BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Korporasi
kehadirannya memang diperlukan. Mulai dari sebelum lahir hingga berakhirnya
kehidupan seorang manusia dibumi, setidaknya korporasi telah mengambil adil
dalam setiap fase tersebut. Kehadiran korporasi tidak bisa dipungkiri lagi.
Usaha mendorong pertumbuhan dan perkembangan korporasi ini sejalan dengan
tuntutan dalam memenuhi tahapan-tahapan pembangunan yakni dengan meletakan
dasar-dasar pembangunan industri dalam menyonsong era pembangunan jangka
panjang.
Pertumbuhan
industri ini dapat dilihat dari berbagai bidang, seperti pertanian, makanan ,
farmasi, perbankan, elektronika, otomotif, perumahan, transportasi, hiburan dan
masih banyak lagi. Hampir setiap harinya kita dibanjiri dengan produk-produk
baru, mulai dari produk untuk kebutuhan sehari-hari hingga untuk investasi.
Kesemuanya itu, dapat dikatakan korporasilah yang melayani kebutuhan kita.
Keberadaan
korporasi, sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun pada waktu itu belum dikenal
istilah “korporasi” seperti sekarang ini. Korporasi seperti memiliki dua sisi
yaitu sisi positif dan negatif. Disisi positif, kehadiran korporasi telah
menciptakan lapangan pekerjaan yang luas, mengurangi angka pengangguran. Belum
lagi, korporasi juga memberikan sumbangan yang dihasilkannya baik berupa pajak,
maupun devisa dan yang jelas sekali hasil dari korporasi berguna dalam memenuhi
kebutuhan hidup. Namun, disisi lain, korporasi ternyata mempunyai perilaku
negatif, yang mana perilaku tersebut dapat merusak keseimbangan ekosistem.
Seperti pencemaran, pengurasan sumber daya alam yang terbatas, persaingan
curang, manipulasi pajak, eksploitasi terhadap buruh, mengeluarkan
produk-produk yang membahaya-kan kepada penggunanya serta penipuan terhadap
konsumen.
Ketika
perbuatan buruk ini dilakukan oleh korporasi baik sekali maupun terus menerus, maka
korporasi ini dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Karena dampak yang diberikan akibat perbuatan melawan hukum tersebut dapat
menimbulkan kerugian yang sangat besar. Kerugian tersebut bisa saja meliputi
kerugian di bidang ekonomi, kesehatan dan jiwa serta kerugian di bidang nilai
dan moral.
Seringkali masyarakat tidak menyadari dan
kurang mengenal kejahatan korporasi. Padahal bisa dikatakan kejahatan ini
sangat dekat dengan kita. Penyebab ketidaktahuan masyarakat, bisa jadi
disebabkan oleh ketidak-nampakan kejahatan korporasi yang disebabkan oleh
kompleksnya, kecanggihan perencanaan dan pelaksanaannya, lemahnya pelaksanaan
dan penegakan hukum, lenturnya sanksi hukum dan sanksi sosial sehingga gagal
dalam menguatkan dan menegakan sentimen kolektif ikatan moral.[1]
Sedianya
korporasi berorientasi pada profit (keuntungan). Ketika korporasi melakukan
suatu tindak pidana yang dipengaruhi oleh pemikiran dari pejabat senior, yang
diibaratkan otak sebuah korporasi dan mampu mengendalikan perusahaan, baik
sendiri maupun bersama-sama. Serta
perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar, tidak adil
kiranya bila yang diminta pertanggungjawaban pidana hanya kepada orang yang
melakukan perbuatan tersebut sedangkan hal itu diketahui orang yang melakukan
perbuatan tersebut demi untuk mencari keuntungan korporasi terkecuali orang
yang melakukan bukan untuk tujuan korporasi. Oleh karena itu, diperlukan juga
meminta pertanggungjawaban dari korporasi akibat perbuatan melawan hukum
tersebut.
Pengaturan
mengenai pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh korporasi sekiranya belum
ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Wetbook
van Strafrecht (KUHP WvS) Indonesia. Namun, dalam Konsep KUHP 2004 telah
memuat mengenai hal tersebut. Aturan tentang pertanggungjawaban pidana yang
dilakukan korporasi saat ini hanya ditemukan dalam aturan khusus diluar KUHP,
yakni dalam undang-undang. Seperti Undang-Undang Nomor 13 tahun 2010 tentang
Holtikultura, Undang-Undang Nomor 08 tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak pidana Pencucian uang, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Nomor 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20
tahun 2001, Undang-Undang Nomor 06 tahun 1984 tentang Pos, Undang-Undang Nomor
05 tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi,
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada
undang-undang tersebut telah menetapkan subjek hukum lain selain manusia yaitu
korporasi sebagai pelaku dalam tindak pidana.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah yang telah penulis diuraikan diatas, dapat dirumuskan masalah
yang akan diteliti, sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk kejahatan korporasi?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan korporasi?
C.
Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah
pemahaman makalah ini, maka penulis membagikannya menjadi empat bab yaitu;
Bab I Pendahuluan,
merupakan bab yang menjadi pedoman dalam penulisan yang terdiri dari: (a) latar
belakang masalah; (b) rumusan masalah; dan (c) sistematika penulisan.
Bab II merupakan
tinjauan pustaka yang terdiri dari kerangka konseptual dan kerangka teoritis
yang bersifat umum untuk dipakai sebagai dasar dalam bab pembahasan
Bab III merupakan
pembahasan yang terdiri dari bentuk kejahatan korporasi dan pertanggungjawaban
pidana terhadap kejahatan korporasi.
Bab IV merupakan bab
penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kerangka Konseptual
Korporasi
sebagai suatu badan hukum hasil ciptaan hukum tentunya mempunyai hak dan
kewajiban sebagaimana halnya manusia.[2] Tatanan yang diciptakan
oleh hukum itu baru menjadi kenyataan apabila kepada subjek hukum diberi hak
dan dibebani kewajiban.[3] Ketika subjek hukum itu
diberi hak maka iapun secara tidak langsung sudah dibebani oleh kewajiban atau
sebaliknya, tidaklah mungkin adanya kewajiban bila subjek hukum tidak mempunyai
haknya. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai korporasi sebagai suatu badan
hukum, ada baiknya menyimak beberapa pendapat di bawah ini:
Sudikno Mertokusumo,
menjelaskan apa yang dimaksud dengan badan hukum adalah organisasi atau
kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak dan
kewajiban.
Setiawan, menjelaskan rechtspersoon adalah subjek hukum yang
memiliki hak dan kewajiban sendiri, sekalipun bukan manusia pribadi. Ia
mewujudkan dirinya dalam bentuk badan atau organisasi yang terdiri atas
sekumpulan pribadi manusia yang bergabung untuk suatu tujuan tertentu serta
memiliki kekayaan tertentu.
Subekti, menjelaskan pada
pokoknya badan hukum, adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki
hak-hak melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan
sendiri, dapat digugat atau menggugat didepan hakim. Jadi rechtspersoon artinya orang yang dapat diciptakan oleh hukum.
Rudhi Prasetya, menjelaskan
badan hukum adalah sebagai subjek hukum yang mempunyai harta kekayaan sendiri
yang cakap melakukan perbuatan perdata dengan akibat dari perbuatannya itu
hanya dipertanggungjawabkan sekedar terbatas sampai pada jumlah harta kekayaan
yang ada.
Wirjono Prodjodikoro,
menyatakan korporasi adalah perkumpulan orang, dalam korporasi biasanya yang
mempunyai kepentingan adalah orang-orang yang merupakan anggota dari korporasi
itu, anggota-anggota mana juga mempunyai kekkuasaan dalam peraturan korporasi
berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan
korporasi.[4]
Jadi,
dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik pengertian secara umum bahwa
korporasi sebagai badan hukum merupakan sekumpulan dari orang-orang yang
membentuk suatu organisasi tertentu dengan tujuan tertentu, memiliki harta
kekayaan, serta mempunyai hak dan kewajiban.
Menurut
David J. Rachman, ia mengatakan bahwa secara umum korporasi memiliki lima ciri
penting, yaitu:
1. Merupakan
subjek hukum buatan yang memiliki kedudukan hukum khusus.
2. Memiliki
jangka waktu hidup yang tidak terbatas.
3. Memperoleh
kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis tertentu.
4. Dimiliki
oleh pemegang saham.
5. Tanggung
jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi biasanya sebatas saham yang
dimilikinya.[5]
Korporasi
adalah “badan hukum atau gabungan beberapa perusahaan yang dikelola dan
dijalankan sebagai satu perusahaan besar; kumpulan orang atau kekayaan yang
terorganisasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum”.[6] Sedangkan dalam
Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan korporasi diartikan sebagai:
Suatu kesatuan menurut atau
suatu badan susila yang diciptakan menurut undang-undang sesuatu negara yang
menjalankan suatu usaha atau aktifitas atau kegiatan lainnya yang sah. Badan
ini dapat dibentuk untuk selama-lama atau untuk sesuatu jangka waktu terbatas,
mempunyai nama dan identitas yang dengan nama dan identitas itu dapat dituntut
di muka pengadilan, dan berhak akan mengadakan suatu persetujuan menurut
kontrak dan akan melaksanakan semua fungsi lainnya yang seseorang dapat
melaksanakannya menurut undang-undang suatu negara. Pada umumnya suatu
corporation dapat merupakan suatu organisasi pemerintah, setengah pemerintah
atau partikelir.[7]
Untuk lebih jelas mengetahui korporasi sebagai subjek hukum dalam
peraturan perundang-undangan, penulis mencoba memuatnya dalam bentuk tabel[8] dibawah ini.
No
|
Undang-Undang (UU)
|
Penyebutan Subjek “Korporasi”
|
1
|
Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2010 tentang Holtikultura
|
Korporasi
adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, yang berbadan
hukum ataupun tidak berbadan hukum (Pasal 1 angka 25)
|
2
|
Undang-Undang Nomor 08 tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak pidana Pencucian uang
|
Korporasi
adalah sekumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 10)
|
3
|
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme
|
Korporasi
adalah sekumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 3)
|
4
|
Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001
|
Korporasi
adalah sekumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 1)
|
5
|
Undang-Undang
Nomor 06 tahun 1984 tentang Pos
|
Dilakukan
oleh atau atas nama “badan hukum, perseroan, perserikatan orang lain, atau
yayasan” (Pasal 19 ayat (3))
|
6
|
Undang-Undang
Nomor 05 tahun 1984 tentang Perindustrian
|
Korporasi
tidak disebut secara eksplisit, tetapi dalam Pasal 21 ayat (1) Jo. Pasal 1
angka 7 disebut subjek tindak pidana berupa “perusahaan industri”. Perusahaan
industri adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri.
|
7
|
Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
|
Hanya
disebutkan setiap orang. Setiap orang adalah orang perseorangan atau
korporasi (Pasal 1 angka 16)
|
8
|
Undang-Undang
Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi
|
Hanya
disebutkan setiap orang. Setiap orang adalah orang perseorangan atau
korporasi baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum (Pasal 1
angka 3)
|
9
|
Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
|
Hanya
disebutkan setiap orang. Setiap orang adalah orang perseorangan, baik warga
negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum (Pasal 1 angka 21)
|
Dilihat dari tabel di atas, masih ditemukannya penyebutan istilah
korporasi yang bermacam-macam atau belum seragam. Penulisan istilah korporasi
mulai terlihat pada tahun 1997 dalam UU Psikotropika. Hal ini dipengaruhi oleh
Konsep KUHP (baru) 1991/1992 sebagai ius
constituendum dalam Pasal 146 yang menyatakan korporasi adalah kumpulan
terorganisasi dari orang dan atau kekayaan, baik merupakan badan hukum atau
bukan.
Menurut
I Gede Widhiana Suarda, ia mengatakan korporasi dapat dijadikan subjek hukum
pidana internasional dengan alasan:
1. Korporasi
dapat dijadikan sarana untuk mencari keuntungan dan pada akhirnya digunakan
sebagai sumber dana suatu kejahatan internasional. Artinya, keuntungan suatu
korporasi ditujukan untuk mendanai kejahatan internasional, seperti terorisme,
kejahatan perang, genosida, dan sebagainya. Dalam hal ini, korporasi tersebut
pada umumnya berstatus legal serta menjalankan usaha sebagaimana layaknya
korporasi legal pada umumnya.
2. Selain
digunakan sebagai sarana untuk mendanai kejahatan internasional, korporasi
dapat dijadikan sebagai tempat atau
sarana untuk mencuci uang (money
laundering) hasil-hasil kejahatan internasional, misalnya mencuci uang
korupsi, perdagangan narkotika dan sebagainya. Artinya korporasi dapat
didirikan secara legal serta melakukan kegiatan dengan legal pula, tetapi itu
hanya sebagai kedok untuk mencuci uang dari hasil tindak pidana internasional
yang dilakukannya.
3. Korporasi
dapat menjadi pelaku tindak pidana internasional, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Sebagai contohnya adalah ketika terjadi pembantaian etnis
(genosida) di Rwanda, ternyata ada beberapa korporasi, baik yang secara
langsung maupun tidak langsung ikut berperan dalam mengobarkan semangat
pembantaian tersebut. Dalam masa pembantaian tersebut beberapa media massa
Rwanda telah ikut mamainkan peran penting “memuluskan” kejahatan yang
dilakukan.karena itu, wajar apabila korporasi dapat dijadikan sebagai subjek
hukum pidana internasional.
4. Perkembangan
dalam teori hukum (dan hukum pidana khususnya) telah menempatkan korporasi
sebagai subjek hukum sebagaimana manusia atau individu. Hampir semua negara di
dunia telah menempatkan korporasi juga sebagai subjek hukum dalam sistem hukum
pidananya, termasuk Indonesia. Memang pada awal kemunculan fenomena korporasi
sebagai subjek hukum pidana telah ditentang dan dikritik banyak orang. Namun
demikian saat ini, keberadaan korporasi sebagai pelaku tindak pidana atau
sebagai subjek hukum pidana sudah tidak terbantahkan lagi.
5. Dari
sisi praktik penegakan hukum pidana internasional telah menunjukan bahwa suatu
organisasi pernah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional (Mahkamah Nuremberg)
sebagai organisasi yang terlarang. Mahkamah Nuremberg telah menetapkan 6
organisasi yang terlibat dalam Perang Dunia II sebagai organisasi kejahatan dan
menbebaskan 2 organisasi dari tuduhan. Dalam konteks ini keterlibatan suatu
organisasi dapat saja mengarah pada suatu korporasi. Apabila mengacu pada
doktrin dalam hukum pidana tentang ruang lingkup korporasi, yang menetapkan ruang lingkup korporasi
dalam arti luas: korporasi adalah kumpulan baik yang berbadan hukum maupun yang
tidak berbadan hukum, maka suatu organisasi (sekalipun tidak berbadan
hukum) dapat saja dikualifikasikan sebagai suatu korporasi yang terlibat dalam
suatu kejahatan internasional. Oleh karena itu, organisasi atau korporasi
tersebut semestinya dapat dijadikan subjek hukum internasional sekaligus
dipidana atas dasar hukum pidana internasional[9]
B.
Kerangka Teoritis
Korporasi
ada karena keberadaanya memang diperlukan. Ada beberapa terori yang mencoba
menjelaskan mengapa korporasi perlu ada. Terdapat dua aliran utama yang
menjelaskan mengapa korporasi perlu ada yakni pertama, penjelasan yang lebih bertumpu pada pendekatan kontraktual
yang terdiri dari tiga teori, yaitu teori neo institusi biaya transaksi (transaction cost theory), teori agensi (agency theory), dan teori kontrak yang
tidak lengkap (incomplete contract). Kedua, pendekatan yang berbasis pada
teori kompetensi. Pada dasarnya, pendekatan kompetensi menjadi alternatif dari
pendekatan kontraktual yang menjadi pendekatan utama dalam analisis organisasi.
Dengan kata lain, pendekatan berbasis kompetensi bersifat heterodoks, sementara
pendekatan kontraktual lebih bersifat ortodok.[10]
Dasar
kesalahan perusahaan yang dapat diindikasikan sebagai kejahatan korporasi dapat
terlihat dari kelalaian, keserampangan, kelicikan dan kesengajaan atas segala
tindakan korporasi. Untuk lebih mendalami lagi, Agus Budianto mengatakan bahwa
terdapat dua model mengenai kejahatan korporasi. “Pertama, kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bekerja atau yang
berhubungan dengan suatu perusahaan yang dipersalahkan; dan Kedua, perusaan sendiri yang melakukan
tindakan kejahatan melalui karyawan-karyawannya”.[11] Bila seorang yang cukup
berkuasa dalam struktur korporasi, atau dapat mewakilkan korporasi melakukan
suatu kejahatan, maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan
korporasi. Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban secara langsung. Namun,
korporasi tidak dapat dipersalahkan atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh
seorang yang berada di level yang rendah dalam hirarki korporasi tersebut.
Dalam
usaha meminta pertanggungjawaban pidana korporasi, telah melahirkan sejumlah
konsep yang menguraikan perkembangan pemikiran tentang pertanggungjawaban
subjek hukum korporasi dengan pembagian pentahapan sebagaimana yang dikemukakan
oleh D. Schaffmeister: tahap pertama ditandai dengan adanya usaha-usaha agar
perbuatan pidana yang dilakukan badan hukum, dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon); tahap kedua yaitu
pada periode setelah perang dunia kedua yang ditandai dengan pengakuan bahwa
suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh korporasi; dan tahap tiga terjadi
pada masa setelah perang dunia kedua, dimana tanggung jawab pidana langsung
dapat dimintakan kepada korporasi.[12]
Selain
itu, menurut C.M.V. Clarkson ia mengatakan bahwa masih terdapat tujuh konsep
yang merupakan perkembangan dari diskursus doktrin-doktrin mengenai tanggung
jawab pidana korporasi. Tujuh konsep tersebut adalah “identification doctrine, aggregation doctrine, reactive corporate
fault, vicarious liability, management failure model, corporate mens rea
doctrine, dan specific corporate
offences”.[13]
Barda Nawawi Arief, dalam bukunya yang berjudul “Sari Kuliah Perbandingan Hukum” hanya menyebutkan empat teori-teori
pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu “doktrin pertanggung-jawaban pidana
langsung (direct liability doctrine)
atau teori Identifikasi (identification
theory), doktrin pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability), doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat
menurut undang-undang (strict liability),
dan doktrin/teori budaya korporasi (company
culture theory)”.[14]
Menurut
identification doctrine, bila seorang
yang cukup senior dalam struktur korporasi atau dapat mewakili korporasi
melakukan suatu kejahatan dalam bidang jabatannya, maka perbuatan dan niat
orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat diidentifikasi
dengan perbuatan ini dan dimintai pertanggungjawaban secara langsung. Dalam
kasus semacam ini akan selalu mungkin untuk menuntut keduanya, yaitu korporasi
dan individu. Namun, suatu korporasi tidak dapat diidentifikasi atas suatu
kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berada di level rendah dalam hirarki
korporasi itu. Perbuatannya bukan perbuatan korporasi, dan oleh karena itu
korporasi tidak bertanggung jawab. Dalam kasus semacam ini tuntutan hanya dapat
dilakukan terhadap individu tersebut dan korporasi tidak dapat dimintai
pertanggungjawabannya. Dengan kata lain, perbuatan atau kesalahan oleh pejabat
senior diidentifikasi sebagai perbuatan atau kesalahan korporasi karena pejabat
senior diibaratkan otaknya sebuah korporasi yang bisa mengendalikan perusahaan,
baik sendiri maupun bersama-sama. Teori semacam ini menarik untuk mereka yang
menyatakan bahwa korporasi tidak dapat
berbuat atau melakukan sesuatu kecuali melalui manusia yang mewakili mereka.
Namun, terdapat keberatan yang cukup signifikan atas identification doctrine ini, khususnya berkaitan dengan
korporasi-korporasi besar dimana kemungkinannya sangat kecil seorang senior melakukan perbuatan secara
langsung atas suatu tindakan pidana dengan disertai mens rea.
Dalam
hal tindak pidana yang menyebabkan orang mati atau luka berat, sangat kecil
kemungkinan seorang pegawai senior akan secara langsung tangannya berlumuran
dengan darah. Pada korporasi dengan struktur organisasi yang sangat besar dan
kompleks, hampir mustahil bagi pihak luar untuk menembus dinding korporasi guna
memastikan individu-individu yang sesungguhnya melakukan kejahatan. Sejumlah
uang, waktu dan keahlian yang dilibatkan dalam investigasi semacam ini bisa
jadi tidak sebanding dengan kesalahan yang dilakukan, dan dalam peristiwa
tertentu, bisa jadi tidak membuahkan hasil bila korporasi memutuskan untuk
menebarkan asap kabut di sekitar daerah operasional internalnya. Lebih penting
lagi, meskipun penyelidikan dilakukan secara layak, seringkali terungkap bahwa
kesalahan tidak terletak pada individu tertentu tetapi lebih pada korporasi itu
sendiri.
Aggregation doctrine merupakan
sebuah alternatif dasar pembentukan tanggung jawab pidana untuk mengatasi
sejumlah permasalahan yang muncul dalam identification
doctrine. Menurut pendekatan ini, tindak pidana tidak bisa hanya diketahui
atau dilakukan oleh satu orang. Oleh karena itu, perlu mengumpulkan semua
tindakan dan niat dari beragam orang yang relevan dalam korporasi tersebut, untuk
memastikan secara keseluruhannya tindakan mereka akan merupakan suatu kejahatan
atau senilai dengan apabila perbuatan dan niat itu dilakukan oleh satu orang.
Doktrin ini mengambil keuntungan dari pengakuan bahwa dalam banyak kasus tidak
mungkin memisahkan seseorang yang telah melakukan kejahatan dengan niat dan
doktrin ini juga dapat mencegah korporasi dari mengubur tanggung jawabnya
dalam-dalam di dalam struktur korporasi.
Namun,
pada struktur korporasi yang besar dan kompleks, justru doktrin ini tidak
efektif dalam hal pencegahan. Sebab doktrin ini gagal memberikan peringatan
lebih lanjut kepada korporasi mengenai apa yang diharapkan akan dilakukan oleh
korporasi agar mereka tidak terkena resiko tanggung jawab pidana. Doktrin ini
bukan menemukan seseorang yang pada korporasi diidentifikasi, malah
menemukannya pada beberapa orang. Doktrin ini mengabaikan kenyataan bahwa
esensi yang sebenarnya dari kesalahan mungkin bukan yang dilakukan oleh orang
orang-orang melainkan fakta bahwa korporasi tidak memiliki struktur organisasi
atau kebijakan untuk mencegah orang-orang melakukan apa yang mereka kerjakan
yang secara kumultatif menjadi suatu tindak pidana.
Reactive corporate fault merupakan
suatu pendekatan berbeda tentang tanggung jawab pidana korporasi sebagaimana
yang diusulkan oleh Brent Fisse dan Braithwaite. Mereka mengemukakan bahwa
suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh atau atas nama
sebuah korporasi, pengadilan harus diberi kewenangan untuk memerintahkan
korporasi untuk melakukan investigasi sendiri guna memastikan orang yang
bertanggung jawab dan mengambil suatu tindakan disiplin yang sesuai atas
kesalahan orang tersebut dan mengambil langkah-langkah perbaikan untuk menjamin
kesalahan tersebut tidak terulang kembali.[15]
Apabila
korporasi mengambil langkah penanganan yang tepat, maka tidak ada tanggung
jawab pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi. Tanggung jawab pidana
hanya bisa diterapkan pada korporasi apabila korporasi gagal memenuhi perintah
pengadilan dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, kesalahan korporasi
bukanlah kesalahan pada saat kejadian terjadi tetapi kesalahan karena korporasi
gagal melakukan tindakan yang tepat atas kesalahan yang dilakukan oleh
pekerjanya. Pendekatan ini memiliki kelebihan yaitu mewajibkan korporasi itu
sendiri melakukan penyelidikan yang sesuai, bukannya aparatur negara yang
melakukannya. Hal ini tidak hanya akan menghemat waktu dan uang publik, tetapi
seringkali korporasi ini sendiri memiliki
kemampuan terbaik untuk memahami dan menembus struktur organisasinya yang
kompleks. Ini juga merupakan satu pendekatan yang mengakui bahwa satu dari
tujuan dari utama tanggung jawab pidana korporasi adalah untuk memastikan bahwa
korporasi memperbaiki kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek mereka yang
kurang baik, sehingga mencegah kesalahan tersebut terulang.
Vicarious liability merupakan
cara yang sangat umum dalam meminta korporasi bertanggung jawab secara pidana
dan doktrin ini sering digunakan oleh negara Amerika Serikat. Menurut doktrin ini, bila seorang agen atau
pekerja korporasi, bertindak dalam lingkup pekerjaanya dan dengan maksud untuk
menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab pidananya
dapat dibebankan kepada perusahaan. Tidak masalah perusahaan tersebut secara
nyata memperoleh keuntungan atau tidak. Atau satu korporasi dapat dinyatakan
telah menyerahkan kekuasaan untuk bertindak di dalam bidangnya masing-masing
kepada seluruh staf-nya dan berdasarkan itu, korporasi harus dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatan jahat mereka. Ini yang juga dijadikan alasan
bahwa pencegahan yang optimal dapat tercapai dengan menerapkan vicarious liability pada korporasi
tersebut.
Seiring
dengan itu Peter Gillies[16] membuat beberapa
proposisi yaitu suatu perusahaan (sepertinya halnya dengan manusia sebagai
pelaku/ pengusaha) dapat bertanggung jawab secara mengganti untuk perbuatan
yang dilakukan oleh karyawan/agennya. Pertanggungjawaban demikian hanya timbul
untuk delik yang mampu dilakukan secara vicarious.
Dan kedudukan majikan atau agen dalam ruang lingkup pekerjaanya tidaklah
relevan menurut doktrin ini. Tidaklah penting bahwa majikan, baik sebagai
korporasi maupun secara alami, tidak telah mengarahkan atau memberi
petunjuk/perintah pada karyawan untuk melakukan pelanggaran hukum pidana.
(bahkan dalam beberapa kasus, vicarious
liability dikenakan terhadap majikan walaupun karyawan melakukan perbuatan
bertentangan dengan instruksi, berdasarkan alasan perbuatan karyawan dipandang
sebagai telah melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup pekerjaanya). Oleh
karena itu, apabila perusahaan terlibat, pertanggungjawabannya muncul sekalipun
perbuatan itu dilakukan tanpa menunjuk pada orang senior di dalam perusahaan.
Management failure model merupakan
doktrin yang lebih menitikberatkan kesalahan pada korporasi bukan merupakan
kesalahan korporasi seutuhnya, melainkan kesalahan tersebut karena adanya
kesalahan menajemen. Misalnya, kejahatan pembunuhan tanpa rencana yang
dilakukan korporasi karena ada kesalahan menejemen oleh korporasi yang
menyebabkan seseorang meninggal dunia dan kegagalan tersebut merupakan perilaku
yang secara rasional berada jauh dari yang diharapkan dilakukan oleh suatu
korporasi. Kejahatan ini dibuat tanpa mengacu ke konsep mens rea dalam rangka
memastikan perbedaan sifat perbuatan salah oleh korporasi. Dari pandangan
tersebut kelihatannya konsep ini tidak lebih dari perluasan identification doctrine daripada melihat
kegagalan dari pihak individu atau kelompok individu yang menduduki posisi
tinggi, maka yang dilihat adalah kegagalan menajemennya.
Corporate mens rea doctrine,
pada dasarnya korporasi tidak dapat melakukan perbuatan jahat. Hanya
orang-orang yang ada dalam perusahaan tersebut mampu melakukan perbuatan jahat.
Ide dasar doktrin ini ada karena seluruh doktrin yang lainnya telah mengabaikan
realitas kompleksnya organisasi korporasi dan dinamika proses secara
organisasional, struktur, tujuan, kebudayaan hirarki yang dapat bersenyawa dan
berkontribusi untuk suatu etos yang mengizinkan atau bahkan mendorong dilakukannya
sebuah kejahatan. Berdasarkan pandangan ini, maka korporasi dapat diyakini
sebagai agen yang melakukan kesalahan yang bertindak melalui staf mereka dan
pekerja, dan mens reanya dapat ditemukan dalam praktek dan kebijakan korporasi.
Poin
penting dari pendekatan ini adalah bukan tentang apakah individu di dalam
perusahaan telah dapat memperkirakan kerugian yang akan terjadi, tetapi apakah
dalam struktur korporasi yang benar dan terorganisasi dengan baik resiko-resiko
yang telah nyata. Untuk individu tidak ada pengakuan, maksud dan perkiraan
dapat disimpulkan dari tindakan obyektif. Ini hanya dapat dilakukan berdasarkan
pada apa yang akan dapat diduga oleh seseorang yang normal, kecuali kehendak
tersebut dalam beberapa hal berbeda dengan orang yang normal.
Specific corporate offences, mengenai
hal ini Komisi Hukum Inggris telah mengusulkan akan satu kejahatan baru yaitu
pembunuhan oleh korporasi “corporate
killing” telah diperkenalkan dalam hukum Inggris. Kejahatan ini akan
merupakan suatu yang terpisah dari perilaku yang menyebabkan matinya orang atau
orang-orang lain karena kelalaian pelaku yang hanya dapat dilakukan oleh
korporasi. Dalam hal ini, masalah-masalah yang berkaitan dengan penegasan
tentang kesalahan korporasi, seperti pembuktian dari niat atau kesembronoan,
dapat diatasi dengan membuat definisi khusus yang hanya dapat diterapkan kepada
korporasi.
Strict liability merupakan
pertanggungjawaban pidana korporasi yang dapat semata-mata berdasarkan
undang-undang, yaitu dalam hal korporasi tidak memenuhi
kewajiban/kondisi/situasi tertentu yang ditentukan oleh undang-undang.
Pelanggaran kewajiban/kondisi/situasi tertentu oleh korporasi ini dikenal
dengan istilah “strict liability offence”.
Sedangkan Doktrin/teori budaya korporasi (company
culture theory), menurut doktrin/teori ini, korporasi dapat
dipertanggungjawabkan dilihat dari prosedur, sistem bekerjanya, atau budayanya.
Oleh karena itu teori budaya ini, sering juga disebut teori model/sistem atau
model organisasi (organizational or
system model). Kesalahan korporasi didasarkan pada “internal decision-making struktur”.[17]
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kejahatan Korporasi
Kejahatan korporasi merupakan suatu bentuk kejahatan lama yang
saat ini melanda hampir seluruh negara di dunia, yang menimbulkan kerugian
secara meluas di masyarakat. Karakteristik kejahatan korporasi berbeda dengan
kejahatan konvensional lainnya. Secara umum karakteristik kejahatan korporasi
sebagai berikut:
1. Kejahatan
tersebut sulit dilihat (low visibility),
karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin,
melibatkan keahlian profesional dan sistem organsiasi yang kompleks;
2. Kejahatan
tersebut sangat kompleks (complexity)
karena selalu berkaitan dengan kebohongan, penipuan dan pencurianserta
seringkali berkaitang dengan sebuah yang ilmiah, teknologis, financial, legal, terorganisirkan,
dan melibatkan banyak orang dan berjalan bertahun-tahun;
3. Terjadinya
penyebaran tanggungjawab (diffusion of
responsibility) yang semakin luas akibat kompleksitas organisasi;
4. Penyebaran
korban yang sangat luas (diffusion of
victimization) seperti polusi dan penipuan;
5. Hambatan
dalam penditeksian dan penuntutan (detection
and prosecution) sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara
aparat penegak hukum dengan pelaku kejahatan;
6. Peraturan
yang tidak jelas (ambiguitas law)
yang sering menimbulkan kerugian dalam penegakan hukum;
7. Sikap
mendua status pelaku tindak pidana. Harus diakui bahwa pelaku tindak pidana
pada umumnya tidak melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi perbuatan
tersebut illegal.[18]
Seiring dengan itu, Steven Box mengemukakan bahwa ada lima faktor
yang potensial mempengaruhi korporasi melakukan pelanggaran hukum dalam
mencapai tujuan, yaitu:
a. Persaingan,
seperti penemuan teknologi baru, tenik pemasaran, struktur merger dapat
menghasilkan perbuatan memata-matai, pembajakan, penyuapan, dan korupsi untuk
memperoleh pasaran, merger dan mencaplok;
b. Pemerintah,
yakni melalui peraturan-peraturan baru atau pelaksanaan yang lebih tegas dari
peraturan yang ada dapat menghasilkan tindakan manipulasi pajak, pemberian dana
kampanye pemilihan umum yang bersifat illegal dan penyuapan kepada
pejabat-pejabat pemerintah untuk memperoleh proyek;
c. Buruh,
yakni aktifitas yang dapat membuat ketegangan oleh gerakan buruh yang militan
dan radikal terhadap masalah upah dan kondisi kerja sebagai akibat dari
pemabayaran buruh di bawah ketentuan minimal, kondisi tempat kerja yang tidak
memperhatikan keselamatan kerja;
d. Konsumen,
seperti permintaan produk yang elastis, terutama sebagai akibat adanya
perubahan-perubahan atau perlindungan terhadap konsumen mendapat perhatian,
sehingga praktek korporasi yang meragukan menjadi tampak. Misalnya iklan yang
menyesatkan, label yang tidak sesuai, produk yang tidak diuji, dan menjual
produk yang telah daluwarsa atau produk palsu; dan
e. Publik,
khususnya yang berhubungan dengan pengaruh meningkatkan-nya kesadaran
lingkungan seperti konservasi udara bersih, lingkungan pemukiman serta
sumber-sumber alam yang lain. Tindakan-tindakan korporasi yang merugikan publik
dapat berupa polusi udara, polusi air dan tanah, penyuapan dan korupsi.[19]
Secara garis besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan
korporasi meliputi:
1. Kerugian
dibidang ekonomi/materi
Meski sulit mengukur “secara
tepat” jumlah kerugian yang ditimbul-kan oleh kejahatankorporasi terutama
karena tidak adanya badan yang secara khusus bertugas mencatat kejahatan
korporasi berbeda dengan kejahatan warungan
yaitu kepolisian namun berbagai peristiwa menunjukan bahwa tingkat kerugian
ekonomi yang ditimbulkan oleh kejahatan ini luar biasa besarnya, khususnya bila
dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan warungan, seperti
perampokan, pencurian, penipuan. Misalnya perkiraan yang dilakukan oleh Subcommittee on Antitrust and Monopoly of
the US Senate Judiciary Committee yang diketuai oleh Senator Philip Hart
memperkirakan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi antara 174-231
miliar dolar pertahun, jauh bila dibandingkan dengan kejahatan warungan yang
berkisar sekitar 3-4 miliar.
2. Kerugian
di bidang kesehatan dan keselamatan jiwa
Pembicaraan mengenai
kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi umumnya ditujukan pada
kerugian di bidang ekonomi, sedangkan kerugian dibidang kesehatan dan
keselamatan jiwa pada kenyataanya sangat serius. Menurut Geis, misalnya setiap
tahunnya korporasi bertanggung jawab terhadap ribuan kematian dan cacat tubuh
yang terjadi di seluruh dunia.
Resiko kematian dan cacat
yang disebabkan oleh korporasi dapat diakibatkan, baik oleh produk yang
dihasilkan oleh korporasi maupun dalam proses produksi, sehingga yang menjadi
korban korporasi adalah masyarakat luas, khususnya konsumen dan mereka yang
bekerja pada korporasi. Dengan membandingkan besarnya kerugian yang ditimbulkan
oleh kejahatan korporasi terhadap buruh (mereka yang bekerja pada korporasi)
dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan warungan melalui data statistik
kriminal yang dibuat oleh F.B.I, dan data dari The President Report on Occupational Safety and Health tahun 1973.
Reiman menyimpulkan bahwa kematian maupun kerugian fisik yang diakibatkan oleh
kejahatan korporasi luar biasa besarnya dibandingkan dengan kejahatan warungan,
yaitu 100.000 dibandingkan dengan 9.235 untuk kematian dan 390.000 berbanding
dengan 218.385untuk kerugian fisik. Sementara dalam hubungannya dengan besarnya
ancaman kejahatan yang dibuat oleh F.B.I. melalui gambaran crime of clocks, bahwasanya crime
of clocks bagi pembunuhan terjadi setiap 26 menit pada tahun 1974 bila dibandingkan
dengan kematian yang terjadi di bidang industri adalah setiap 4,5 menit. Lebih
lanjut dinyatakan oleh Reiman: “In other
words, in the time it take for one murder on the crime clock, six workers have
died. Just from trying to make a living.”
Kematian atau cacat yang
diakibatkan oleh industri ini bukanlah karena kecelakaan di tempat kerja
semata, akan tetapi sebagian besar disebabkan oleh “penyakit” yang pada umumnya
karena kondisi-kondisi diluar “kontrol” pekerja, seperti kadar coal dust (yang menyebabkan sakit black lung) atau debu tekstil (yang menyebabkan
byssinosis atau brown lung) atau serat asbestos (yang dapat menyebabkan kanker).
3. Kerugian
di bidang sosial dan moral
Di samping kerugian ekonomi,
kesehatan dan jiwa, kerugian yang tidak kalah pentingnya yang ditimbulkan oleh
kejahatan korporasi adalah kerugian dibidang sosial dan moral. Dampak yang
ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah merusak kepercayaan masyarakat
terhadap perilaku bisnis, seperti pernyataan dari The President’s Commission on Law Enforcement and Administratiton of
Justice bahwa kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang paling
mencemaskan, bukan saja karena kerugian yang sangat besar, akan tetapi karena
akibat yang merusak terhadap ukuran-ukuran moral perilaku bisnis orang Amerika.
Kejahatan bisnis (korporasi) merongrong kepercayaan publik terhadap sistem
bisnis, sebab kejahatan demikian diintegrasikan ke dalam “struktur bisnis yang
sah”.[20]
Selain itu menurut Braithwaite, bentuk kejahatan korporasi yang
lainnya adalah pemberian suap dan korupsi yang dilakukan oleh korporasi-korporasi
besar; yang merupakan bentuk kejahatan yang sangat merusak karena kesenjangan
yang ditimbulkannya. Bentuk kejahatan ini terutama dilakukannya terhadap
penguasa (pemerintah) di negara-negara ketiga dengan membujuk pemerintah
mengikuti kepentingan korporasi (transnasional) untuk “melawan” kepentingan
publik. Dengan demikian setiap tindakan korupsi politik akan menghasilkan
kerusakan politik dan memperburuk pilihan sosial yang dilakukan oleh
pejabat-pejabat pemerintah yang korup, akibatnya orang-orang yang memiliki
prinsip kuat akan memasuki dunia politik yang menjijikan.
Kerugian yang ditimbulakan oleh kejahatan korporasi di bidang
nilai-nilai sosial lainnya adalah merusak nilai-nilai demokrasi dan karenanya
menghambat proses demokrasi. Kolusi antara korporasi dan pejabat pemerintahan
dilakukan secara tertutup dan karenanya diupayakan untuk tidak transparan,
sementara keterbukaan (transparansi) merupakan hal yang penting bagi
demokratisasi.
Pengaruh lain yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah
terjadinya perubahan “minat” (intersse)
para pelaku bisnis, yakni dari efisiensi di bidang produksi ke efisiensi dalam
tindakan manipulasi terhadap masyarakat, termasuk manipulasi terhadap
pemerintah dalam usaha mencapai tujuan untuk memperoleh keuntungan yang diinginkan.
Hal ini punya pengaruh cenderung memiskinkan orang miskin, seolah-olah berbuat
“amal” kepada penguasa atas beban masyarakat (konsumen) dan cenderung membuat
pemerintah korup.
B. Pertanggungjawaban
Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi
Melihat masalah yang ditimbulkan oleh
kejahatan korporasi tersebut, maka perlulah kiranya mengetahui mengenai pertanggungjawaban
pidana yang dilakukan oleh korporasi sebagai subjek hukum pidana yang
kehadirannya sudah ada sejak lama. Untuk itu, ada baiknya menyimak aturan
pertanggungjawaban pidana tersebut dalam ius
constitutum dan ius constituendum.
Pada ius constitutum, pengaturan
hukum mengenai korporasi dapat dijumpai di undang-undang khusus diluar KUHP dan
untuk ius constituendum, dapat
merujuk pada Konsep KUHP 2004. Disana akan tergambar mengenai aturan pemidanaan
korporasi tersebut. Pengaturan korporasi dalam undang-undang seperti:
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2010 tentang Holtikultura. Dalam hal
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 sampai dengan Pasal 128
dilakukan oleh korporasi, maka selain pengurusnya dipidana berdasarkan Pasal
124 sampai dengan 128, korporasinya dipidana dengan pidana denda maksimum
ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana denda dari masing-masing tersebut. (Pasal
29 ayat (1)).
Undang-Undang Nomor 08 tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak pidana Pencucian uang. Dikenal istilah baru yakni Personil
Pengendali Korporasi adalah setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang
sebagai penentu kebijakan Korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan
kebijakan Korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya
(Pasal 1 angka 14).
Pasal 6 ayat (1) Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh
Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali
Korporasi. Dalam penjelasannya Korporasi mencakup juga kelompok yang
terorganisasi yaitu kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau
lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu, dan bertindak dengan tujuan
melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini
dengan tujuan memperoleh keuntungan finansial atau non-finansial baik secara
langsung maupun tidak langsung. Ayat (2) menyatakan Pidana dijatuhkan terhadap
Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang, dilakukan atau diperintahkan
oleh Personil Pengendali Korporasi, dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan
tujuan Korporasi, dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi
perintah dan, dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.
Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana
denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) (Pasal 7 ayat
(1)). Selain pidana denda terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan
berupa pengumuman putusan hakim, pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha
Korporasi, pencabutan izin usaha, pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi,
perampasan aset Korporasi untuk negara dan/atau pengambilalihan Korporasi oleh
negara. (Pasal 7 ayat (2)).
Pasal 9 menyatakan ayat (1) Dalam hal Korporasi tidak mampu
membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda
tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personil
Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang
dijatuhkan. Dan ayat (2) Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang
dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan
pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan
memperhitungkan denda yang telah dibayar. Dalam hal tindak pidana dilakukan
oleh Korporasi, panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal
pengurus atau di tempat pengurus berkantor. (Pasal 82)
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 90 menyatakan ayat (1) Dalam
hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79,
Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87,
Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan
kepada pengurus dan/atau korporasinya. Ayat (2) Pidana yang dijatuhkan kepada
korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan
ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Pasal 52 ayat (4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan
pidana pokok ditambah dua pertiga. Dalam penjelasan ketentuan ini dimaksudkan
untuk menghukum setiap perbuatan melawan hukum yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 yang dilakukan oleh korporasi (corporate
crime) dan/atau oleh pengurus dan/atau staf yang memiliki kapasitas untuk,
mewakili korporasi, mengambil keputusan dalam korporasi, melakukan pengawasan dan
pengendalian dalam korporasi, melakukan kegiatan demi keuntungan korporasi.
Jika dilihat dari rumusan pasal dalam undang-undang diatas, maka
pengaturan mengenai korporasi tidaklah semuanya diatur secara lengkap dan
rinci, hanya sanksi berupa denda yang mempunyai kesamaan.
Sebagai ius constituendum,
pengaturan tentang Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Konsep RUU KUHP 2004
diletakkan pada Buku I Bagian II Pertanggungjawaban Pidana Paragraf 6
Korporasi. Pasal-pasal dalam paragraf ini, yakni sebagai berikut:
Pasal 44 berbunyi: Korporasi merupakan subyek
tindak pidana.
Pasal 45 berbunyi: Tindak
pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang
bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi,
berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi
tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Pasal 46 berbunyi: Jika tindak pidana dilakukan
oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya.
Pasal 47 berbunyi: Korporasi dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan
untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam
lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan
lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.
Pasal 48 berbunyi: Pertanggungjawaban pidana
pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional
dalam struktur organisasi korporasi.
Pasal 49 berbunyi: Ayat (1) Dalam
mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum
lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan
pidana terhadap suatu korporasi. Dan Ayat (2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim.
Pasal 50 berbunyi: Alasan pemaaf atau alasan
pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas
nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut
langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi.
Menyimak Pasal 44 s/d 50, maka dapat disimpulkan bahwa tanggung
jawab pidana korporasi hanya dapat dilakukan apabila memenuhi unsur-unsur. Unsur Pertama : Tindak pidana
dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau
demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan
lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau
bersama-sama. Unsur Kedua : Perbuatan
tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran
dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. Unsur Ketiga : Pertanggungjawaban
pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Pengurus korporasi
dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur
organisasi korporasi.
Unsur pertama tersebut menegaskan tentang pelaku tindak pidana.
Dari unsur pertama tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaku tindak pidana tidak
harus pengurus korporasi tetapi bisa dilakukan oleh staf atau orang-orang yang
bertindak untuk kepentingan korporasi. Orang-orang yang bertindak untuk
kepentingan korporasi tersebut bisa karena hubungan kerja sebagai staf atau
sebagai tenaga kontrak, maupun pihak lain yang berdasarkan suatu perjanjian
melakukan suatu tindakan untuk kepentingan perusahaan.
Sedangkan, dari unsur kedua terlihat tindak pidana tersebut hanya
sebatas lingkup usaha korporasi tersebut. Lingkup usaha ini dapat dilihat dari
anggaran dasar korporasi atau ketentuan lainnya. Unsur ketiga tentang pihak
yang bertanggung jawab secara pidana atas tindak pidana yang terjadi. Menurut
unsur ketiga ada dua pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban, yaitu
Korporasi dan Pengurusnya. Pengurus disini dibatasi hanya mereka yang memiliki
kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi, bukan mereka yang
berada di level bawah (lower level officer).
Menurut penjelasan Pasal 47 Konsep RUU KUHP, ada tiga option tentang
pihak yang bertanggung jawab atas tindak pidana korporasi, yaitu :
- Pengurus korporasi sebagai pembuat
tindak pidana dan oleh karena itu penguruslah yang bertanggung jawab;
- Korporasi sebagai pembuat tindak
pidana dan pengurus yang bertanggung jawab; atau
- Korporasi sebagai pembuat tindak
pidana dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
Oleh karena itu, jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk
suatu korporasi, maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat
dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, atau korporasi dan pengurusnya, atau
pengurusnya saja. Penjatuhan pidana kepada korporasi berupa pidana denda. Pidana
denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima belas)
tahun adalah denda Kategori V, yaitu sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah), sedangkan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun adalah denda Kategori VI, yaitu
sebesar Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) (Pasal 77 ayat (5)). Selain
denda maksimum, telah pula ditetapkan denda minimum bagi korporasi, yaitu denda
Kategori IV sebesar Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) (Pasal 77
ayat (6)).
Apabila korporasi tidak mampu membayar sanksi pidana denda, maka
sanksi tersebut ditukar dengan pidana pengganti berupa pencabutan izin usaha
atau pembubaran korporasi (Pasal 81). Selain pidana denda, terhadap korporasi
dapat juga dikenakan sanksi pidana tambahan, yaitu berupa pencabutan segala hak
yang diperoleh korporasi, misalnya hak untuk melakukan kegiatan dalam bidang
usaha tertentu (Pasal 88 ayat (2)).
Bila merujuk dari ius
constitutum dan ius constituendum
yang ada diatas dikaitkan kejahatan korporasi dengan konsep pertanggungjawaban
pidana korporasi. Maka dapat disimpulkan tanggung jawab pidana korporasi hanya
dapat dilakukan apabila memenuhi syarat :
- Tindak pidana dilakukan oleh
orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi
kepentingan korporasi;
- Berdasarkan hubungan kerja atau
hubungan yang lainnya;
- Dalam lingkup usaha korporasi.
Bila
dibandingkan dengan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Bab II,
yaitu berupa : identification doctrine, aggregation doctrine, reactive
corporate fault, vicarious liability, management failure model, corporate mens
rea, specific corporate offences. Konsep yang paling mendekati rumusan RUU
KUHP adalah vicarious liability.
Dengan
menganut doktrin vicarious liability terdapat sejumlah keuntungan, yaitu
:
- Pelaku tindak pidana tidak harus
dilakukan oleh orang penting atau orang yang menjadi simbol korporasi
tersebut seperti yang disyaratkan dalam identification doctrine atau
kesalahan manajemen korporasi seperti dalam management failure model.
- Kejahatan yang menjadi tanggung
jawab perusahaan adalah kejahatan riil sebagaimana kejahatan yang
sebenarnya terjadi, bukan kejahatan yang diakibatkan oleh kegagalan
korporasi mengambil suatu tindakan sebagaimana dimaksud oleh reactive
corporate fault.
Selain
keuntungan tersebut, juga terdapat sejumlah kelemahan, yaitu :
- Vicarious liability sulit
diterapkan untuk kejahatan yang di dalamnya terdapat mens rea. Contohnya
adalah pembunuhan atau penganiayaan seperti terdapat dalam Pasal 338 KUHP
yang berbunyi : “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun”. Unsur dengan sengaja adalah unsur niat atau mens rea,
unsur tersebut menunjukkan niat si pelaku untuk melakukan suatu tindakan
berupa merampas nyawa orang lain. Dengan demikian vicarious liability hanya
dapat diaplikasikan untuk kejahatan tertentu.
- Vicarious liability dianggap
terlalu inclusive, yaitu perusahaan dapat dipidana untuk kesalahan
yang dilakukan oleh pekerja yang kepadanya seharusnya tidak harus
dipertanggungjawabkan, dalam hal korporasi mungkin telah melakukan segalanya
sesuai dengan kekuasaan yang dimilikinya untuk mencegah kesalahan tersebut.
- Vicarious Liability juga
sulit diterapkan apabila kejahatan tersebut terjadi akibat kesalahan policy
korporasi sendiri. Misalnya, tidak ada ketentuan tentang standar kesehatan
dan keamanan yang memadai. Sehingga apabila terjadi kematian atau aktivitas
perusahaan menimbulkan kerugian baik kepada pekerjanya maupun masyarakat
pelakunya tidak dapat diketahui apakah pengurus, staf atau orang-orang
yang berdasarkan suatu perjanjian melakukan tindakan untuk kepentingan
perusahaan.
- Di dalam RUU KUHP juga mengadung
keraguan, saat kapan seorang pengurus yang melakukan tindak pidana
bertanggung jawab secara pidana dan saat kapan korporasi bertanggung jawab
atas tindak pidana pengurus.
- Di dalam RUU KUHP juga tidak ada
kejelasan tentang apakah si pembuat tindak pidana juga dimintai
pertanggungjawaban pidana, walaupun atas tindak pidana tersebut korporasi
telah mengambil alih tanggung jawab pidana tersebut.
- Pasal 50 seolah menganggap tuntutan
pidana terhadap korporasi merupakan the last resort, sehingga harus
mendahulukan bidang hukum yang lain (perdata atau administrasi), karena
dianggap pemidanaan kurang berguna atau tidak memberikan perlindungan yang
maksimal. Tentu saja pendapat seperti ini keliru. Selain itu, pasal ini
menimbulkan persepsi yang salah tentang kejahatan korporasi, karena
dianggap kurang serius atau berbahaya dibandingkan dengan kejahatan yang
lain, padahal dari berbagai pengalaman, terlihat korban kejahatan
korporasi sangat banyak dan terkadang mengalami penderitaan yang berkepanjangan,
misalnya korban pencemaran, luka-luka yang dialami di tempat kerja, serta
lain sebagainya.
Beberapa kelemahan terhadap vicarious
Liability tersebut dapat dijawab dengan mengadopsi juga doktrin lainnya,
misalnya corporate mens rea doctrine. Doktrin ini menganggap personality
korporasi sebagai badan hukum adalah fiksi. Karena itu dikatakan bahwa mens
rea korporasi bisa juga dibuat secara fiksi. Indikator niat ini dapat
dilihat dari proses organisasi yang dinamis, struktur, tujuan, budaya dan
hirarki yang dapat dikombinasikan dan menyumbang terhadap suatu etos yang
mengizinkan atau bahkan mendorong dilakukannya suatu kejahatan.
Dengan menggunakan corporate mens rea doctrine, maka
tanggung jawab pidana korporasi tidak hanya dapat dilakukan terhadap kejahatan strict
liability tetapi juga terhadap kejahatan lainnya. Selain usulan di atas,
dapat juga diadopsi doktrin specific corporate offences. Berdasarkan
doktrin ini diusulkan agar untuk kejahatan tertentu dibuat secara khusus
unsur-unsur yang specific yang hanya dapat diterapkan kepada perusahaan
saja.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
apa yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan mengenai hal tersebut sebagai berikut :
- Selain orang, korporasi juga termasuk
subjek hukum pidana. Sebagai subjek hukum pidana, korporasi juga dapat
diminta pertanggung-jawabannya jika melakukan tindak pidana.
- Pengaturan mengenai korporasi
diatur dalam undang-undang dan konsep RUU KUHP 2004. Sanksi pidananya
berupa denda dan besaran denda tersebut disesuaikan dengan undang-undang
yang bersangkutan melakukan tindak pidana.
B.
Saran
Berdasarkan
kesimpulan di atas, maka disarankan agar :
- Dalam undang-undang belum mengatur
secara rinci mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. Oleh karena
itu, perlulah segera diundangkannya RUU KUHP baru sebagai dasar aturan
umum jika aturan khusus tidak mengatur lebih lanjut mengenai korporasi.
- Pidana denda seharusnya tidak dibatasi dengan jumlah maksimal ditambah sepertiga atau duapertiga. Jika korporasi mampu membayar denda maka secara tidak langsung berakhirlah perkara pidananya.
DAFTAR
PUSTAKA
Agus Budianto. 2012. Delik Suap Korporasi Di Indonesia. Cet.
Pertama. Karya Putra Darwati. Bandung.
A. prasetyo. 2008. Corporate Governance: Pendekatan
Institusional. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Barda Nawawi Arief.
2010. Kapita Selekta Hukum Pidana.
Cet. Kedua, Citra Aditya Bakti. Bandung.
I Gede Widhiana Suarda.
2012. Hukum Pidana Internasional: Sebuah
Pengantar. Cet. Pertama. Citra Aditya Bakti, Bandung.
I. S. Susanto.
2012. Kriminologi. Cet. Pertama. Genta Publishing. Yokyakarta.
Sahuri Lasmadi. 2003.
“Pertanggungjawaban Korporasi dalam Persfektif kebijakan Hukum Pidana
Indonesia”. Disertasi Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya.
Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Ed.
Kelima. Cet. Keempat. Liberty. Yokyakarta.
M. Marwan dan Jimmy P.
2009. Kamus Hukum (Dictionary of Law
Complete Edition). Cet. Pertama. Reality Publisher. Surabaya.
Peraturan
Perundang-Undangan
Konsep Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana 2004.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2010 tentang Holtikultura
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 08 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pidana Pencucian uang
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
[1] I. S. Susanto, Kriminologi, Cet. Pertama, Genta
Publishing, Yokyakarta, 2011, hal. 126.
[2] Sahuri Lasmadi,
“Pertanggungjawaban Korporasi dalam Persfektif kebijakan Hukum Pidana
Indonesia”, Disertasi Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya,
2003, hal. 18.
[3] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Ed.
Kelima, Cet. Keempat, Liberty, Yokyakarta, 2007, Hal. 41.
[4] Sahuri Lasmadi, Op. Cit., hal. 19-20.
[5] I. S. Susanto, Op. Cit., hal. 148-149.
[6] M. Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum (Dictionary of Law Complete
Edition), Cet. Pertama, Reality Publisher, Surabaya, 2009, Hal. 384.
[7] Sahuri Lasmadi, Op. Cit., hal. 21.
[8] Tabel ini tidaklah memuat
penyebutan subjek “korporasi” secara keseluruhan dalam peraturan
perundang-undangan, tabel ini dimaksudkan hanya untuk dijadikan bahan
perbandingan antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lainnya.
[9] I Gede Widhiana Suarda, Hukum Pidana Internasional: Sebuah Pengantar,
Cet. Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hal. 160-161.
[10] A. prasetyo, Corporate Governance: Pendekatan
Institusional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal. 18-20.
[11] Agus Budianto, Delik Suap Korporasi Di Indonesia, Cet. Pertama,
Karya Putra Darwati, Bandung, 2012, hal. 64.
[12] Ibid., hal. 65-66.
[13] Ibid., hal. 67.
[14] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cet. Kedua,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal. 246-252.
[15] Agus Budianto, Op. Cit., hal. 70.
[16] Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 250.
[17] Ibid., hal. 251.
[18] Agus Budianto, Op. Cit., hal. 57.
[19] Sahuri Lasmadi, Op. Cit., hal. 107.
halo semuanya di sini jika Anda mencari pinjaman dengan tingkat bunga rendah dengan pengembalian 2 tingkat per tahun maka penawaran pinjaman pedro akan bagus untuk pinjaman bisnis Anda dan beberapa jenis pinjaman lain yang ingin Anda ajukan selama Anda tahu bahwa Anda dapat melakukannya pengembalian yang baik kembali sesegera mungkin kemudian hubungi mr pedro di pedroloanss@gmail.com
BalasHapus