BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sebagai salah
satu negara yang memiliki kepadatan penduduk terbesar di dunia dan letak
geografis yang strategis, memungkinkan Indonesia berpeluang menjadi negara produsen,
transit, bahkan menjadi negara tujuan lalu lintas perdagangan narkotika. Narkotika mempunyai fungsi yang dapat
digunakan sebagai pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan. Selain itu, narkotika juga rentan untuk disalahgunakan
oleh orang baik secara individu maupun kelompok. Ketika narkotika disalahgunakan
oleh pelaku maka perbuatan ini merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang
yang mempunyai sanksi pidana dan pelakunya dapat dihukum.
Pengaruh era
globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi komunikasi, liberalisasi
perdagangan serta pesatnya kemajuan industri pariwisata menjadikan Indonesia
semakin rawan peredaran gelap narkotika. Bahkan dewasa ini peredaran gelap
narkotika di Indonesia semakin meningkat hal ini dibuktikan dengan banyaknya
kasus narkotika yang terjadi di Indonesia. Di media massa, baik media cetak
maupun media elektronik, hampir setiap hari ada saja pemberitaan mengenai narkotika.
Aparat penegak hukum pun tidak segan-segan memburu dan memberantas peredaran
gelap narkotika sampai keakar-akarnya.
Peredaran gelap
narkotika yang begitu cepat hingga menyentuh kepada masyarakat lapisan bawah, tidak memandang status sosial seseorang dan tidak memilih
siapa calon korbannya. Narkotika kini telah mempengaruhi dan merusak sendi
kehidupan masyarakat. Tidak sedikit orang mulai dari lapisan atas, seperti
orang kaya, pejabat, elit politik dan lain sebagainya sampai pada lapisan
terbawah sekalipun, yakni rakyat miskin terkena dampak dari penyalahgunaan
narkotika. Para pelaku dan korbannya tidak
terbatas pada usia tertentu saja. Mulai dari yang tua sampai pada yang muda pun
bisa jadi mangsa dari peredaran gelap narkotika.
Secara medis penyalahgunaan narkotika akan meracuni
sitem syaraf dan daya ingat, menurunkan kualitas berfikir dan daya ingat,
merusak berbagi organ vital seperti ginjal, hati, jantung, paru-paru dan sumsum
tulang, bisa terjangkit hepatitis, HIV/AIDS dan over dosis bisa menimbulkan
kematian. Resiko psikososial penyalahgunaan narkotika akan mengubah seseorang
menjadi pemurung, pemarah, pencemas, depresi, paranoid, dan mengalami gangguan
jiwa, sikap masa bodoh, tidak peduli dengan penampilan, pemalas, melakukan
tindakan kriminal, menjambret, mencopet dan lain-lain.
Penyalahgunaan narkotika juga berakibat tidak
baik kepada individu, masyarakat, keluarga, maupun bangsa. Bagi individu
akibatnya adalah menimbulkan ketagihan/ketergantungan, mengganggu mental,
mengganggu kesehatan, menjadi pelaku kejahatan, menghancurkan masa depan dan
mengakibatkan kematian. Terhadap keluarga akibat yang menimbulkan dapat
mengganggu keharmonisan, membuat aib, dan menghilangkan harapan. Terhadap
masyarakat akibatnya akan mengganggu ketertiban, menimbulkan rasa takut
dilingkungan dan meresahkan. Terhadap bangsa dan negara akibatnya merugikan
harkat dan martabat bangsa dan negara, merusak generasi muda dan ketahanan
nasional.
Sedemikian parahnya penyalahgunaan narkotika yang
beredar ditengah-tengah masyarakat terhadap kondisi fisik maupun lingkungan
sosial, jika tidak ditangani secara serius semenjak dini, dikhawatirkan akan
merusak masa depan orang-orang serta merusak generasi penerus suatu bangsa.
Jika generasi penerus telah hancur, siapa lagi yang akan membangun dan memimpin
negeri ini ke peradaban yang lebih baik. Oleh karenanya perlu ada upaya yang
dilakukan secara terus-menerus demi mengontrol dan mencegah peredaran gelap
narkotika sehingga Indonesia bisa terlepas dari bahaya yang mengancam generasi
penerus bangsa dari penyalahgunaan narkotika.
Untuk itu perlu adanya peran serta masyarakat dalam
membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Tiga komponen
dasar dalam penanggulangan kejahatan ini yaitu Masyarakat/sekolah, Peme-rintah
dan Polisi atau Penegak Hukum. Masyarakat berperan sebagai subyek sekaligus
obyek dari langkah penanggulangan narkotika, aparat penegak hukum utamanya polisi
menjadi fasilitator dan pemerintah berperan sebagai pendukung terhadap kegiatan
penanggulangan narkotika oleh masyarakat. Penanggulangan narkotika oleh
masyarakat didasarkan pada pendapat bahwa setiap organisasi atau kelompok dalam
suatu daerah memiliki sumber daya yang unik yang dapat di kontribusikan pada
usaha penanggulangan narkotika.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang masalah yang
telah dipaparkan diatas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahannya sebagai
berikut:
1.
Apakah tujuan pembentukan Badan
Narkotika Nasional?
2.
Bagaimana wujud peran serta masyarakat
dalam membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika dilihat
dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika?
C.
Sistematika
Penulisan
Untuk mempermudah
pemahaman makalah ini, maka penulis membagikannya menjadi empat bab yaitu:
Bab I Pendahuluan,
merupakan bab yang menjadi pedoman dalam penulisan yang terdiri dari: (a) latar
belakang masalah; (b) rumusan masalah; dan (c) sistematika penulisan.
Bab II merupakan
tinjauan pustaka yang terdiri dari kerangka konseptual dan kerangka teoritis
yang bersifat umum untuk dipakai sebagai dasar dalam bab pembahasan.
Bab III merupakan
pembahasan yang terdiri dari tujuan pembentukan Badan Narkotika
Nasional dan wujud peran serta masyarakat dalam membantu pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkotika dilihat dari Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika.
Bab IV merupakan bab
penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Kerangka
Konseptual
Berdasarkan
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
(selanjutnya disebut UU Narkotika) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang narkotika.
Narkotika selain untuk pengembangan ilmu
pengetahuan dan pelayanan kesehatan, juga rentan untuk disalahgunakan. Ketika
perbuatan tersebut disalahgunakan, maka hal ini sudah bisa diidentikkan dengan
perbuatan jahat. Salah satu sebab terjadinya kejahatan ada yang mengasumsikan
bahwa “kejahatan adalah bagian dari manusia alamiah, keberadaan manusia tidak terlepas dari sifat
iblis”.[1] Sifat iblis yang tamak dan
serakah inilah yang sering ditiru oleh manusia. Sehingga sering kali membuat
manusia lupa akan kewajiban dia di muka bumi.
Ray Jeffery mengemukakan bahwa:
Dalam mempelajari
kejahatan harus dipelajari dalam kerangka hukum pidana sebab dari hukum pidana
kita dapat mengetahui dengan pasti dalam kondisi yang bagaimanakah suatu
tingkah laku dipandang sebagai kejahatan dan bagaimana peraturan
perundang-undangan berinteraksi dengan sistem norma yang lain.
George C. Vold
mengatakan:
Dalam mempelajari
kejahatan terhadap persoalan rangkap, artinya kejahatan selalu menunjuk pada
perbuatan manusia dan juga batasan-batasan atau pandangan masyarakat tentang
apa yang dibolehkan dan apa yang dilarang, apa yang baik dan apa yang buruk,
yang semuanya itu terdapat dalam undang-undang, kebiasaan dan adat istiadat.[2]
Mengenai hal tersebut diatas, memberikan pandangan
bahwa perbuatan apa yang boleh apa yang dilarang, apa yang baik dan apa yang
buruk untuk dilakukan oleh maupun dalam masyarakat berdasarkan undang-undang,
kebiasaan dan adat istiadat. Sehingga masyarakat dapat bertindak sesuai pada
koridor hukum yang berlaku dan juga memberikan peluang pada masyarakat itu sendiri
untuk melakukan perlindungan terhadap bahaya yang mengancam tatanan kehidupan
bermasyarakat.
Dalam rangka
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika, maka dibentuklah Badan Narkotika Nasional (BNN). Dimana salah satu tugasnya adalah member-dayakan
masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor
narkotika. Memberdayakan masyarakat bisa berupa ikut berperannya masyarakat
dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan prekursor
narkotika. Peran serta masyarakat dapat dibentuk dalam suatu wadah yang
dikoordinasi oleh BNN.
B.
Kerangka
Teoritis
Dalam hukum pidana dikenal dengan istilah
teori relatif atau teori tujuan (doel
theorien.) Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar
bahwa “pidana adalah alat untuk menegakan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.
Tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakan tata tertib itu
diperlukan pidana.”[3]
Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar
tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat
tadi, maka pidana mempunyai sifat menakuti, mamperbaiki, dan juga bersifat
membinasakan.
Sementara itu, sifat pencegahan dari teori ini ada
dua macam yaitu, pencegahan umum dan pencegahan khusus. Menurut teori
pencegahan umum, “pidana yang dijatuhkan kepada penjahat ditujukan agar
orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat kejahatan”.[4]
Sedangkan teori pencegahan khusus, tujuan pidana adalah mencegah pelaku
kejahatan yang telah dipidana agar tidak mengulang lagi melakukan kejahatan,
dan mencegah orang-orang yang berniat buruk tidak mewujudkan niatnya kedalam
bentuk perbuatan nyata.[5]
Pemidanaan dapat
mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini:
1.
Pencegahan
terhadap pelaku kejahatan (deterring the
offender), yaitu membujuk sipelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan
pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang
dijatuhkan;
2.
Pencegahan
terhadap pelaku yang potensial (deterring
potential imitators), dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain
yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang
telah dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan
kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya;
3.
Perbaikan
si pelaku (reforming the offender),
yaitu memperbaiki tingkah laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku
untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa
ketakutan dan ancaman pidana
4.
Mendidik
masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan
cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan
5.
Melindungi
masyarakat (protecting the public),
melalui pidana penjara yang cukup lama.[6]
Kebijakan dalam
pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, di samping menggunakan
teori-teori represif dan preventif, tidak kalah pentingnya ialah dengan
menggunakan teori pembinaan/perawatan (teori
treatment), yakni teori yang ditujukan pada pelaku kejahatan, bukan pada
perbuatannya. Pemberian tindakan perawatan (treatment)
dan perbaikan (rehabilitation) kepada
pelaku kejahatan sebagai pengganti dari hukuman. Dengan alasan bahwa pelaku
kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).[7]
Hal ini mengandung pemikiran bahwa para korban penyalahgunaan narkotika, tidak
hanya dianggap sebagai pelaku tindak pidana, akan tetapi juga dianggap sebagai
korban kejahatan yang memerlukan penyembuhan dan rehabilitasi.[8]
Ted Honderich
berpendapat, bahwa suatu pidana dapat disebut sebagai alat pencegahan yang
ekonomis (economical deterrents)
apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Pidana
itu sungguh-sungguh mencegah.
b.
Pidana
itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya/merugikan daripada
yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan.
c.
Tidak
ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya/kerugian yang
lebih kecil.[9]
Segi lain ialah
berkaitan dengan nilai-nilai yang akan dicapai atau dilindungi oleh hukum
pidana. Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan pidana yang ingin dicapai oleh pidana
pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung
nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan sosial
tersebut menurut Basiouni ialah:
(1)
Pemeliharaan
tertib masyarakat;
(2)
Perlindungan
warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat dibenarkan,
yang dilakukan oleh orang lain; dan
(3)
Memasyarakatkan
kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;
(4)
Memelihara
atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai
keadilan sosial, martabat kemanusiaan, dan keadilan individu.[10]
Selain
teori-teori diatas, ada lagi satu teori, yakni teori perlindungan masyarakat
(teori social defence). Gramatika
berpendapat bahwa “hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana
yang ada sekarang. Tujuan utamanya adalah mengintegrasikan individu kedalam
tertib sosial bukan pemidanaan terhadap perbuatannya”.[11]
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Badan
Narkotika Nasional
Pembentukan Badan Narkotika Nasional, (selanjutnya
disebut BNN) awalnya ditetapkan melalui Peraturan presiden Nomor 83 Tahun 2007
tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika provinsi dan Badan Narkotika
Kabupaten/Kota. Kemudian Perpres tersebut dinyatakan dicabut dan tidak berlaku
lagi yang digantikan dengan peraturan baru, yakni peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Badan Narkotika Nasional. Pembentukan BNN ditujukan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
BNN dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh
seorang sekretaris utama dan beberapa deputi. Dalam hal ini deputi membidangi
urusan pencegahan, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerja sama, dan
pemberdayaan masyarakat. BNN berkedudukan dibawah Presiden, BNN juga mempunyai
perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal
(Badan Narkotika Provinsi atau Badan Narkotika Kota). Serta mengatur peran
masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika
dan prekursor narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat
yang berjasa dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan prekursor
narkotika.
BNN diharapkan menjadi Lembaga Pemerintah Non Kementerian profesional
yang mampu menggerakkan seluruh komponen masyarakat, bangsa, dan negara dalam
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia. Serta menjalin
kerjasama bersama instansi
pemerintah terkait dan komponen masyarakat, bangsa, dan negara untuk
melaksanakan pencegahan, pemberdayaan masyarakat,
pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerjasama di bidang pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Kesemuanya itu demi peningkatan
daya tangkal (imunitas) masyarakat terhadap bahaya
penyalahgunaan narkotika, peningkatan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika,
peningkatan angka pemulihan
penyalahgunaan
dan/atau pecandu narkotika, dan peningkatan pemberantasan sindikat jaringan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Pencegahan bertujuan untuk meningkatnya pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran
siswa, mahasiswa, pekerja, keluarga, masyarakat rentan/resiko tinggi terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Serta meningkatnya peranan instansi
pemerintah, kelompok masyarakat dalam upaya menciptakan, meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran
terhadap bahaya penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkotika.
Pemberdayaan masyarakat bertujuan terciptanya lingkungan pendidikan, lingkungan kerja,
masyarakat rentan/resiko tinggi, dan lingkungan keluarga bebas narkotika
melalui peran serta instansi pemerintah terkait, komponen masyarakat, bangsa,
dan negara. Rehabilitasi bertujuan untuk meningkatnya pelayanan program terapi dan rehabilitasi penyalahguna dan atau pecandu narkotika dan kapasitas lembaga rehabilitasi medis dan sosial dan meningkatnya pelaksanaan pasca rehabilitasi penyalahgunaan dan/atau pecandu narkotika. Pemberantasan
bertujuan untuk meningkatnya
pengungkapan kasus tindak kejahatan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan
prekursor narkotika dan terungkapnya jaringan sindikat peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika Luar dan Dalam
Negeri.
Serta disitanya barang
bukti dan aset yang berkaitan tindak kejahatan penyalahgunaan,
peredaran gelap narkotika
serta prekursor narkotika.
Dalam
Pasal 70 UU tentang Narkotika BNN mempunyai tugas:
a.
menyusun
dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b.
mencegah
dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
c.
berkoordinasi
dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
d.
meningkatkan
kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika,
baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;
e.
memberdayakan
masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
f.
memantau,
mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
g.
melakukan
kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna
mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
h.
mengembangkan
laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;
i.
melaksanakan
administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
j.
membuat
laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.
Selain
tugas diatas, dalam Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2010 pada Pasal 2 ayat
(2) dinyatakan bahwa:
“BNN juga bertugas menyusun dan
melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif
lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol.”
Pada poin e dan f
adanya pemberdayaan masyarakat serta memantau, mengarahkan, dan
meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Dimana dalam pemberdayaan masyarakat
dipimpin oleh deputi. Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat mempunyai tugas
melaksanakan penyusunan dan perumusan
kebijakan nasional di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif
lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang selanjutnya
disingkat dengan P4GN di bidang Pemberdayaan Masyarakat.
B.
Peran
Serta Masyarakat
Pengaturan
khusus mengenai peran serta masyarakat diatur dalam bab tersendiri yaitu BAB
XIII Peran Serta Masyarakat yang dimulai dari Pasal 104 sampai dengan Pasal 108
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pasal 104 berbunyi:
“Masyarakat
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika.”
Pasal 105 berbunyi:
“Masyarakat
mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.”
Pasal 106 berbunyi:
“Hak masyarakat
dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika diwujudkan dalam bentuk:
a.
mencari,
memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b.
memperoleh
pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada
penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
c.
menyampaikan
saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum atau BNN yang
menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d.
memperoleh
jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum
atau BNN;
e.
memperoleh
perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta
hadir dalam proses peradilan.”
Pasal 107 berbunyi:
“Masyarakat
dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika mengetahui adanya
penyalahgunaan atau peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.”
Pasal 108 berbunyi:
Ayat
(1) “Peran serta masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 104, Pasal 105, dan Pasal 106 dapat dibentuk dalam suatu
wadah yang dikoordinasi oleh BNN.”
Ayat
(2) “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Kepala BNN.”
Peraturan
Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 Tentang
Pembentukan Wadah Peran Serta Masyarakat Pasal 3 ayat (1) menyatakan “Wadah
peran serta masyarakat dapat berupa forum koordinasi, pusat pelaporan dan
informasi, serta wadah lainnya sesuai kebutuhan.”
Pasal 5 Wadah peran
serta masyarakat mempunyai tugas:
a.
melaksanakan
pengkoordinasian, penyinkronisasian, dan pengintegrasian Organisasi Non
Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat dalam penyiapan bahan masukan
penyusunan dan perumusan kebijakan nasional di bidang P4GN;
b.
melaksanakan
pengkoordinasian, penyinkronisasian, dan pengintegrasian Organisasi Non
Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pengorganisasian dan
pelaksanaan kebijakan nasional di bidang P4GN;
c.
melaksanakan
pengawasan intern dan koordinasi pengawasan pengelolaan dukungan operasional
yang berasal dari anggaran Badan Narkotika Nasional; dan
d.
melaksanakan
pengkoordinasian, penyinkronisasian, dan pengintegrasian Organisasi Non
Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat dalam evaluasi dan pelaporan
pelaksanaan kebijakan nasional di bidang P4GN;
Pasal 15 Pejabat di
lingkungan bidang pemberantasan berkewajiban untuk:
a.
memberikan
pelayanan kepada masyarakat dalam mencari, memperoleh, memberikan informasi,
dan melaporkan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang
Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan
adiktif untuk tembakau dan alkohol;
b.
memberikan
jawaban atas pertanyaan tentang laporan masyarakat yang diberikan kepada
penyidik Badan Narkotika Nasional; dan
c.
mengatur
pelaksanaan pemberian perlindungan hukum pada saat masyarakat melaksanakan
haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.
Peran serta
masyarakat ialah peran aktif masyarakat untuk mewujudkan upaya pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Kewajiban masyarakat ialah
melaporkan tentang terjadinya tindak pidana narkotika kepada aparat penegak
hukum. Disamping kewajiban itu, masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan
jaminan keamanan dan perlindungan hukum dari aparat penegak hukum.[12]
Peran serta
masyarakat sangat dibutuhkan untuk memberantas peredaran gelap narkotika,
karena tanpa dukungan masyarakat maka segala usaha, upaya dan kegiatan
penegakan hukum akan mengalami kegagalan. Disinilah pentingnya mengubah sikap
tingkah laku dan kepedulian masyarakat terhadap pencegahan dan penanggulangan tindak
pidana narkotika. Menurut Sinta Agustina, masyarakat telah menerima kejahatan
yang berkaitan dengan narkotika sebagai musuh umat manusia.[13]
Yang harus diberantas sampai kepada akar-akarnya demi kehidupan yang lebih baik
lagi.
Penyuluhan hukum
harus menggunakan strategi yang tepat dan efektif, sehingga masyarakat
benar-benar memahami tentang bahaya narkotika dan akan melakukan action anti narkotika. Penerapan sanksi
yang berat kepada para pelaku kejahatan akan memberikan deterrent effect dan sekaligus berdampak pada law of effect serta dampak sosialnya, yaitu sebagai wahana
pembelajaran publik, sehingga masyarakat akan sadar betul tentang pentingnya
menjauhi penyalahgunaan narkotika. Pembelajaran publik berdasarkan pengamatan terhadap
konsistensi penegakan hukum, dan penerpan sanksi pidana berat, akan tercipta
norma-norma sosial yang dijunjung tinggi, sehingga norma-norma sosial tersebut
sebagai sarana pengendalian, yang dilembagakan kembali kepada norma-norma hukum
untuk dipatuhi dan ditaati.[14]
Peran serta
masyrakat amat tergantung pada tingkat kepercayaan publik pada kepada penegak
hukum, untuk hal tersebut maka diperlukan transparansi penegakan hukum, peningkatan
peran serta masyarakat dalam pengawasan dan kewajiban pelaporan masyarakat
serta peningkatan bobot akuntabilitas kinerja aparat penegak hukum yang dapat
dipertanggung-jawabkan di depan publik.[15]
Mengenai peran serta masyarakat dalam membantu pencegahan dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu mengenai
pencegahan tindak pidana narkotika, kewajiban melaporkan tindak pidana
narkotika, jaminan keamanan dan perlindungan hukum.
Suatu motto di
bidang kesehatan masyarakat menyatakan bahwa “pencegahan itu lebih baik
daripada mengobati”.[16]
Masyarakat dapat berupaya melakukan pengawasan terhadap semua aktivitas warga
masyarakatnya agar tidak melakukan peredaran dan menyalahgunakan penggunaan
narkotika secara ilegal. Hal ini bertujuan untuk membangun sistem pengendalian
sosial tersebut melalui proses belajar. Proses belajar inilah yang nantinya
akan membawa masyarakat kearah yang lebih baik, sehingga masyarakat benar-benar
menyadari betul akan bahaya dari peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika
yang tengah beredar di sekitar lingkungan kehidupan mereka.
Dengan demikian,
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dipandang sebagai suatu ancaman
yang serius dan akan dapat menghancurkan sistem sosial masyarakat tersebut.
Salah satu upaya dalam melakukan pencegahan yaitu dengan cara sosialisasi
kepada masyarakat itu sendiri. Sosialisasi bisa dilakukan melalui pemberitaan
di media massa baik cetak maupun elektronik, melalui lingkungan pendidikan, dan
menyelenggarakan event anti narkotika serta Seminar.
Selain itu
masyarakat dapat melaporkan tindak pidana narkotika sebagaimana dalam Pasal
107, masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika
mengetahui adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika. Ini merupakan salah satu bentuk atau wujud peran serta masyarakat
dalam pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dan dalam
melakukan tugasnya, masyarakat memperoleh jaminan keamanan dan perlindungan
hukum. Penggunaan orang-orang yang terlibat atau dilibatkan secara langsung
oleh penegak hukum, baik sebagai informan maupun yang terlibat dalam pembelian
terselubung, dan/atau penyerahan yang diawasi, perlu mendapatkan prioritas
jaminan keamanan dan perlindungan hukum oleh penegak hukum.
Keamanan yang
berasal dari kata “aman”,[17]
yang memberikan makna, terbebas dari perasaan takut dari gangguan fisik dan
psikis, adanya rasa kepastian dan bebas dari kekhawatiran, keragu-raguan,
ketakutan, perasaan dilindungi dari segala macam bahaya dan perasaan kedamaian,
ketentraman lahiriah dan batiniah. Sebenarnya kondisi aman tersebut di atas
itulah yang merupakan kendala masyarakat dalam berkomunikasi dengan aparat
penegak hukum, khususnya dengan aparat kepolisian, berkaitan dengan kewajiban
melaporkan tentang suatu peristiwa tindak pidana. Secara empiris masyarakat
yang melaporkan ke aparat penegak hukum justru menimbulkan kekhawatiran,
kejenuhan, dan proses yang bertele-tele sehingga menyita waktu si pelapor.
Menurut Soerjono
Soekanto, salah satu sasaran dari tugas yuridis Polri di bidang penegakan hukum
adalah memberikan perlindungan keamanan masyarakat
dari kejahatan. Ada beberapa aspek perlindungan masyarakat, yaitu:
a.
Masyarakat
membutuhkan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan
membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek ini wajar apabila penegakan hukum
bertujuan penanggulangan kejahatan.
b.
Masyarakat
membutuhkan perlindungan terhadap sifat berbahayanya seseorang. Oleh karena
itu, wajar pula apabila penegakan hukum pidana bertujuan memperbaiki si pelaku
kejahatan atau berusaha mengubah atau memengaruhi tingkah lakunya agar kembali
patuh pada hukum dan kembali menjadi warga masyarakat yang baik.
c.
Masyarakat
membutuhkan pula perlindungan terhadap penyalahgunaan sanksi atau reaksi dari
penegak hukum maupun warga pidana harus mencegah terjadinya perlakuan atau
tindakan sewenang-wenang di luar hukum masyarakat membutuhkan perlindungan
terhadap keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang
tertanggung sebagai akibat adanya kejahatan. Oleh karena itu, wajar pula
apabila penegakan hukum pidana dapat menyelesaikan konflik yang dapat
ditimbulkan oleh tindak pidana.[18]
Siswanto
S, mengemukakan bahwa:
“seyogianya aparat penegak hukum
(polisi, jaksa dan hakim) perlu mempertimbangkan kondisi psikis dari pihak
pelapor agar tidak menimbulkan suatu sikap apatisme masyarakat terhadap hal-hal
yang dijumpai sehubungan dengan peristiwa tindak pidana yang seharusnya
dilaporkan.”[19]
Dalam kaitannya
dengan peran serta masyarakat untuk mencegah dan melakukan penanggulangan
kejahatan narkotika, aparat penegak hukum merasa ada kecenderungan masyarakat
enggang melaporkan kegiatan peredaran narkotika tersebut kepada petugas di
dalam lingkungan masyarakat mereka sendiri. Dan disisi lain adanya pandangan
masyarakat yang menilai kurang adanya tanggapan serius dari aparat prnrgak
hukum, padahal selama ini masyarakat telah berupaya memberikan informasi dan
penggalangan kekuatan untuk bertindak sendiri memberantas narkotika. Merasa kurang
ditanggapi akan hal tersebut, masyarakat menjadi curiga bahwa aparat penegak
hukum ikut serta dan terlibat dalam
mengambil keuntungan materil dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Berdasarkan
fenomena diatas, diperlukan sistem penyebaran arus informasi dan penguatan
untuk membangkitkan motivasi masyarakat. Sehingga masyarakat sadar betul hukum
ini dipandang sebagai unsur regulasi terhadap tingkah laku manusia yang pada
akhirnya manusia akan menciptakan bagaimana hukum itu bisa teratur dan dapat
menjaga keseimbangan dalam tatanan
kehidupan sosial masyarakat.[20]
Membuat kehidupan didalam masyarakat menjadi lebih baik, tentram dan bebas dari
narkotika illegal.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
apa yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan mengenai hal tersebut sebagai berikut :
1.
Peran masyarakat amat dibutuhkan dalam
rangka membantu aparat penegak hukum untuk mencegah dan memberantas
penyalahgunaan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Dengan ikut
sertanya masyarakat membatu tugas aparat penegak hukum tersebut, maka peredaran
gelap narkotika dan prekursor narkotika yang berada di tengah-tengah kehidupan
masyarakat dapat diminimalisir, yang nantinya diharap-kan masyarakat bisa terlepas
dari bahaya peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.
2.
Dalam rangka pencegahan dan memberantas
peredaran gelap narkotika hubungan antara masyarakat dengan aparat penegak
hukum harus terus menerus ditingkatkan, baik dalam rangka memberikan
sosialisasi kepada masyarakat, melakukan seminar-seminar tentang bahaya
penyalahgunaan narkotika, hibauan melalui iklan layanan masyarakat dan lain
sebagainya. Sehingga masyarakat sadar betul akan peredaran gelap narkotika merupakan
bahaya yang mengancam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara baik untuk saat
ini maupun masa yang akan datang.
B.
Saran
Dari kesimpulan diatas, penulis
dapat memberikan saran sebagai berikut:
1.
Peran masyarakat dalam membantu aparat
penegak hukum untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan peredaran gelap
narkotika dan prekursor narkotika harus diimbangi dengan dengan perlindungan
hukum yang optimal kepada masyarakat yang melapor. Sehingga masyarakat yang
melapor benar-benar merasa aman dan terjamin dari bahaya baik untuk dirinya
sendiri maupun keluarganya dari tindakan orang yang dilaporkannya tersebut,
yang diduga telah melakukan penyalah-gunaan narkotika dan prekursor narkotika. Serta
aparat penegak hukum harus memperhatikan psikologi masyarakat, jangan sampai peran
masyarakat justru merugikan masyarakat itu sendiri secara psikis.
2.
Untuk menjalin kerjasama yang erat itu
dibutuhkan kepercayaan dari masing-masing komponen, yakni masyarakat dan aparat
penegak hukum dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
narkotika. Kepercayaan tersebut dengan cara pembuktian dari aparat penegak
hukum yang berupa keseriusannya dalam memberantas peredaran gelap narkotika,
terlepasnya aparat penegak hukum dari keterlibatan sindikat peredaran gelap
narkotika. Serta dari masyarakat sendiri, yaitu dengan membuktikan diri
berupaya serius membantu aparat penegak hukum dalam memberantas peredaran gelap
narkotika, memberi laporan yang dapat dipertanggung-jawabkan kepada aparat
penegak hukum jika masyarakat mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika.
DAFTAR
PUSTAKA
Adami Chazawi. 2007. Pembelajaran Hukum Pidana 1: Stesel Pidana,
Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan, dan Batas berlakunya hukum Pidana. Raja
grafindo Persada. Jakarta.
Barda Nawawi Arief.
2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Cet. Ketiga. Kencana.
Jakarta.
Em Zul Fajri, Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa
Publisher.
I Gede Widhiana Suarda.
2012. Hukum Pidana Internasional: Sebuah
Pengantar. Cet. Pertama. Citra Aditya Bakti. Bandung.
I.S. Susanto. 2011. Kriminologi. Cet. Pertama. Genta
Publishing. Yogyakarta.
Marlina. 2011. Hukum Penentensier. Cet. Pertama. Refika
Aditama. Bandung.
Moh. Hatta. 2010. Kebijakan Politik Kriminal: Penegakan Hukum
Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan. Cet. Pertama. Pustaka Pelajar.
Yokyakarta.
Siswanto S. 2012. Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika:
UU Nomor 35 Tahun 2009. Rineka Cipta. Jakarta.
Siswanto Sunarso. 2005.
Penegakan Hukum Psikotropika: Dalam
Kajian Sosiologi Hukum. RajagrafindoPersada. Jakarta.
Peraturan
Perundang-Undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika
peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan
Narkotika Nasional.
Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Pembentukan Wadah Peran Serta Masyarakat
[1]
I.S. Susanto, Kriminologi,
Cet. Pertama, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hlm. V (Pengantar Penerbit).
[2] Ibid, hlm. 23-24.
[3] Adami Chazawi, Pembelajaran Hukum Pidana 1: Stesel Pidana,
Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan, dan Batas berlakunya hukum Pidana, Raja
grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 161.
[4] Ibid., hal. 162.
[5] Ibid., hal. 164.
[6] Marlina, Hukum Penentensier, Cet. Pertama, Refika Aditama, Bandung, 2011 ,hal. 50-51.
[7] Ibid., hal. 59.
[8] Siswanto S, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika: UU Nomor 35 Tahun 2009,
Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hal. 29.
[9] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:
Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Cet. Ketiga, Kencana, Jakarta,
2011, hal. 35.
[10] Ibid., hal. 3.
[11] Marlina, Op. Cit ,hal. 70.
[12] Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika: Dalam Kajian
Sosiologi Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005, Hal. 158.
[13] I Gede Widhiana Suarda, Hukum Pidana Internasional: Sebuah Pengantar,
Cet. Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, Hal. 214.
[14] Siswanto S, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika: UU Nomor 35 Tahun 2009,
Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hal. 30.
[15] Ibid.
[16] Siswanto Sunarso, Op. Cit, Hal. 160.
[17] Em Zul Fajri, Ratu Aprilia
Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
Difa Publisher.
[18] Moh. Hatta, Kebijakan Politik Kriminal: Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan
Kejahatan, Cet. Pertama, Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 2010, Hal. 113-114.
[19] Siswanto S, Op. Cit., hal. 31.
[20] Siswanto Sunarso, Op. Cit., Hal. 165.
thanks Bray Infonya !!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id
Terima kasih atas kunjungannya, semoga bermanfaat.
BalasHapus