Minggu, 13 Januari 2013

Peran Serta Masyarakat Dalam Rangka Membantu Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkotika


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Sebagai salah satu negara yang memiliki kepadatan penduduk terbesar di dunia dan letak geografis yang strategis, memungkinkan Indonesia berpeluang menjadi negara produsen, transit, bahkan menjadi negara tujuan lalu lintas perdagangan narkotika.  Narkotika mempunyai fungsi yang dapat digunakan sebagai pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan. Selain itu,  narkotika juga rentan untuk disalahgunakan oleh orang baik secara individu maupun kelompok. Ketika narkotika disalahgunakan oleh pelaku maka perbuatan ini merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang yang mempunyai sanksi pidana dan pelakunya dapat dihukum.
Pengaruh era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi komunikasi, liberalisasi perdagangan serta pesatnya kemajuan industri pariwisata menjadikan Indonesia semakin rawan peredaran gelap narkotika. Bahkan dewasa ini peredaran gelap narkotika di Indonesia semakin meningkat hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus narkotika yang terjadi di Indonesia. Di media massa, baik media cetak maupun media elektronik, hampir setiap hari ada saja pemberitaan mengenai narkotika. Aparat penegak hukum pun tidak segan-segan memburu dan memberantas peredaran gelap narkotika sampai keakar-akarnya.
Peredaran gelap narkotika yang begitu cepat hingga menyentuh kepada masyarakat lapisan bawah, tidak  memandang status sosial seseorang dan tidak memilih siapa calon korbannya. Narkotika kini telah mempengaruhi dan merusak sendi kehidupan masyarakat. Tidak sedikit orang mulai dari lapisan atas, seperti orang kaya, pejabat, elit politik dan lain sebagainya sampai pada lapisan terbawah sekalipun, yakni rakyat miskin terkena dampak dari penyalahgunaan narkotika. Para pelaku dan  korbannya tidak terbatas pada usia tertentu saja. Mulai dari yang tua sampai pada yang muda pun bisa jadi mangsa dari peredaran gelap narkotika.
Secara medis penyalahgunaan narkotika akan meracuni sitem syaraf dan daya ingat, menurunkan kualitas berfikir dan daya ingat, merusak berbagi organ vital seperti ginjal, hati, jantung, paru-paru dan sumsum tulang, bisa terjangkit hepatitis, HIV/AIDS dan over dosis bisa menimbulkan kematian. Resiko psikososial penyalahgunaan narkotika akan mengubah seseorang menjadi pemurung, pemarah, pencemas, depresi, paranoid, dan mengalami gangguan jiwa, sikap masa bodoh, tidak peduli dengan penampilan, pemalas, melakukan tindakan kriminal, menjambret, mencopet dan lain-lain.
 Penyalahgunaan narkotika juga berakibat tidak baik kepada individu, masyarakat, keluarga, maupun bangsa. Bagi individu akibatnya adalah menimbulkan ketagihan/ketergantungan, mengganggu mental, mengganggu kesehatan, menjadi pelaku kejahatan, menghancurkan masa depan dan mengakibatkan kematian. Terhadap keluarga akibat yang menimbulkan dapat mengganggu keharmonisan, membuat aib, dan menghilangkan harapan. Terhadap masyarakat akibatnya akan mengganggu ketertiban, menimbulkan rasa takut dilingkungan dan meresahkan. Terhadap bangsa dan negara akibatnya merugikan harkat dan martabat bangsa dan negara, merusak generasi muda dan ketahanan nasional.
Sedemikian parahnya penyalahgunaan narkotika yang beredar ditengah-tengah masyarakat terhadap kondisi fisik maupun lingkungan sosial, jika tidak ditangani secara serius semenjak dini, dikhawatirkan akan merusak masa depan orang-orang serta merusak generasi penerus suatu bangsa. Jika generasi penerus telah hancur, siapa lagi yang akan membangun dan memimpin negeri ini ke peradaban yang lebih baik. Oleh karenanya perlu ada upaya yang dilakukan secara terus-menerus demi mengontrol dan mencegah peredaran gelap narkotika sehingga Indonesia bisa terlepas dari bahaya yang mengancam generasi penerus bangsa dari penyalahgunaan narkotika.
Untuk itu perlu adanya peran serta masyarakat dalam membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Tiga komponen dasar dalam penanggulangan kejahatan ini yaitu Masyarakat/sekolah, Peme-rintah dan Polisi atau Penegak Hukum. Masyarakat berperan sebagai subyek sekaligus obyek dari langkah penanggulangan narkotika, aparat penegak hukum utamanya polisi menjadi fasilitator dan pemerintah berperan sebagai pendukung terhadap kegiatan penanggulangan narkotika oleh masyarakat. Penanggulangan narkotika oleh masyarakat didasarkan pada pendapat bahwa setiap organisasi atau kelompok dalam suatu daerah memiliki sumber daya yang unik yang dapat di kontribusikan pada usaha penanggulangan narkotika.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahannya sebagai berikut:
1.      Apakah tujuan pembentukan Badan Narkotika Nasional?
2.      Bagaimana wujud peran serta masyarakat dalam membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika dilihat dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika?


C.    Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pemahaman makalah ini, maka penulis membagikannya menjadi empat bab yaitu:
Bab I Pendahuluan, merupakan bab yang menjadi pedoman dalam penulisan yang terdiri dari: (a) latar belakang masalah; (b) rumusan masalah; dan (c) sistematika penulisan.
Bab II merupakan tinjauan pustaka yang terdiri dari kerangka konseptual dan kerangka teoritis yang bersifat umum untuk dipakai sebagai dasar dalam bab pembahasan.
Bab III merupakan pembahasan yang terdiri dari tujuan pembentukan Badan Narkotika Nasional dan wujud peran serta masyarakat dalam membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika dilihat dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Bab IV merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A.    Kerangka Konseptual
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang narkotika.
Narkotika selain untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan, juga rentan untuk disalahgunakan. Ketika perbuatan tersebut disalahgunakan, maka hal ini sudah bisa diidentikkan dengan perbuatan jahat. Salah satu sebab terjadinya kejahatan ada yang mengasumsikan bahwa “kejahatan adalah bagian dari manusia alamiah,  keberadaan manusia tidak terlepas dari sifat iblis”.[1] Sifat iblis yang tamak dan serakah inilah yang sering ditiru oleh manusia. Sehingga sering kali membuat manusia lupa akan kewajiban dia di muka bumi.

Ray Jeffery mengemukakan bahwa:

Dalam mempelajari kejahatan harus dipelajari dalam kerangka hukum pidana sebab dari hukum pidana kita dapat mengetahui dengan pasti dalam kondisi yang bagaimanakah suatu tingkah laku dipandang sebagai kejahatan dan bagaimana peraturan perundang-undangan berinteraksi dengan sistem norma yang lain.

 

George C. Vold mengatakan:

 

Dalam mempelajari kejahatan terhadap persoalan rangkap, artinya kejahatan selalu menunjuk pada perbuatan manusia dan juga batasan-batasan atau pandangan masyarakat tentang apa yang dibolehkan dan apa yang dilarang, apa yang baik dan apa yang buruk, yang semuanya itu terdapat dalam undang-undang, kebiasaan dan adat istiadat.[2]


Mengenai hal tersebut diatas, memberikan pandangan bahwa perbuatan apa yang boleh apa yang dilarang, apa yang baik dan apa yang buruk untuk dilakukan oleh maupun dalam masyarakat berdasarkan undang-undang, kebiasaan dan adat istiadat. Sehingga masyarakat dapat bertindak sesuai pada koridor hukum yang berlaku dan juga memberikan peluang pada masyarakat itu sendiri untuk melakukan perlindungan terhadap bahaya yang mengancam tatanan kehidupan bermasyarakat.
Dalam  rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, maka dibentuklah Badan Narkotika Nasional (BNN).  Dimana salah satu tugasnya adalah member-dayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Memberdayakan masyarakat bisa berupa ikut berperannya masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika. Peran serta masyarakat dapat dibentuk dalam suatu wadah yang dikoordinasi oleh BNN.
B.     Kerangka Teoritis
Dalam hukum pidana dikenal dengan istilah teori relatif atau teori tujuan (doel theorien.) Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa “pidana adalah alat untuk menegakan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakan tata tertib itu diperlukan pidana.”[3] Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana mempunyai sifat menakuti, mamperbaiki, dan juga bersifat membinasakan.
Sementara itu, sifat pencegahan dari teori ini ada dua macam yaitu, pencegahan umum dan pencegahan khusus. Menurut teori pencegahan umum, “pidana yang dijatuhkan kepada penjahat ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat kejahatan”.[4] Sedangkan teori pencegahan khusus, tujuan pidana adalah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar tidak mengulang lagi melakukan kejahatan, dan mencegah orang-orang yang berniat buruk tidak mewujudkan niatnya kedalam bentuk perbuatan nyata.[5]
Pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini:
1.      Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu membujuk sipelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan;
2.      Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential imitators), dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya;
3.      Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dan ancaman pidana
4.      Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan
5.      Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara yang cukup lama.[6]

Kebijakan dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, di samping menggunakan teori-teori represif dan preventif, tidak kalah pentingnya ialah dengan menggunakan teori pembinaan/perawatan (teori treatment), yakni teori yang ditujukan pada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Pemberian tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari hukuman. Dengan alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).[7] Hal ini mengandung pemikiran bahwa para korban penyalahgunaan narkotika, tidak hanya dianggap sebagai pelaku tindak pidana, akan tetapi juga dianggap sebagai korban kejahatan yang memerlukan penyembuhan dan rehabilitasi.[8]
Ted Honderich berpendapat, bahwa suatu pidana dapat disebut sebagai alat pencegahan yang ekonomis (economical deterrents) apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Pidana itu sungguh-sungguh mencegah.
b.      Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya/merugikan daripada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan.
c.       Tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya/kerugian yang lebih kecil.[9]

Segi lain ialah berkaitan dengan nilai-nilai yang akan dicapai atau dilindungi oleh hukum pidana. Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan pidana yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan sosial tersebut menurut Basiouni ialah:
(1)   Pemeliharaan tertib masyarakat;
(2)   Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain; dan
(3)   Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;
(4)   Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan, dan keadilan individu.[10]

Selain teori-teori diatas, ada lagi satu teori, yakni teori perlindungan masyarakat (teori social defence). Gramatika berpendapat bahwa “hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Tujuan utamanya adalah mengintegrasikan individu kedalam tertib sosial bukan pemidanaan terhadap perbuatannya”.[11]
BAB III
PEMBAHASAN


A.    Badan Narkotika Nasional
Pembentukan Badan Narkotika Nasional, (selanjutnya disebut BNN) awalnya ditetapkan melalui Peraturan presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika provinsi dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. Kemudian Perpres tersebut dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi yang digantikan dengan peraturan baru, yakni  peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional. Pembentukan BNN ditujukan dalam  rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
BNN dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh seorang sekretaris utama dan beberapa deputi. Dalam hal ini deputi membidangi urusan pencegahan, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerja sama, dan pemberdayaan masyarakat. BNN berkedudukan dibawah Presiden, BNN juga mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal (Badan Narkotika Provinsi atau Badan Narkotika Kota). Serta mengatur peran masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika.
BNN diharapkan menjadi Lembaga Pemerintah Non Kementerian profesional yang mampu menggerakkan seluruh komponen masyarakat, bangsa, dan negara dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia. Serta menjalin kerjasama bersama instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan pencegahan, pemberdayaan masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerjasama di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Kesemuanya itu demi peningkatan daya tangkal (imunitas) masyarakat terhadap bahaya penyalahgunaan narkotika, peningkatan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, peningkatan angka pemulihan penyalahgunaan dan/atau pecandu narkotika, dan peningkatan pemberantasan sindikat jaringan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Pencegahan bertujuan untuk meningkatnya pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran siswa, mahasiswa, pekerja, keluarga, masyarakat rentan/resiko tinggi terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Serta meningkatnya peranan instansi pemerintah, kelompok masyarakat dalam upaya menciptakan, meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Pemberdayaan masyarakat bertujuan terciptanya lingkungan pendidikan, lingkungan kerja, masyarakat rentan/resiko tinggi, dan lingkungan keluarga bebas narkotika melalui peran serta instansi pemerintah terkait, komponen masyarakat, bangsa, dan negara. Rehabilitasi bertujuan untuk meningkatnya pelayanan program terapi dan rehabilitasi penyalahguna dan atau pecandu narkotika dan kapasitas lembaga  rehabilitasi medis dan sosial dan meningkatnya pelaksanaan pasca rehabilitasi penyalahgunaan dan/atau pecandu narkotika. Pemberantasan bertujuan untuk meningkatnya pengungkapan kasus tindak kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika dan terungkapnya jaringan sindikat peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika Luar dan Dalam Negeri. Serta disitanya barang bukti dan aset yang berkaitan tindak kejahatan penyalahgunaan, peredaran gelap narkotika serta prekursor narkotika.
Dalam Pasal 70 UU tentang Narkotika BNN mempunyai tugas:
a.       menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b.      mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c.       berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d.      meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;
e.       memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
f.       memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
g.      melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
h.      mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;
i.        melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
j.        membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.
Selain tugas diatas, dalam Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2010 pada Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa:
“BNN juga bertugas menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol.”

Pada poin e dan f  adanya pemberdayaan masyarakat serta memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Dimana dalam pemberdayaan masyarakat dipimpin oleh deputi. Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat mempunyai tugas melaksanakan  penyusunan dan perumusan kebijakan nasional di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang selanjutnya disingkat dengan P4GN di bidang Pemberdayaan Masyarakat.

B.     Peran Serta Masyarakat
Pengaturan khusus mengenai peran serta masyarakat diatur dalam bab tersendiri yaitu BAB XIII Peran Serta Masyarakat yang dimulai dari Pasal 104 sampai dengan Pasal 108 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pasal 104 berbunyi:
“Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.”

Pasal 105 berbunyi:
“Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.”

Pasal 106 berbunyi:
“Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika diwujudkan dalam bentuk:
a.       mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b.      memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c.       menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d.      memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN;
e.       memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.”

Pasal 107 berbunyi:
“Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika mengetahui adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.”

Pasal 108 berbunyi:
Ayat  (1) “Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, Pasal 105, dan Pasal 106 dapat dibentuk dalam suatu wadah yang dikoordinasi oleh BNN.”
Ayat (2) “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala BNN.”
Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Pembentukan Wadah Peran Serta Masyarakat Pasal 3 ayat (1) menyatakan “Wadah peran serta masyarakat dapat berupa forum koordinasi, pusat pelaporan dan informasi, serta wadah lainnya sesuai kebutuhan.”
Pasal 5 Wadah peran serta masyarakat mempunyai tugas:
a.       melaksanakan pengkoordinasian, penyinkronisasian, dan pengintegrasian Organisasi Non Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat dalam penyiapan bahan masukan penyusunan dan perumusan kebijakan nasional di bidang P4GN;
b.      melaksanakan pengkoordinasian, penyinkronisasian, dan pengintegrasian Organisasi Non Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pengorganisasian dan pelaksanaan kebijakan nasional di bidang P4GN;
c.       melaksanakan pengawasan intern dan koordinasi pengawasan pengelolaan dukungan operasional yang berasal dari anggaran Badan Narkotika Nasional; dan
d.      melaksanakan pengkoordinasian, penyinkronisasian, dan pengintegrasian Organisasi Non Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat dalam evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kebijakan nasional di bidang P4GN;

Pasal 15 Pejabat di lingkungan bidang pemberantasan berkewajiban untuk:
a.       memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam mencari, memperoleh, memberikan informasi, dan melaporkan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol;
b.      memberikan jawaban atas pertanyaan tentang laporan masyarakat yang diberikan kepada penyidik Badan Narkotika Nasional; dan
c.       mengatur pelaksanaan pemberian perlindungan hukum pada saat masyarakat melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.

Peran serta masyarakat ialah peran aktif masyarakat untuk mewujudkan upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Kewajiban masyarakat ialah melaporkan tentang terjadinya tindak pidana narkotika kepada aparat penegak hukum. Disamping kewajiban itu, masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan hukum dari aparat penegak hukum.[12]
Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk memberantas peredaran gelap narkotika, karena tanpa dukungan masyarakat maka segala usaha, upaya dan kegiatan penegakan hukum akan mengalami kegagalan. Disinilah pentingnya mengubah sikap tingkah laku dan kepedulian masyarakat terhadap pencegahan dan penanggulangan tindak pidana narkotika. Menurut Sinta Agustina, masyarakat telah menerima kejahatan yang berkaitan dengan narkotika sebagai musuh umat manusia.[13] Yang harus diberantas sampai kepada akar-akarnya demi kehidupan yang lebih baik lagi.
Penyuluhan hukum harus menggunakan strategi yang tepat dan efektif, sehingga masyarakat benar-benar memahami tentang bahaya narkotika dan akan melakukan action anti narkotika. Penerapan sanksi yang berat kepada para pelaku kejahatan akan memberikan deterrent effect dan sekaligus berdampak pada law of effect serta dampak sosialnya, yaitu sebagai wahana pembelajaran publik, sehingga masyarakat akan sadar betul tentang pentingnya menjauhi penyalahgunaan narkotika. Pembelajaran publik berdasarkan pengamatan terhadap konsistensi penegakan hukum, dan penerpan sanksi pidana berat, akan tercipta norma-norma sosial yang dijunjung tinggi, sehingga norma-norma sosial tersebut sebagai sarana pengendalian, yang dilembagakan kembali kepada norma-norma hukum untuk dipatuhi dan ditaati.[14]
Peran serta masyrakat amat tergantung pada tingkat kepercayaan publik pada kepada penegak hukum, untuk hal tersebut maka diperlukan transparansi penegakan hukum, peningkatan peran serta masyarakat dalam pengawasan dan kewajiban pelaporan masyarakat serta peningkatan bobot akuntabilitas kinerja aparat penegak hukum yang dapat dipertanggung-jawabkan di depan publik.[15] Mengenai peran serta masyarakat dalam membantu pencegahan dan  memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu mengenai pencegahan tindak pidana narkotika, kewajiban melaporkan tindak pidana narkotika, jaminan keamanan dan perlindungan hukum.
Suatu motto di bidang kesehatan masyarakat menyatakan bahwa “pencegahan itu lebih baik daripada mengobati”.[16] Masyarakat dapat berupaya melakukan pengawasan terhadap semua aktivitas warga masyarakatnya agar tidak melakukan peredaran dan menyalahgunakan penggunaan narkotika secara ilegal. Hal ini bertujuan untuk membangun sistem pengendalian sosial tersebut melalui proses belajar. Proses belajar inilah yang nantinya akan membawa masyarakat kearah yang lebih baik, sehingga masyarakat benar-benar menyadari betul akan bahaya dari peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika yang tengah beredar di sekitar lingkungan kehidupan mereka.
Dengan demikian, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dipandang sebagai suatu ancaman yang serius dan akan dapat menghancurkan sistem sosial masyarakat tersebut. Salah satu upaya dalam melakukan pencegahan yaitu dengan cara sosialisasi kepada masyarakat itu sendiri. Sosialisasi bisa dilakukan melalui pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik, melalui lingkungan pendidikan, dan menyelenggarakan event anti narkotika serta Seminar.
Selain itu masyarakat dapat melaporkan tindak pidana narkotika sebagaimana dalam Pasal 107, masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika mengetahui adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Ini merupakan salah satu bentuk atau wujud peran serta masyarakat dalam pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dan dalam melakukan tugasnya, masyarakat memperoleh jaminan keamanan dan perlindungan hukum. Penggunaan orang-orang yang terlibat atau dilibatkan secara langsung oleh penegak hukum, baik sebagai informan maupun yang terlibat dalam pembelian terselubung, dan/atau penyerahan yang diawasi, perlu mendapatkan prioritas jaminan keamanan dan perlindungan hukum oleh penegak hukum.
Keamanan yang berasal dari kata “aman”,[17] yang memberikan makna, terbebas dari perasaan takut dari gangguan fisik dan psikis, adanya rasa kepastian dan bebas dari kekhawatiran, keragu-raguan, ketakutan, perasaan dilindungi dari segala macam bahaya dan perasaan kedamaian, ketentraman lahiriah dan batiniah. Sebenarnya kondisi aman tersebut di atas itulah yang merupakan kendala masyarakat dalam berkomunikasi dengan aparat penegak hukum, khususnya dengan aparat kepolisian, berkaitan dengan kewajiban melaporkan tentang suatu peristiwa tindak pidana. Secara empiris masyarakat yang melaporkan ke aparat penegak hukum justru menimbulkan kekhawatiran, kejenuhan, dan proses yang bertele-tele sehingga menyita waktu si pelapor.
Menurut Soerjono Soekanto, salah satu sasaran dari tugas yuridis Polri di bidang penegakan hukum adalah memberikan perlindungan keamanan  masyarakat dari kejahatan. Ada beberapa aspek perlindungan masyarakat, yaitu:
a.       Masyarakat membutuhkan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek ini wajar apabila penegakan hukum bertujuan penanggulangan kejahatan.
b.      Masyarakat membutuhkan perlindungan terhadap sifat berbahayanya seseorang. Oleh karena itu, wajar pula apabila penegakan hukum pidana bertujuan memperbaiki si pelaku kejahatan atau berusaha mengubah atau memengaruhi tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukum dan kembali menjadi warga masyarakat yang baik.
c.       Masyarakat membutuhkan pula perlindungan terhadap penyalahgunaan sanksi atau reaksi dari penegak hukum maupun warga pidana harus mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan sewenang-wenang di luar hukum masyarakat membutuhkan perlindungan terhadap keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang tertanggung sebagai akibat adanya kejahatan. Oleh karena itu, wajar pula apabila penegakan hukum pidana dapat menyelesaikan konflik yang dapat ditimbulkan oleh tindak pidana.[18]

Siswanto S, mengemukakan bahwa:
“seyogianya aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) perlu mempertimbangkan kondisi psikis dari pihak pelapor agar tidak menimbulkan suatu sikap apatisme masyarakat terhadap hal-hal yang dijumpai sehubungan dengan peristiwa tindak pidana yang seharusnya dilaporkan.”[19]

Dalam kaitannya dengan peran serta masyarakat untuk mencegah dan melakukan penanggulangan kejahatan narkotika, aparat penegak hukum merasa ada kecenderungan masyarakat enggang melaporkan kegiatan peredaran narkotika tersebut kepada petugas di dalam lingkungan masyarakat mereka sendiri. Dan disisi lain adanya pandangan masyarakat yang menilai kurang adanya tanggapan serius dari aparat prnrgak hukum, padahal selama ini masyarakat telah berupaya memberikan informasi dan penggalangan kekuatan untuk bertindak sendiri memberantas narkotika. Merasa kurang ditanggapi akan hal tersebut, masyarakat menjadi curiga bahwa aparat penegak hukum ikut serta dan  terlibat dalam mengambil keuntungan materil dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Berdasarkan fenomena diatas, diperlukan sistem penyebaran arus informasi dan penguatan untuk membangkitkan motivasi masyarakat. Sehingga masyarakat sadar betul hukum ini dipandang sebagai unsur regulasi terhadap tingkah laku manusia yang pada akhirnya manusia akan menciptakan bagaimana hukum itu bisa teratur dan dapat menjaga keseimbangan dalam  tatanan kehidupan sosial masyarakat.[20] Membuat kehidupan didalam masyarakat menjadi lebih baik, tentram dan bebas dari narkotika illegal.
BAB IV
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai hal tersebut sebagai berikut :
1.      Peran masyarakat amat dibutuhkan dalam rangka membantu aparat penegak hukum untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Dengan ikut sertanya masyarakat membatu tugas aparat penegak hukum tersebut, maka peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika yang berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat dapat diminimalisir, yang nantinya diharap-kan masyarakat bisa terlepas dari bahaya peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.
2.      Dalam rangka pencegahan dan memberantas peredaran gelap narkotika hubungan antara masyarakat dengan aparat penegak hukum harus terus menerus ditingkatkan, baik dalam rangka memberikan sosialisasi kepada masyarakat, melakukan seminar-seminar tentang bahaya penyalahgunaan narkotika, hibauan melalui iklan layanan masyarakat dan lain sebagainya. Sehingga masyarakat sadar betul akan peredaran gelap narkotika merupakan bahaya yang mengancam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara baik untuk saat ini maupun masa yang akan datang.
B.     Saran
Dari kesimpulan diatas, penulis dapat memberikan saran sebagai berikut:
1.      Peran masyarakat dalam membantu aparat penegak hukum untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika harus diimbangi dengan dengan perlindungan hukum yang optimal kepada masyarakat yang melapor. Sehingga masyarakat yang melapor benar-benar merasa aman dan terjamin dari bahaya baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya dari tindakan orang yang dilaporkannya tersebut, yang diduga telah melakukan penyalah-gunaan narkotika dan prekursor narkotika. Serta aparat penegak hukum harus memperhatikan psikologi masyarakat, jangan sampai peran masyarakat justru merugikan masyarakat itu sendiri secara psikis.
2.      Untuk menjalin kerjasama yang erat itu dibutuhkan kepercayaan dari masing-masing komponen, yakni masyarakat dan aparat penegak hukum dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Kepercayaan tersebut dengan cara pembuktian dari aparat penegak hukum yang berupa keseriusannya dalam memberantas peredaran gelap narkotika, terlepasnya aparat penegak hukum dari keterlibatan sindikat peredaran gelap narkotika. Serta dari masyarakat sendiri, yaitu dengan membuktikan diri berupaya serius membantu aparat penegak hukum dalam memberantas peredaran gelap narkotika, memberi laporan yang dapat dipertanggung-jawabkan kepada aparat penegak hukum jika masyarakat mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi. 2007. Pembelajaran Hukum Pidana 1: Stesel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan, dan Batas berlakunya hukum Pidana. Raja grafindo Persada. Jakarta.
Barda Nawawi Arief. 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Cet. Ketiga. Kencana. Jakarta.
Em Zul Fajri, Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa Publisher.
I Gede Widhiana Suarda. 2012. Hukum Pidana Internasional: Sebuah Pengantar. Cet. Pertama. Citra Aditya Bakti. Bandung.
I.S. Susanto. 2011. Kriminologi. Cet. Pertama. Genta Publishing. Yogyakarta.
Marlina. 2011. Hukum Penentensier. Cet. Pertama. Refika Aditama. Bandung.
Moh. Hatta. 2010. Kebijakan Politik Kriminal: Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan. Cet. Pertama. Pustaka Pelajar. Yokyakarta.
Siswanto S. 2012. Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika: UU Nomor 35 Tahun 2009. Rineka Cipta. Jakarta.
Siswanto Sunarso. 2005. Penegakan Hukum Psikotropika: Dalam Kajian Sosiologi Hukum. RajagrafindoPersada. Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional.
Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Pembentukan Wadah Peran Serta Masyarakat



[1]  I.S. Susanto, Kriminologi, Cet. Pertama, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hlm. V (Pengantar Penerbit).
[2] Ibid, hlm. 23-24.
[3] Adami Chazawi, Pembelajaran Hukum Pidana 1: Stesel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan, dan Batas berlakunya hukum Pidana, Raja grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 161.
[4] Ibid., hal. 162.
[5] Ibid., hal. 164.
[6] Marlina, Hukum Penentensier, Cet. Pertama, Refika Aditama, Bandung, 2011 ,hal. 50-51.
[7] Ibid., hal. 59.
[8] Siswanto S, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika: UU Nomor 35 Tahun 2009, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hal. 29.
[9] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Cet. Ketiga, Kencana, Jakarta, 2011, hal. 35.
[10] Ibid., hal. 3.
[11] Marlina, Op. Cit ,hal. 70.
[12] Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika: Dalam Kajian Sosiologi Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005, Hal. 158.
[13] I Gede Widhiana Suarda, Hukum Pidana Internasional: Sebuah Pengantar, Cet. Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, Hal. 214.
[14] Siswanto S, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika: UU Nomor 35 Tahun 2009, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hal. 30.
[15] Ibid.
[16] Siswanto Sunarso, Op. Cit, Hal. 160.
[17] Em Zul Fajri, Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa Publisher.
[18] Moh. Hatta, Kebijakan Politik Kriminal: Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan, Cet. Pertama, Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 2010, Hal. 113-114.
[19] Siswanto S, Op. Cit., hal. 31.
[20] Siswanto Sunarso, Op. Cit., Hal. 165.

2 komentar:

Silahkan tinggalkan komentar yang baik