdakwa yang disebut “safe
guarding rules” ketentuan tersebut memperkenalkan lembaga baru dalam hukum
acara pidana yang disebut dengan “hearing”
dan berfungsi sebagai lembaga yang melakukan “legal audit” terhadap suatu dokumen atau laporan intelijen yang
disampaikan oleh penyidik untuk menetapkan diteruskan atau tidaknya suatu
penyidikan atas dugaan adanya tindakan terorisme. Jika kita hubungkan dengan
KUHAP, maka tidak akan kita jumpai aspek tersebut diatas. Lihatlah Pasal 26 Perpu
tersebut yang berbunyi, ayat (1) untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup,
penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen. Ayat (2) penetapan bahwa
sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua
Pengadilan Negeri. Ayat (3) proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (2)
dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari. Dan Ayat
(4) jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkannya
ada bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera
memerintahkan melakukan penyidikan.
Secara teoritik dan praktik, laporan intelijen
negara dalam Pasal 26 Perpu tersebut dapat menimbulkan dilema karena tidak
menentukan secara tegas arti penting dari laporan intelijen tersebut. Apakah
laporan intelijen digolongkan sebagai bukti pokok sebagaimana Pasal 184 ayat
(1) KUHAP atau sebagai bukti penunjang saja. Jika ini dianggap sebagai bukti
pokok maka aspek ini relatif menyimpang dari kelaziman dimana bukti dari tindak
pidana salah satunya dapat meliputi bukti intelijen.[11]
Disamping itu kata “dapat menggunakan” dalam ayat (1) memberikan kemungkinan
kepada kepolisian menggunakan sumber data, data untuk laporan-laporan lain yang
untuk digunakan sebagai bukti awal yang kuat untuk menduga/melakukan
penangkapan/penahanan terhadap tersangka pelaku TPT dan akibatnya ada
kemungkinan akan timbul “pengingkaran” sumber informasi misalnya bila terjadi
gugatan praperadilan.[12]
Dalam penjelasan Pasal 26 ayat (1) Perpu hanya
berbunyi laporan intelijen adalah laporan yang berkaitan dan berhubungan dengan
masalah-masalah keamanan nasional. Laporan intelijen dapat diperoleh dari
Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan,
Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Keuangan, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia,
Badan Intelijen Negara, atau instansi lain yang terkait. Sedangkan di KUHAP
pada Penjelasan Pasal 17 hanya menjelaskan mengenai bukti permulaan yang cukup
adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana yang dilakukan
tersangka dan pasal ini menunjukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat
dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang
betul-betul melakukan tindak pidana.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo atas komentarnya
pasal 17 KUHAP tersebut sebagai berikut:[13]
……… Arti bukti
permulaan (prima facie evident)
berarti bukti sedikit untuk menduga ada tindak pidana, misalnya kepada
seseorang kedapatan benda/barang curian, maka petugas penyidik dapat menduga
keras bahwa pada seseorang itu telah melakukan tindak pidana berupa pencurian
atau penadahan”
Sejalan dengan
itu Hari Sasangka mengatakan:
Sebagai bukti
permulaan yang cukup adalah sangat relatif.oleh karena itu haruslah dinilai
secara wajar berdasarkan praktik. Apabila seorang hakim dalam memeriksa “bukti
permulaan yang cukup” dalam suatu sidang praperadilan harus mempertimbangkan
berdasarkan kepatutan apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup
dengan mengingat kondisi dan situasi yang melingkupinya.
Dalam Pasal 46 Perpu
1/2002 adanya pemberlakuan asas berlaku surut (retroaktif), terhadap
asas ini dapat dikaji dari dua persfektif: dari optik yuridis dimana menurut
Fuller ada kontradiksi asas retroaktif dengan asas legalitas. Asas legalitas
mengandung pengertian UU tidak boleh berlaku surut. Selain itu dalam hukum
positif (Pasal 28 huruf i UUD 1945,
Pasal 1 ayat (1) KUHP, Pasal 4, 18 ayat (2) UU No. 39/1999) adanya kontradiksi
asas retroaktif dengan hukum positif Indonesia. Dari optik kebijakan hukum
pidana dalam perspektif HAM maka UU (i.c. Perpu 1/2002 jo UU No. 15/2003)
sebagai kebijakan hukum pidana (penal
policy/criminal law policy/strafrecht politiiek) adalah, “usaha untuk
mewujukkan peraturan hukum pidanaagar sesuai keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum)”. Menurut Marc Ancel,
maka penal policy merupakan “ilmu
sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik.” Dari aspek kebijakan hukum pidana maka pada
kebijakan aplikatif, penjatuhan pidana semata-mata bukan bersifat pembalasan (teori retrebutif), akan tetapi juga
bersifat pencegahan (deterrence) dan
tujuan (doel teori). Singkatnya,
bersifat integratif. Karena itu, dalam perspektif praktik terhadap kasus
pelanggaran HAM, dengan dasar Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000, serta
hukum internasional sudah mengakui dan menerima prinsip yuridiksi universal
dalam memerangi dan menghapus kejahatan terhadap kemenusiaan (crime against humanity), maka dari aspek
kebijakan hukum pidana dalam perspektif HAM asas retroaktif dalam Perpu 1/2002
jo UU No. 15/2003 relatif dibenarkan.[14]
Meskipun demikian kompleksnya permasalahan terhadap
TPT dan aturan hukumnya yang masih labil, setidaknya politik hukum diharapkan
mampu memberikan perannya dalam menanggulangi TPT. Dalam menanggulangi TPT
dapat dilakukan melalui sarana penal dan non penal. Sarana penal dilakukan
dengan menerapkan Perpu 1/2002 jo UU no 15/2003 terhadap pelaku TPT dan
melakukan revisi terhadap Perpu tersebut yang mana ada beberapa pasal yang
dianggap kurang tepat dan mengandung penafsiran bila dipaksa untuk diterapkan.
Jadi disinilah salah satu peran politik hukum, menggantikan peraturan lama yang
telah usang dengan yang baru sesuai untuk keadaan sekarang dan masa yang akan datang. Demi
terciptanya hukum kearah yang lebih baik dan tetap menjunjung tinggi nilai
keadilan. Sedangkan sarana non penal dapat dilakukan melalui sosialisasi dan
melaporkan bila ada kegiatan mencurigakan ditengah-tengah masyarakat terkait
TPT, selalu aktif dalam menjalin kerjasama terutama aparat penegak hukum baik
ditingkat pusat maupun daerah, peningkatan kinerja dari intelijen untuk
mendeteksi dan mencegah secara dini kegiatan yang berhubungan dengan TPT yang
harus diimbangi sarana dan prasarana yang memadai.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
- Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan tindak Pidana Terorisme
dikeluarkan karena waktu itu kondisi lagi genting untuk menanggulangi
tindak pidana terorisme. Pengeluaran Perpu tersebut 6 (enam) hari pasca
kejadian Bom Bali I pada tahun 2002 tapi tidak mengurangi nilainya sebagai
payung hukum untuk menjerat pelaku tindak pidana terorisme. Serta sebagai
langkah dalam memperkuat ketertiban masyarakat dan keselamatan masyarakat
dengan tetap menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia. Meskipun telah
diundangkannya Perpu menjadi UU tapi masih ditemukan pasal-pasal yang
tidak limitatif.
- Politik
hukum mempunyai peran penting dalam tegaknya hukum yang berlaku saat ini.
Dengan begitu, maka adanya penerapan aturan hukum mana yang diberlakukan,
dicabut atau diperbaharui sehingga memberikan kejelasan langkah-langkah
yang diambil dalam menanggulangi kejahatan terorisme dan dapat
meningkatkan fungsi serta kinerja instansi yang ada. Namun dengan regulasi
saja tidaklah tepat kiranya dalam memberantas tindak pidana terorisme oleh
karena itu diperlukan upaya lain secara komperhensif dan berkesinambungan.
B.
Saran
- Semenjak
ditetapkan menjadi UU dan mengingat ada pasal-pasal dalam peraturan
tersebut tidak diatur secara limitatif maka perlulah kiranya dilakukan
revisi terhadap UU tersebut agar benar-benar sesuai dengan apa yang
diharapkan yaitu tetap menjunjung tinggi hukum baik pada tersangka maupun
pada akibat yang ditimbulkan.
- Harus
ditingkatkan dan selalu melakukan koordinasi dengan instansi terkait
mengenai dan menanggulangi kejahatan terorisme karena terorisme bukan saja
masalah nasional tetapi juga masalah internasional yang harus diberantas
sampai kepada akar-akarnya. Serta dibutuhkan peran aktif dari masyarakat
karena teroris hidup ditengah-tengah masyarakat. Dengan adanya kerjasama
tersebut mungkin akan mempersulit tumbuh kembang teroris dilingkungan
masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Abdul
Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik. 2004. Kejahatan Terorisme:
Perspektif Agama, hak Asasi Manusia dan Hukum. Cet.
Pertama. Refika
Aditama. Bandung.
Hari
Sasangka. 2007. Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan Praperadilan Dalam
Teori dan Praktik. Cet. Pertama.
Mandar Maju. Bandung.
Lilik
Mulyadi. 2007.
Peradilan Bom Bali. Djambatan. Jakarta.
Moh.
Hatta. 2010. Kebijakan Politik Kriminal: Penegakan Hukum Dalam Rangka
Penanggulangan Kejahatan. Cet. Pertama.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Moh.
Mahfud MD. 2009. Politik Hukum Di Indonesia. Cet. Kedua Ed. Revisi. RajaGrafindo Persada.
Jakarta.
Teguh
Sulistia dan Aria Zarnetti. 2011. Hukum Pidana: Horizon Baru
Pasca Reformasi. Cet.
Pertama.
RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Peraturan
perundang-undangan
Republik
Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP)
Republik Indonesia. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002. Juncto Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme
Republik
Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun
2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
Republik Indonesia.
Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Dan Tata
Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia
[1] Lihat Teguh Sulistia dan Aria
Zarnetti, Hukum Pidana: Horizon Baru
Pasca Reformasi, Cet. Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.
148-149.
[2] Lihat Moh. Hatta, Kebijakan Politik Kriminal: Penegakan Hukum
Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan, Cet. Pertama, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2010, hlm. 116.
[3]
Pasal 1 angka 1 PERPU No. 1 Tahun 2002 Jo UU No. 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
[4] Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad
Imam Sidik, Kejahatan Terorisme:
Perspektif Agama, hak Asasi Manusia dan Hukum, Cet. Pertama, Refika
Aditama, Bandung, 2004, hlm. 2.
[5]
Lihat Moh. Mahfud MD, Politik
Hukum Di Indonesia, Cet. Kedua Ed. Revisi, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2009, hlm. 1-2.
[6] Moh. Hatta, Loc. Cit
[7] Pasal 25 ayat 2 PERPU No. 1
Tahun 2002 Jo UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.
[8] Lihat Pasal 24 ayat (1 dan 2) KUHAP.
[9] Lihat Pasal 25 ayat (1 dan 2) KUHAP.
[10] Lihat Lilik Mulyadi, Peradilan Bom Bali, Djambatan, Jakarta,
2007, hlm. 7-9.
[11] Lihat Ibid., hlm. 10.
[12] Moh. Hatta, Moh. Hatta, Op. Cit., hlm. 126.
[13] Hari Sasangka, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan
Praperadilan Dalam Teori dan Praktik, Cet. Pertama, Mandar Maju, Bandung,
2007, hlm. 47.
[14] Lihat Lilik Mulyadi, Op. Cit., hlm. 11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar yang baik