Minggu, 13 Januari 2013

Politik Hukum Penanganan Tindak Pidana Terorisme


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Dewasa ini perkembangan kejahatan kian meningkat. Di media cetak maupun elektronik, setiap harinya ada saja pemberitaan mengenai kejahatan. Baik dari cara melakukan ataupun akibat yang ditimbulkan yang namanya kejahatan tetaplah kejahatan. Peraturan perundang-undangan dan aparat penegak hukum seakan dibuat kebingungan melihat gerakan kejahatan yang semakin canggih. Aturan yang ada terkadang tidak cukup untuk menjangkau perbuatan melawan hukum tersebut. Bisa dikarenakan aturan tersebut terlalu usang untuk diterapkan pada kejahatan baru (new crime) ataupun aturan tersebut kurang menjamin dapat atau tidaknya diterapkan bagi pelaku yang merugikan kepentingan masyarakat, negara ataupun dunia internasional.
Lambannya gerak dari hukum sendiri menjadikan ia sulit untuk mengikuti perubahan sosial di tengah masyarakat. Dengan demikian memberikan kesempatan besar kepada orang untuk melakukan tindak pidana karena tiada perbuatan yang dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Kejahatan baru (new crime) ini muncul tidak terlepas dari pengaruh perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (selanjutnya disebut iptek) bagaikan pedang yang mempunyai bermata dua. Disatu sisi, memberikan kemudahan untuk mendapatkan informasi baik nasional maupun internasional dan disisi lain kemajuan iptek sangat rentan dimanfaatkan untuk melakukan tindak pidana.
Kejahatan yang dimaksud dalam hal ini adalah tindak pidana terorisme, yang mana tindak pidana seperti ini harus ditangani secara serius dan memerlukan kehati-hatian ekstra khususnya oleh aparat penegak hukum jangan sampai tujuan mulia untuk menegakan hukum salah/disalahgunakan, karena tindak pidana ini termasuk extra ordinary crime dan seriously crime. Tindak pidana terorisme mempunyai karakteristik tersendiri dari pada kejahatan yang konvensional. Seperti wilayah yang menjadi sasaran tindak pidana terorisme, target manusia yang dipilih dengan sistem random artinya tidak jelas siapa tujuan sebenarnya yang menjadi sasaran utama kecuali menciptakan rasa takut ditengah-tengah masyarakat, terorganisir dengan rapi ibarat sel bilamana ia tertangkap maka ia akan lepas dari sel induk, dan mempunyai jaringan yang luas artinya terorisme bukan hanya berkembang disuatu wilayah saja melainkan juga sudah berkembang  di wilayah lain.
Oleh karena itulah dibuat aturan khusus mengenai tindak pidana terorisme diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan maksud agar setiap orang seharusnya mengambil peran jika ingin tindak pidana terorisme ditumpas habis. Pada dasarnya tidaklah mungkin menumpas habis kejahatan terorisme sampai pada akar-akarnya tapi setidaknya dengan melakukan kerjasama baik pada tingkat masyarakat, nasional,regional dan internasional bisa mencegah dan menekan perbuatan agar tidak dilakukan.
Disinilah dibutuhkan peran politik hukum dalam penanganan tindak pidana terorisme. Kebijakan pidana dan politik kriminal pertama kali dikemukakan Soedarto pada Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, 28-30 Agustus 1980 di Semarang. Politik kriminal dalam arti seluas-luasnya meliputi segala usaha yang dilakukan melalui pembuatan undang-undang dan tindakan dari badan resmi yang bertujuan menegakan norma-norma pokok yang dianut oleh masyarakat. Sedangkan politik hukum pidana menurut Barda Nawawi Arif mengandung arti, yakni bagaimana mengusaha-kan, membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.[1] Ini bukti bahwa tindak pidana terorisme merupakan masalah besar di masa sekarang dan masa depan yang perlu dilakukan pencegahan sedini mungkin dengan melihat akibat yang ditimbulkan mempunyai dampak besar bagi kehidupan masyarakat, negara dan dunia internasional. Karena kejahatan terorisme akan mngancam integritas suatu bangsa dimata Internasional.


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis diuraikan diatas, dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti, sebagai berikut:
  1. Apakah tindak pidana terorisme itu?
  2. Bagaimana peran politik hukum dalam menangani tindak pidana terorisme di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Tindak Pidana Terorisme
Sebagai bagian dari dunia internasional, Indonesia dalam memerangi tindak pidana terorisme (selanjutnya disebut TPT) telah memiliki sarana atau perangkat hukum. Yang mana perangkat hukum tersebut digunakan untuk turut serta memerangi TPT dan melindungi bangsa Indonesia dari aksi-aksi terorisme. Pengaturan khusus mengenai TPT terdapat pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang. Selain peraturan tersebut, masih ada juga peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan TPT seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pengesahan Memorandum Saling Pengertian Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Federasi Rusia Tentang Kerja Sama Di Bidang Pemberantasan Terorisme (Memorandum Of Understanding Between The Government Of The Republic Of Indonesia And The Government Of The Russian Federation On Cooperation In Combating Terrorism). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia. Serta meratifikasi dua konvensi internasional yang berkaitan dengan pemberantasan TPT dan menyetujui menjadi Undang-Undang yaitu Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman dan Terorisme tahun 1997 (“Internasional Convention for The Suppression of the Financing of Terrorisme 1999).[2] Kesemua itu bertujuan untuk melindungi masyarakat dan negara dari ancaman bahaya serangan terorisme yang bersifat merusak itu.
Tindak Pidana Terorisme sendiri adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.[3]
Dalam Pasal 23 Perpres 52 tahun 2010 dinyatakan bahwa:
(1)   Detasemen Khusus 88 Anti Teror disingkat Densus 88 AT adalah unsur pelaksana tugas pokok di bidang penanggulangan kejahatan terorisme yang berada di bawah Kapolri.
(2)   Densus 88 AT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertugas menyelenggarakan fungsi intelijen, pencegahan, investigasi, penindakan, dan bantuan operasional dalam rangka penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme.
Dengan adanya Perpres tersebut maka penanganan terorisme ini secara khusus dapat dilakukan oleh Densus 88 AT. Yang mempunyai fungsi intelijen sebagai spionase pergerakan terorisme, pencegahan sedini mungkin akan TPT, investigasi secara menyeluruh dalam memberantas TPT, penindakan tegas yang harus dilakukan untuk memberikan efek jera bagi para pelaku dan juga orang yang mau mencoba melakukan TPT, dan menerima bantuan operasional dalam rangka penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme. Densus 88 AT mempunyai tugas dan tanggung jawab yang bernaung di bawah Polisi Republik Indonesia.
Disamping itu, dalam Rapat Kerja Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia bersama dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan tanggal 12 Juni 2006 dan 31 Agustus 2009, telah merekomendasikan kepada Pemerintah tentang perlunya membentuk suatu badan yang berwenang melakukan tugas penanggulangan terorisme. Oleh karena itu dibentuklah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010. BNPT merupakan Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang berada dan bertanggung jawab kepada Presiden.
BNPT mempunyai tugas:
a.       Menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme;
b.      Mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme;
c.       Melaksanakan kebijakan di dalam penanggulangan terorisme dengan membentuk satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, kewenangan masing-masing.
Bidang penanggulangan sebagaimana dimaksud meliputi pencegahan, perlindungan, dekarilisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional. BNPT juga menjadi pusat pengendalian krisis yang berarti berfungsi sebagai fasilitas bagi presiden untuk menetapkan kebijakn dan langkah-langkahpenanganan krisis termasuk pengerahan sumber daya dalam penanggulangan aksi terorisme. BNPT terdiri dari kepala, sekretaris utama, deputi bidang pencegahan, perlindungan, dan deradikalisasi, deputi bidang penindakan dan pembinaan kemampuan, deputi bidang kerjasama internasional dan inspektorat.
Sehubungan dengan itu, untuk memperkuat sistem hukum terhadap TPT. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional yang memberikan kesempatan besar bagi aparat penegak hukum dan pemerintah untuk melakukan penegakan hukum terhadap TPT. Bisa saja dilakukan dengan penukaran informasi, pengumpulan barang bukti, alat serta kerjasama yang solid dengan dunia internasional demi terciptanya perdamaian dunia. Yang mana kita ketahui bahwa terorisme mempunyai jaringan luas di seluruh dunia. Upaya yang dilakukan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan TPT bisa dilakukan secara prementif dan represif serta dilakukan secara hati-hati. Meskipun telah diratifikasi namun terdapat kekurangan pada hukum acara pidana kita dalam merespon hadirnya kejahatan transnasional dan terorganisir ini.
TPT merupakan kejahatan yang terorganisir, mempunyai jaringan luas, sumber pendanaan yang memadai, perekrutan yang baik dan dominan menggunakan high technology baik sebagai sarana maupun sasaran, target sasaran dalam jumlah besar. Ini menunjukan bahwa TPT sangat berbeda dari kejahatan konvensional lainnya. Oleh karena itu, aparat dalam menegakan hukum harus ekstra hati-hati baik ditingkat penyidikan, penahanan, penuntutan hingga proses vonis. Pemberantasan TPT dalam Perpu 1/2002 merupakan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk memperkuat ketertiban masyarakat, dan keselamatan masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia, tidak bersifat deskriminatif, baik berdasarkan suku, agama, ras, maupun antargolongan.
Semenjak terjadi bom Bali, TPT di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup drastis. Aksi teror tersebut jelas telah melecehkan nilai-nilai kemanusiaan martabat bangsa, dan norma-norma agama. Teror telah menunjukan gerakan nyatanya sebagai tragedi atas hak asasi manusia. Eskalasi dampak destruktif yang ditimbulkan telah atau lebih banyak menyentuh multidimensi kehidupan manusia. Jati diri manusia, harkat sebagai bangsa beradab, dan cita-cita dapat hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam misi mulia “kedamaian universal” mudah dan masih dikalahkan oleh aksi teror. Karena demikian akrabnya aksi teror ini digunakan sebagai salah satu pilihan manusia, akhirnya teror bergeser dengan sendirinya sebagai “terorisme”. Artinya terorisme ikut ambil bagian dalam kehidupan berbangsa ini untuk menunjukan potret lain dari dan di antara berbagai jenis dan ragam kejahatan, khususnya kejahatan kekerasan, kejahatan terorganisir, dan kejahatan yang tergolong luar biasa (extra ordinary crime).[4]

B.     Peran Politik Hukum Dalam Penanganan Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia
Menurut Moh. Mahfud MD ia mengemukakan bahwa politik hukum adalah “legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.” Padmo Wahjono mengatakan poitik hukum adalah kebijakan dasar yang menetukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk dan dalam tulisan yang lain ia memperjelas definisi tersebut dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggaraan negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum. Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang akan berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Satjipto Raharjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang cakupannnya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar, yaitu: 1) tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada; 2) cara-cara apa dan yang mana yang dirasakan paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut; 3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah; 4) dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik. Soedarto pun ambil bagian dalam mendefinisikan politik hukum, menurutnya politik hukum adalah kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan, di tahun 1986 ia mengemukan kembali politik hukum merupakan upaya untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.[5] Jika diperhatikan secara saksama, apa yang dikemukakan diatas mengenai politik hukum akan menunjukan bahwa adanya persamaan secara subtantif mengenai hukum yang akan diberlakukan, dicabut ataupun hukum yang tidak diberlakukan. Secara sederhana politik hukum itu dapat diartikan sebagai kebijakan negara tentang hukum yang akan diberlakukan di dalam negara yang bentuknya dapat berupa pembentukan hukum-hukum baru atau pencabutan dan penggantian hukum-hukum lama untuk disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat saat ini dan masa yang akan datang sehingga hukum itu benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya.
Hubungan politik hukum dengan penanganan TPT sangat dirasakan sekali manfaatnya, karena aturan mengenai terorisme semula belum ada semenjak adanya kasus Bom Bali I di Legian yang menewaskan lebih dari 200 orang baik warga negara Indonesia maupun asing, membuat pemerintah merespon kejadian tersebut dengan dikeluarkannya Perpu No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme atau pengeluaran Perpu tersebut 6 hari pasca terjadinya bom Bali. Dan dikeluarkannya Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan TPT. Perpu tersebut dikeluarkan karena negara dalam keadaan genting sedangkan aturan mengenai terorisme belumlah ada pada saat kejadian bom Bali I itu terjadi. Yang kemudian di undangkan menjadi UU no 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2002 tersebut. Ini menjadikan aturan tersebut sebagai payung hukum dalam menangani TPT.
Bertalian dengan payung hukum tersebut dapat diberikan beberapa catatan yang kajian akademik antara lain berkaitan dengan:[6]
1.      Rumusan pasal-pasal yang bersifat elastis (Unpredictable);
Rumusan –rumusan yang sifatnya elastis dapat dilihat pada Pasal 6 dan Pasal 7 Perpu No. 1 Tahun 2002 akan menyulitkan orang yang terkena dampak ataupun aparat penegak hukum yang menjadi pelaksana dari akibat berlakunya Perpu ini. Elastisnya pasal ini dapat dibaca dari kata-kata “suasana teror atau takut terhadap orang secara meluas” yang belum ada kualifikasi dalam Perpu ini.
Dari uraian di atas selintas dapat dilihat bahwa definisi “terorisme” seperti yang dimaksud Perpu ini belum dapat digunakan untuk  mengkalkulasi/kuantifikasi suatu perbuatan dan akibat dari perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai TPT.
Begitu pula ketentuan dalam Pasal 7 Perpu No. 1 Tahun 2002 yang merumuskan kata “bermaksud” sebagai salah satu unsur utama TPT. Adanya unsur bermaksud sebagai salah satu unsur utama TPT dikhawatirkan akan menciptakan “arogansi” dari aparat keamanan, khususnya intelijen untuk menafsirkan dan menggunakan kewenangannya menangkap, menahan, dan kemudian memproses sebagai teroris “tanpa” perlu membuktikan secara materil terhadap orang-orang yang diduga sebagai teroris.
2.      Kewenangan penyidik yang agak berlebihan;
3.      Minimnya hak-hak tersangka/terdakwa;
4.      Belum lengkapnya perlindungan saksi, korban dan aparat penegak hukum;
5.      Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

Pasal 25 ayat (1) menyatakan “Penyidik, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam TPT, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Perpu ini.” Dilihat dari bunyi pasal tersebut seakan tersirat bahwa adanya pemberlakuan asas lex specialist derogat lex generalis. Dimana lex specialist adalah Perpu dan lex generalist adalah KUHAP.  Yang mana  untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi kewenangan untuk menahan tersangka paling lama 6 bulan[7], terdiri dari 4 bulan untuk proses penyidikan dan 2 bulan untuk proses penuntutan. Hal ini berbeda apa yang ada di KUHAP, di KUHAP disebutkan bahwa perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik berlaku paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 40 hari.[8] Sedangkan untuk penuntutan penahanan dapat dilakukan paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan yang berwenang paling lama 30 hari.[9] Bila diakumulasikan lama dalam proses penahanan, maka ada sekitar 70 hari lebih lama penahanan di Perpu daripada KUHAP dan berlaku apabila ancaman tindak pidana tersebut kurang dari 9 tahun.
Sedangkan menurut Lilik Mulyadi ia mengatakan;
“apabila ancaman tindak pidana tersebut lebih dari 9 tahun, maka sesuai pasal 29 masa penahanan KUHAP lebih lama 50 hari dari Perpu. Selain itu, untuk tingkat penyelidikan dengan ancaman pidana kurang dari 9 tahun, masa penahanan Perpu lebih lama 60 hari, sedangkan yang diancam tindak pidananya lebih dari 9 tahun maka Baik KUHAP maupun UU Pemberantasan TPT sama waktunya yaitu selama 120 hari. Berikutnya pada tahap penuntutan untuk tindak pidana yang ancaman pidananya dibawah 9 tahun , masa penahanan undang-undang lebih lama 10 hari, sedangkan untuk ancaman pidana yang lebih dari 9 tahun maka KUHAP lebih 60 hari dari Perpu”.[10]
Akan tetapi dalam Perpu1/2002 jo UU no 15/2003 tidak ditegaskan berapa lama kewenangan hakim melakukan penahanan. Apabila bertitik tolak pada ketentuan Perpu tersebut karena tidak diatur maka berlaku lex generalist KUHAP dimana menurut Pasal 26 ayat (1), (2), Pasal 29 ayat (1) huruf b, dan ayat (2) hakim maksimal dapat menahan selama 150 hari.

Selain itu pada Pasal 5 Perpu 1/2002 berbunyi “tindak pidana terorisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi.” Muatan politik dalam tindak pidana terorisme ini dikecualikan, sedangkan diketahui bahwa terorisme terkadang cenderung perbuatannya mengarah pada nuansa politik.
Dalam penjelasan umum angka 3 Perpu 1/2002 jo UU No 15 Tahun 2003 memuat ketentuan khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa yang disebut “safe guarding rules” ketentuan tersebut memperkenalkan lembaga baru dalam hukum acara pidana yang disebut dengan “hearing” dan berfungsi sebagai lembaga yang melakukan “legal audit” terhadap suatu dokumen atau laporan intelijen yang disampaikan oleh penyidik untuk menetapkan diteruskan atau tidaknya suatu penyidikan atas dugaan adanya tindakan terorisme. Jika kita hubungkan dengan KUHAP, maka tidak akan kita jumpai aspek tersebut diatas. Lihatlah Pasal 26 Perpu tersebut yang berbunyi, ayat (1) untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen. Ayat (2) penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri. Ayat (3) proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari. Dan Ayat (4) jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkannya ada bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan melakukan penyidikan.
Secara teoritik dan praktik, laporan intelijen negara dalam Pasal 26 Perpu tersebut dapat menimbulkan dilema karena tidak menentukan secara tegas arti penting dari laporan intelijen tersebut. Apakah laporan intelijen digolongkan sebagai bukti pokok sebagaimana Pasal 184 ayat (1) KUHAP atau sebagai bukti penunjang saja. Jika ini dianggap sebagai bukti pokok maka aspek ini relatif menyimpang dari kelaziman dimana bukti dari tindak pidana salah satunya dapat meliputi bukti intelijen.[11] Disamping itu kata “dapat menggunakan” dalam ayat (1) memberikan kemungkinan kepada kepolisian menggunakan sumber data, data untuk laporan-laporan lain yang untuk digunakan sebagai bukti awal yang kuat untuk menduga/melakukan penangkapan/penahanan terhadap tersangka pelaku TPT dan akibatnya ada kemungkinan akan timbul “pengingkaran” sumber informasi misalnya bila terjadi gugatan praperadilan.[12]
Dalam penjelasan Pasal 26 ayat (1) Perpu hanya berbunyi laporan intelijen adalah laporan yang berkaitan dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional. Laporan intelijen dapat diperoleh dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Keuangan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara, atau instansi lain yang terkait. Sedangkan di KUHAP pada Penjelasan Pasal 17 hanya menjelaskan mengenai bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana yang dilakukan tersangka dan pasal ini menunjukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo atas komentarnya pasal 17 KUHAP tersebut sebagai berikut:[13]
……… Arti bukti permulaan (prima facie evident) berarti bukti sedikit untuk menduga ada tindak pidana, misalnya kepada seseorang kedapatan benda/barang curian, maka petugas penyidik dapat menduga keras bahwa pada seseorang itu telah melakukan tindak pidana berupa pencurian atau penadahan”
Sejalan dengan itu Hari Sasangka mengatakan:
Sebagai bukti permulaan yang cukup adalah sangat relatif.oleh karena itu haruslah dinilai secara wajar berdasarkan praktik. Apabila seorang hakim dalam memeriksa “bukti permulaan yang cukup” dalam suatu sidang praperadilan harus mempertimbangkan berdasarkan kepatutan apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup dengan mengingat kondisi dan situasi yang melingkupinya.

Dalam Pasal 46 Perpu  1/2002 adanya pemberlakuan asas berlaku surut (retroaktif), terhadap asas ini dapat dikaji dari dua persfektif: dari optik yuridis dimana menurut Fuller ada kontradiksi asas retroaktif dengan asas legalitas. Asas legalitas mengandung pengertian UU tidak boleh berlaku surut. Selain itu dalam hukum positif (Pasal 28 huruf i UUD 1945, Pasal 1 ayat (1) KUHP, Pasal 4, 18 ayat (2) UU No. 39/1999) adanya kontradiksi asas retroaktif dengan hukum positif Indonesia. Dari optik kebijakan hukum pidana dalam perspektif HAM maka UU (i.c. Perpu 1/2002 jo UU No. 15/2003) sebagai kebijakan hukum pidana (penal policy/criminal law policy/strafrecht politiiek) adalah, “usaha untuk mewujukkan peraturan hukum pidanaagar sesuai keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum)”. Menurut Marc Ancel, maka penal policy merupakan “ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik.” Dari aspek kebijakan hukum pidana maka pada kebijakan aplikatif, penjatuhan pidana semata-mata bukan bersifat pembalasan (teori retrebutif), akan tetapi juga bersifat pencegahan (deterrence) dan tujuan (doel teori). Singkatnya, bersifat integratif. Karena itu, dalam perspektif praktik terhadap kasus pelanggaran HAM, dengan dasar Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000, serta hukum internasional sudah mengakui dan menerima prinsip yuridiksi universal dalam memerangi dan menghapus kejahatan terhadap kemenusiaan (crime against humanity), maka dari aspek kebijakan hukum pidana dalam perspektif HAM asas retroaktif dalam Perpu 1/2002 jo UU No. 15/2003 relatif dibenarkan.[14]
Meskipun demikian kompleksnya permasalahan terhadap TPT dan aturan hukumnya yang masih labil, setidaknya politik hukum diharapkan mampu memberikan perannya dalam menanggulangi TPT. Dalam menanggulangi TPT dapat dilakukan melalui sarana penal dan non penal. Sarana penal dilakukan dengan menerapkan Perpu 1/2002 jo UU no 15/2003 terhadap pelaku TPT dan melakukan revisi terhadap Perpu tersebut yang mana ada beberapa pasal yang dianggap kurang tepat dan mengandung penafsiran bila dipaksa untuk diterapkan. Jadi disinilah salah satu peran politik hukum, menggantikan peraturan lama yang telah usang dengan yang baru sesuai untuk keadaan  sekarang dan masa yang akan datang. Demi terciptanya hukum kearah yang lebih baik dan tetap menjunjung tinggi nilai keadilan. Sedangkan sarana non penal dapat dilakukan melalui sosialisasi dan melaporkan bila ada kegiatan mencurigakan ditengah-tengah masyarakat terkait TPT, selalu aktif dalam menjalin kerjasama terutama aparat penegak hukum baik ditingkat pusat maupun daerah, peningkatan kinerja dari intelijen untuk mendeteksi dan mencegah secara dini kegiatan yang berhubungan dengan TPT yang harus diimbangi sarana dan prasarana yang memadai.

BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
  1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan tindak Pidana Terorisme dikeluarkan karena waktu itu kondisi lagi genting untuk menanggulangi tindak pidana terorisme. Pengeluaran Perpu tersebut 6 (enam) hari pasca kejadian Bom Bali I pada tahun 2002 tapi tidak mengurangi nilainya sebagai payung hukum untuk menjerat pelaku tindak pidana terorisme. Serta sebagai langkah dalam memperkuat ketertiban masyarakat dan keselamatan masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia. Meskipun telah diundangkannya Perpu menjadi UU tapi masih ditemukan pasal-pasal yang tidak limitatif.
  2. Politik hukum mempunyai peran penting dalam tegaknya hukum yang berlaku saat ini. Dengan begitu, maka adanya penerapan aturan hukum mana yang diberlakukan, dicabut atau diperbaharui sehingga memberikan kejelasan langkah-langkah yang diambil dalam menanggulangi kejahatan terorisme dan dapat meningkatkan fungsi serta kinerja instansi yang ada. Namun dengan regulasi saja tidaklah tepat kiranya dalam memberantas tindak pidana terorisme oleh karena itu diperlukan upaya lain secara komperhensif dan berkesinambungan.
B.     Saran
  1. Semenjak ditetapkan menjadi UU dan mengingat ada pasal-pasal dalam peraturan tersebut tidak diatur secara limitatif maka perlulah kiranya dilakukan revisi terhadap UU tersebut agar benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan yaitu tetap menjunjung tinggi hukum baik pada tersangka maupun pada akibat yang ditimbulkan.

  1. Harus ditingkatkan dan selalu melakukan koordinasi dengan instansi terkait mengenai dan menanggulangi kejahatan terorisme karena terorisme bukan saja masalah nasional tetapi juga masalah internasional yang harus diberantas sampai kepada akar-akarnya. Serta dibutuhkan peran aktif dari masyarakat karena teroris hidup ditengah-tengah masyarakat. Dengan adanya kerjasama tersebut mungkin akan mempersulit tumbuh kembang teroris dilingkungan masyarakat.

 
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik. 2004. Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, hak Asasi Manusia dan Hukum. Cet. Pertama. Refika Aditama. Bandung.
Hari Sasangka. 2007. Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan Praperadilan Dalam Teori dan Praktik. Cet. Pertama. Mandar Maju. Bandung.
Lilik Mulyadi. 2007. Peradilan Bom Bali. Djambatan. Jakarta.
Moh. Hatta. 2010. Kebijakan Politik Kriminal: Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan. Cet. Pertama. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Moh. Mahfud MD. 2009. Politik Hukum Di Indonesia. Cet. Kedua Ed. Revisi. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Teguh Sulistia dan Aria Zarnetti. 2011. Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca Reformasi. Cet. Pertama. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002. Juncto Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Republik Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
Republik Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia



[1] Lihat Teguh Sulistia dan Aria Zarnetti, Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca Reformasi, Cet. Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 148-149.
[2] Lihat Moh. Hatta, Kebijakan Politik Kriminal: Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan, Cet. Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 116.
[3]  Pasal 1 angka 1 PERPU No. 1 Tahun 2002 Jo UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
[4] Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, hak Asasi Manusia dan Hukum, Cet. Pertama, Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 2.
[5]  Lihat Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Cet. Kedua Ed. Revisi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 1-2.
[6] Moh. Hatta, Loc. Cit
[7] Pasal 25 ayat 2 PERPU No. 1 Tahun 2002 Jo UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
[8] Lihat  Pasal 24 ayat (1 dan 2) KUHAP.
[9] Lihat  Pasal 25 ayat (1 dan 2) KUHAP.
[10] Lihat Lilik Mulyadi, Peradilan Bom Bali, Djambatan, Jakarta, 2007, hlm. 7-9.
[11] Lihat Ibid., hlm. 10.
[12] Moh. Hatta, Moh. Hatta, Op. Cit., hlm. 126.
[13] Hari Sasangka, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan Praperadilan Dalam Teori dan Praktik, Cet. Pertama, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm. 47.
[14] Lihat Lilik Mulyadi, Op. Cit., hlm. 11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar yang baik