BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Salah satu agenda penting
perjuangan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa adalah penghapusan
praktek-praktek korupsi[1], kolusi[2], dan nepotisme[3] (KKN).[4] Tuntutan pemberantasan
KKN semakin gencar dilakukan sejak lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan.
Sebagian masyarakat menghendaki agar mantan Presiden Soeharto dan
kroni-kroninya segera diperiksa dan diadili di pengadilan karena diduga telah melakukan
praktek KKN yang merugikan negara. Sebagian lagi menganggap, Soeharto tidak
perlu dibawa kemeja hijau karena ia telah berjasa kepada negara dan juga kurang
lebih selama tiga puluh dua tahun ia memimpin Indonesia. Namun pada hakekatnya
korupsi tetaplah korupsi yang harus dimintakan pertanggung-jawan kepada para pelakunya.
Kolusi dan nepotisme merupakan bagian yang sangat erat dengan korupsi. Hampir
semua lini kehidupan terjangkit wabah korupsi, mulai dari pejabat negara sampai
kepada perangkat desa. Akibat terkena wabah tersebut, perbuatan yang dilakukan
dapat merugikan negara maupun keuangan negara. Walaupun perbuatan yang
dilakukan sama antara pejabat negara dengan orang dibawahnya, namun hasil yang
diperoleh dari korupsi belum tentu sama.
Korupsi seakan mengakar
dalam diri pribadi koruptor itu sendiri, yang mana bila akarnya dicabut sudah
tentu dahannya pun akan ikut mati. Dengan kata lain, koruptor akan tumbuh subur
jika moral dan sistem hukum belum bisa disatukan dan ditegakan atas rasa
keadilan. Keadilan inilah yang menjadi salah satu tolok ukur dalam menegakan
hukum. Sehingga hukum benar-benar diciptakan untuk melindungi masyarakat dari
kejahatan dan juga bersifat represif terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Namun
fakta yang terjadi saat ini baik di media cetak maupun elektronik, justru
pemberitaan mengenai korupsi semakin santer terdengar. Masyarakat masih
memandang miris dan juga masih meragukan keseriusan pemerintah dan aparat
penegak hukum khususnya kepolisian untuk memberantas korupsi.
Harus diakui bahwa korupsi
di Indonesia sudah menjalar kesegala kehidupan, kesemua sektor, dan segala
tingkatan, baik pusat maupun daerah. Hal ini disebabkan korupsi telah terjadi
sejak puluhan tahun lalu yang dibiarkan saja berlangsung tanpa diambil tindakan
yang memadai dari kacamata hukum khususnya hukum pidana. Banyaknya orang yang
terlibat dan juga adanya sebuah kekuatan besar dibelakangnya, membuat korupsi
menjadi sulit untuk diberantas sampai keakar-akarnya. Cara yang seperti ini
sering dilakoni pelaku untuk melindungi diri dari jeratan hukum. Kekuatan besar
selalu menopangnya sehingga para koruptor tidak takut lagi akan jeratan hukum.
Ditambah lagi adanya guyonan yang menyatakan “asalkan ada uang semua dapat
dibeli”.
Seperti realita yang
terjadi saat ini, dimana para koruptor bebas untuk keluar masuk penjara ataupun
dapat menikmati fasilitas yang lebih dalam penjara dibandingkan orang lainnya,
asalkan membayar sejumlah uang dalam jumlah tertentu kepada oknum Lembaga
Permasyarakatan. Ini menunjukan buruknya perilaku, moral aparat penegak hukum
dan juga buruknya sistem hukum yang ada di Indonesia, sehingga dengan sangat
mudah oknum aparat penegak hukum diperdaya oleh tipu daya segelintir orang
tamak negeri ini untuk memberikan perlakuan khusus bagi mereka yang korupsi.
Seharusnya aparat penegak hukum benar-benar melaksanakan tugas pokok dan fungsi
sebagaimana yang diamanahkan kepadanya. Bukan menciptakan peluang kejahatan
baru yang tersembunyi dibalik jeruji besi. Jika aparat penegak hukum sudah
benar, walaupun hukumnya buruk sekalipun maka hasil yang dikeluarkan pun akan
baik, tapi jika perilaku aparat penegak hukumnya buruk walaupun hukumnya baik,
hasilnya akan tetap saja buruk. Oleh karena itu diperlukan perilaku aparat
penegak hukum yang benar dan juga didukung oleh hukum yang benar, semua akan
jauh lebih baik dari sebelumnya.
Untuk itu dalam penyelesaian kasus korupsi
harus benar-benar menjadi prioritas dari pemerintah, khususnya aparat penegak
hukum yang menangani kasus korupsi dan juga seluruh komponen masyarakat sebab
kasus korupsi selalu berhubungan dengan basic economic
and economic life of the nation. Selain itu juga untuk menumbuhkan kepercayaan
investor asing agar mau menanamkan modalnya di Indonesia yang pada akhirnya
juga akan menguntungkan pemerintahan Indonesia sendiri dan dapat menciptakan
lapangan pekerjaan baru sehingga dapat mengurangi angka pengangguran. Perilaku
korupsi tidak terjadi di pemerintah pusat saja melainkan telah merambah ke
daerah-daerah baik di lembaga eksekutif maupun legislatif, dan yang lebih
ironis korupsi itu selalu dilakukan oleh Pejabat Publik dengan cara abuse
of power.
Berbagai profesi seolah-olah berlomba melakukan korupsi dengan menggasak
keuangan negara, para koruptor merasa tidak bersalah dan tidak takut terhadap
“kutukan moral”.[5] Dan cap buruk dari
masyarakat.
Berkaitan dengan itu, visi
fungsi dan peranan hukum dalam pemba-ngunan nasional kini dan masa datang harus
diarahkan untuk mengawal dan memelihara cita kesejahteraan bangsa dan keadilan
serta dapat menjunjung tinggi perlindungan hak asasi setiap warga negara
Indonesia dan penduduk pada umumnya. Berangkat dari visi tersebut, hukum harus
difungsikan dan diperankan sebagai sarana perubahan untuk memperkuat
perkembangan kemajuan yang telah dicapai oleh pemerintah dan bangsa Indonesia
di seluruh sektor kehidupan masyarakat, baik kehidupan bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya maupun di dalam kehidupan masyarakat beragama. Sejalan dengan
visi dan misi tersebut, tujuan hukum di Indonesia, bukan semata-mata mencapai
kepastian hukum dan keadilan (tujuan klasik) melainkan juga bertujuan,
memelihara keharmonisan dan kesejahteraan dalam kehidupan masyarkat secara
merata sehingga dapat mencegah kesenjangan dan konflik-konflik sosial, politik
dan ekonomi yang merugikan cita persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Karena tindak pidana
korupsi berkaitan erat dengan ruangan gerak yang cukup luas. Maka
penanggulangannya tidak hanya dilakukan dengan proses penegakan hukum saja,
melainkan juga melakukan singkronisasi terhadap undang-undang yang berkaitan
dengan tindak pidana korupsi. Korupsi merupakan kejahatan yang bersifat transnasional,
maka kerjasama regional dan internasional dalam upaya pemberantasan korupsi
juga perlu ditingkatkan.[6] Sehingga pada akhirnya
hukum itu bisa diberlakukan sama terhadap para pelaku tindak pidana khususnya mengenai
korupsi. jangan sampai ada anggapan bahwa hukum itu tajam ke bawah namun tumpul
ke atas. Ataupun hukuman itu diberlakukan hanya untuk orang yang tidak mampu,
dan bagi orang yang mampu membayarnya mendapat keististimewaan tersendiri
layaknya seorang raja, mendapatkan apa saja yang ia inginkan.
Sebagaimana dikutip oleh
IGM. Nurdjana, ia mengatakan bahwa Hadisuprapto telah mengemukakan permasalahan
korupsi masih saja kompleks karena tipologi (bentuk) dan jenis serta modus
operandinya semakin berkembang dengan pola-poa baru. Ruang lingkup korupsi
mencakup institusi sosial, politik, ekonomi, budaya (pendidikan, agama dan
sebagainya), pertahanan, keamanan, dengan rentang waktu yang panjang: masa
lalu, masa kini dan masa depan yang berkaitan dengan fungsi integritas hukum
dan stratifikasi hukum pada semua strata institusi sosial.[7] Hukum harus mampu
menjangkau para koruptor yang berlindung dibalik kekuasaan. Kalau tidak dengan
demikian, masyarakat Indonesia bisa menghadapi krisis kepercayaan terhadap pemerintah,
aparat penegak hukum dan kepada hukum itu sendiri. Jika itu terjadi,
kemungkinan bakal ada permintaan pergerakan reformasi baru di Indonesia,
seperti tahun 1998 silam.
Oleh karenanya, diperlukan
suatu konsep agar hukum itu dapat berfungsi dengan efektif sehingga kegiatan
yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi dapat dicegah sedini mungkin dan
diberantas habis sampai keakar-akarnya serta dapat pula menyeret pelaku ke meja
hijau untuk diadili. Ini akan menimbulkan efek jera kepada para pelakunya ataupun
dapat manakuti orang lain agar tidak malakukan perbuatan korupsi. Namun untuk
mencapai hal itu tidaklah mudah, diperlukan keseriusan seluruh komponen baik
pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat untuk selalu berperan aktif
jika mengetahui telah terjadinya tindak pidana korupsi oleh oknum yang
menyalahgunakan wewenang yang menyebabkan merugikan keuangan negara.
B.
Rumusan
masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang
telah penulis diuraikan diatas, dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti, sebagai
berikut:
- Bagaimana konsep
efektif hukum dalam pemberantasan korupsi?
BAB II
KONSEP EFEKTIF HUKUM DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI
Dalam rangka
mengefektifkan hukum untuk memberantas korupsi, pembentuk undang-undang
mengharapakan agar undang-undang mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih
efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara pada khususnya serta pada masyarakat umumnya. Demi
terwujudnya pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan manusia Indonesia
seutuhnya dan masyrakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera dan
tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan hal
tersebut, maka perlu dilakukan dan ditingkatkan secara terus menerus
usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi yang
biasanya diikuti dengan kolusi dan nepotisme dapat dikatakan sebagai suatu “the
white collar crime” sekaligus economic crime yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat
dan negara. Kegiatan tersebut mempunyai pengaruh yang luar biasa bagi kegiatan
perekonomian dan pembangunan suatu negara yang pada gilirannya dapat
menimbulkan dampak krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi harus semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Oleh karenanya
kejahatan korupsi dapat dikategorikan sebagai extra ordinary crime. Hal ini terjadi akibat
tiadanya kesadaran dan kepatuhan hukum pejabat penyelenggara negara yang
mengarah pada tindakan deviance (pembangkangan) terhadap nilai-nilai dan sikap
hidup individu yang baik.[8] Nilai-nilai itu adalah
berupa norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Yang mana apabila norma tersebut tidak dipatuhi membuat hukum berjalan
tersendat sehingga akan memperlambat proses pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi.
Akibat negatif dari adanya
tindak pidana korupsi sangat merusak tatanan kehidupan bangsa, bahkan korupsi
merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial masyarakat Indonesia.[9] Bagi Indonesia, KKN sudah
merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara, karena kerugian yang
dialami sangat besar dengan perbuatan para koruptor yang nyaris membuat
bangkrut perekonomian negara, terutama ketika terjadi krisis moneter yang
diikuti pula dengan krisis ekonomi pada tahun 1997. Sampai saat ini,
perekonomian Indonesia belum pulih betul dari krisis ekonomi dibandingkan dari
krisis yang dialami oleh semua negara Asia lainnya seperti Malaysia, Thailand,
Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Filipina. Salah satu penyebab faktor krisis
ini adalah akibat perilaku KKN para penyelenggara negara dari tingkat pusat
sampai daerah yang sangat merugikan bagi kepentingan pembangunan nasional.
Pemberantasan KKN menjadi masalah nasional yang harus dilakukan pemerintah
sampai kapanpun guna dapat mewujudkan pemerintahan dan negara yang betul-betul
bebas dari perilaku KKN.
Korupsi di Indonesia sudah
bersifat sistemik dan endemik sehingga tidak saja merugikan keuangan negara dan
perekonomian negara, tetapi juga sudah melanggar hak-hak ekonomi dan sosial (economic
dan social right) masyarakat secara meluas.[10] Dalam kejahatan ekonomi
ini (termasuk KKN), pihak yang dirugikan adalah kepentingan kolektif atau
komunitas, karena kejahatan ini merugikan keuangan negara dan perekonomian
bangsa yang tentunya juga merugikan perekonomian rakyat. Artinya, pihak yang
menjadi korban adalah negara dan rakyat. Kerugian lain yang dialami masyarakat
berupa rendahnya pelayanan umum dari pemerintah, karena tiadanya biaya atau
dana negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kejahatan korupsi pada
beberapa negara juga dianggap sebagai pelanggaran HAM yang menyangkut dengan
kepentingan rakyat banyak (publik). Ini disebabkan, kejahatan korupsi dapat
merusak sendi-sendi peradaban dan nama baik suatu bangsa dalam pergaulan
masyarakat internasional sehingga perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai “kejahatan
kemanusiaan” (crime against humanity) yang harus memperoleh prioritas utama dalam
pemberantasannya. Dalam hukum pidana Indonesia, delik korupsi termasuk dalam
klasifikasi hukum pidana khusus yang diprioritaskan penanganannya oleh aparat
penegak hukum ketimbang delik-delik yang bersifat umum.[11] Penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus
didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.[12] Jika terdapat dua atau
lebih perkara yang boleh oleh undang-undang ditentukan untuk didahulukan, maka
penentu mengenai penentuan prioritas perkara tersebut diserahkan pada tiap
lembaga yang berwenang disetiap proses peradilan.
Menurut Athol Noffitt, ia
mengemukakan bahwa “sekali korupsi dilakukan apalagi bila dilakukan oleh
pejabat-pejabat yang tinggi, maka korupsi itu akan tumbuh lebih subur”.[13] Lebih lanjut ia
mengatakan “tiada kelemahan yang lebih besar pada suatu bangsa dari pada
korupsi yang merembes ke semua tingkat pelayanan umum. Korupsi melemahkan garis
belakang baik damai maupun perang”.[14] Perilaku buruk pejabat
tinggi akan mempengaruhi kuantitas korupsi dan akan semakin sulit diberantas. Perilaku
tersebut dapat mengancam tingkat dan kualitas pelayanan umum yang dibutuhkan
masyarakat, sehingga apabila itu terjadi maka perbuatan tersebut sangat
merugikan kepentingan rakyat banyak. Walaupun negara selalu berbenah diri dalam
menghadapi kejahatan korupsi, namun selalu ada celah bagi penyelenggara negara dan pejabat daerah untuk
tetap melakukan korupsi yaitu karena adanya
peningkatan sumber-sumber kekayaan negara dan daerah yang selama ini memang
memberikan banyak harapan bagi koruptor. Sumber keuangan negara dan daerah
dimanfaatkan oleh mereka yang mengelolanya ataupun pejabat yang memberikan pelayanan
publik untuk memperkaya diri sendiri dan
juga orang lainnya termasuk korporasi.
Inilah
salah satu kelemahan yang bangsa Indonesia hadapi sekarang. Seiring dengan itu,
Teguh Sulistia, Aria Zurnetti, mengemukakan bahwa ada indikator dalam
peningkatan aktifitas KKN selama ini. Indikator tersebut dapat dilihat dari tiga hal,
yakni sebagai berikut:
Pertama, tidak adanya lembaga
politik (partai politik, pemerintah (depdagri, Kementerian PAN, KPKPN) ataupun
lembaga swadaya masyarakat) yang efektif dan mampu untuk mengontrol dengan
ketat perilaku KKN para penyelenggara negara. Kedua, tidak adanya partisipasi
partai politik yang signifikan dari sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya
rakyat miskin, tokoh-tokoh masyarakat, baik di kota maupun desa untuk melakukan
tekanan terhadap pemerintahan yang korup. Ketiga, tidak adanya lembaga
hukum (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan) dengan sanksi hukum yang
betul-betul mempunyai kekuatan riil dapat menyadarkan dan menjerakan perilaku
KKN para penyelenggara negara.[15]
Sudah seharusnya setiap
komponen maupun elemen yang berada ditingkat pusat dan di daerah yang mempunyai
hubungan secara vertikal maupun horizontal memiliki kekuatan dan tekad yang
serius untuk melakukan kerjasama, kordinasi dalam memberantas tindak pidana
korupsi. Serta menerapkan sanksi yang tegas sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi para pelaku yang melanggar ketentuan
tersebut. Sehingga akan menimbulkan efek jera bagi koruptor dan juga
menghindari perbuatan tersebut dilakukan oleh orang lain baik untuk saat
sekarang maupun masa yang akan datang. Meskipun kejahatan korupsi sudah begitu
parah dan masif, sehingga timbul istilah “korupsi sudah membudaya” dalam
kehidupan suatu bangsa dengan tatanan hukum yang rapuh,[16] namun upaya penegakan
hukum untuk memberantasnya seolah-olah mengalami kebuntuan. Bisa jadi disebabkan
oleh banyaknya pelaku yang terlibat merupakan pejabat penting negara yang
mempunyai kekuatan besar dibelakangnya dan juga adanya kesulitan dalam
pembuktian bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
seorang, kelompok orang ataupun korporasi yang merugikan keuangan negara dan
masyarakat.
Penerapan asas beban
pembuktian terbalik terbatas atau berimbang dalam Pasal 37 UU No. 31 tahun 1999
jo UU No. 20 Tahun 2001 memberikan pula kesempatan para tersangka/terdakwa
untuk membuktikan bahwa dirinya memang tidak bersalah dengan mengemukakan
bukti-bukti yang dimilikinya, sekurangnya kesulitan pembuktian di depan sidang
pengadilan dapat meringankan tugas-tugas kejaksaan dalam upaya pembuktian
kesalahan terdakwa. Efektivitasnya masih perlu dibuktikan dari sistem
pembuktian yang baru diberlakukan dalam kasus-kasus mega korupsi yang belum
tuntas sampai saat ini seperti Proyek Hambalang, Bank Century, kasus Simulator SIM di tubuh polri
dan lain sebagainya. Apabila mega korupsi ini diselesaikan dengan baik akan
menjadi contoh bahwa penegakan hukum di Indonesia tidak lagi tebang pilih dalam
penerapan hukumnya .
Dikaitkan dengan
perkembangan hukum pidana dan reformasi hukum, tidak hanya harus memperhatikan
hak-hak para tersangka/terdakwa, akan tetapi juga harus memperhatikan hak-hak
korban. Artinya, kerugian yang dialami oleh negara dan rakyat harus dilindungi
dengan baik dalam rangka mencapai tujuan nasional, yaitu “masyarakat adil dan
makmur”, maka pemberantasan kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme sudah tidak
bisa ditawar-tawar lagi demi mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN.
Perilaku KKN pejabat publik sebagai elit penentu selama ini terbukti amat
merugikan dalam pembangunan. Elit penentu yang mengemban citra ideal masyarakat
akhirnya berubah menjadi kebencian masyarakat. Kini saatnya segenap kekuatan
reformis berpacu untuk melawan korupsi, kolusi dan nepotisme.[17] Pemberantasan KKN harus
sejalan dengan penegakan hukum yang tegas dan didukung pula dengan lembaga
hukum yang kuat dan independen, tanpa itu, penegakan hukum sulit tercapai.
Semua itu dimaksudkan agar kekuasaan yang diatur oleh hukum merupakan suatu
kebebasan yang terkendali, baik isi, ruang lingkup, prosedur memperolehnya,
semuanya ditentukan oleh hukum.[18]
Lembaga hukum yang khusus
dibentuk untuk melakukan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi, sebenarnya
sudah ada sejak lama. Namun namanya saja yang seringkali berubah. Karena
lembaga itu hampir bisa dikatakan dalam pemberantasan korupsi mengalami
kegagalan. Seperti masa orde lama, tercatat beberapa kali dibentuk badan
pemberantasan korupsi yakni Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang
dibentuk dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya dan lembaga yang
dikenal dengan nama Operasi Budhi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
No. 275 Tahun 1963. Serta Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar)
yang menggantikan Operasi Budhi. Pada masa orde baru, setidaknya ada empat
lembaga yang dibebani tugas untuk melakukan pemberantasan korupsi, yakni Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 228
tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967. Karena dianggap tidak serius memberantas
korupsi, maka dibentuklah Komitte Empat berdasarkan Keputusan Presiden No. 12 Tahun 1970 Tanggal 31 Januari 1970.
Kemudian dibentuk lagi Operasi Tertib (Opstib) berdasarkan Instruksi Presiden
No. 9 tahun 1977. Terakhir dihidupkannya kembali Tim Pemberantasan Korupsi
“baru” pada tahun 1982 tanpa menerbitkan putusan presiden yang baru. Pada masa
era reformasi dibawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie mengeluarkan UU No. 28
Tahun 1999 yang mengamanahkan Pembentukan Komisi Pengawasan Kekayaan Pejabat
Negara (KPKPN), KPPU, maupun Lembaga Ombudsmen. Masa Presiden Abdurrahman Wahid
(Gusdur), membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK)
melalui Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 namun melalui judicial
review
akhirnya TGPTPK ini dibubarkan karena berbenturan dengan UU No. 31 Tahun 1999.
Kemudian dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka tugas
KPKPN melebur ke dalam KPK.[19]
Sebagai contoh berupa
pembubaran KPKPN dan meleburnya ke dalam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
yang pembentukannya berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 adalah dalam upaya
mengurangi perilaku KKN pejabat publik. Pada satu sisi ada kerugian, tetapi
dari sisi lain upaya pemberantasan KKN akan mempunyai nilai tambah berupa
adanya kepastian hukum. Kerugian yang dialami KPKPN antara lain komisi ini
sudah memiliki nama di hati masyarakat karena mampu mengungkapkan pejabat tidak
jujur dalam melaporkan kekayaan-nya, pemberantasan KKN mengalami set
back atau
berjalan mundur karena ketidakpercayaan
masyarakat terhadap upaya pemberantasan KKN oleh pemerintah dan penegak hukum
belum optimal selama ini. Di sisi lain, pembentukan KPK akan memiliki kekuatan pro
iustitia untuk
menuntut pejabat publik yang KKN kedepan sidang pengadilan bersama kepolisian
dan kejaksaan. KPKPN tidak dianggap melanggar privacy pejabat publik yang
diduga KKN dengan kejelasan kerjanya dalam pemberantasan KKN dalam payung hukum
yang tepat.[20] Pemberantasan KKN
terhadap para koruptor jika tidak ditunggangi dengan kepentingan politik akan
mencapai rasa keadilan dan manfaat bagi warga masyarakat berupa menjerakan atau
mengurangi perilaku KKN bagi para pejabat publik atau mereka yang mempunyai
peluang melakukan KKN. Namun sayangnya, dewasa ini yang kita lihat justru
korupsi selalu identik dengan kekuasaan politik. Apalagi korupsi terbesar saat
ini berada dalam ranah politik, baik itu dari anggota dewan maupun dari
pemimpin suatu wilayah. Sudah barang tentu, proses penyelesaiannya pun akan ada
kepentingan tertentu yang terlindungi. Untuk memberantas KKN yang sudah “berurat
dan berakar” dalam kehidupan elit warga masyarakat, diperlukan partisipasi
penuh seluruh masyarakat berupa penyampaian barang bukti dan informasi yang
jelas bila mengetahui telah terjadi tindak pidana korupsi. Tanpa adanya
partisipasi dan dukungan penuh, segala usaha pemerintah, aparatur penegak hukum
ataupun komisi-komisi yang dibentuk pemerintah untuk memberantas KKN akan gagal
total, terutama upaya menye-lamatkan keuangan negara. Jadi , harus ada
keseriusan dan tanggap terhadap kejahatan korupsi dari seluruh komponen, baik
itu dari pemerintah, aparat penegak hukum maupun dari masyarakat itu sendiri.
Demi mewujudkan Indonesia
bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, maka dari bawah dapat dilakukan dan
diberikan kesempatan untuk masyarakat terlibat dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi secara berkesinambungan. Peran serta masyarakat dimungkinkan
dalam kerangka penyelenggaraan negara yang bersih berdasarkan aturan Pasal 2
ayat (1) PP No. 68 Tahun 1999 dan
dilaksanakan dalam bentuk (a) hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
mengenai penyelenggaraan negara, (b) hak untuk memperoleh pelayanan yang sama
dan adil dari penyelenggaraan negara, (c) hak dalam menyampaikan saran dan
pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan penyelenggaraan negara, dan
(d) hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal (1) melaksanakan haknya
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c; (2) diminta hadir dalam proses
penyelidikan, penyidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi
atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Selain itu, Pasal 2 ayat (1) PP No. 71 Tahun 2000 menyatakan: “setiap
orang, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat berhak mencari,
memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana
korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan/atau
komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi”. ini memberikan kesempatan
seluas-luasnya untuk berperan aktif membantu aparat penegak hukum dan pemerintah
memberantas korupsi.
Selama ini upaya
pemberantasan korupsi telah dilakukan dengan berperan aktifnya aparat penegak
hukum,dan pemerintah namun kenyataannya korupsi justru mengalami peningkatan
drastris. Bila merujuk pada aturan yang ada, UU Korupsi telah memberikan sanksi
tegas bagi pelanggarnya, tapi masih juga banyak kasus korupsi. Oleh karenanya dalam
melakukan pemberantasan korupsi, ada baiknya jika kita menyimak pendapat IGM
Nurdjana. Menurut IGM Nurdjana, ada beberapa langkah strategis dalam berupaya
penangulangan korupsi, yakni:
1.
Memberdayakan integritas moral para penegak hukum
dalam penanggulangan korupsi khususnya dalam praktik bisnis yaitu dengan
memberdayakan sistem kesejahteraan atau membangun sistem politic risk dan economic risk yang standar terhadap
bahaya koruptor.
2.
Sosialisasi pemahaman korupsi dalam praktik bisnis
kepada para birokrat baik lembaga eksekutif maupun legislatif, penegak hukum
dan pelaku bisnis serta seluruh lapisan masyarakat.
3.
Penerapan sanksi hukum yang konsisten dan tegas namun
tetap dalam pilar-pilar HAM yakni dengan melakukan reward dan punish yang lebih keras lagi
bagi pelaku korupsi yang melibatkan birokrat.
4.
Menerapkan metode Carrot and Stick dalam penanggulangan
korupsi agar menimbulkan efek jera bagi pelaku-pelaku korupsi dan kepada pihak
lain agar tidak tertarik melakukan perbuatan korupsi.
5.
Membentuk jaringan penanggulangan korupsi dengan
memanfaatkan power dari institusi yang berwenang mengenai korupsi sampai ke tingkat
pedesaan atau kelurahan.
6.
Masing-masing aparat penegak hukum menerapkan tugas
pokok dan fungsi (tupoksi) penanggulangan korupsi secara proporsional dan
profesional sesuai dengan instrument hukum yang berlaku, serta harus memiliki
sistem pengendalian kasus-kasus korupsi sampai di tingkat daerah.
7.
Penggunaan sistem IT (information and
technology)
dalam penanggulangan korupsi baik di tingkat pusat maupun di tingkat daaerah
dengan memanfaatkan sistem komunikasi data yang berbasis IT tersebut.
8.
Mempublikasikan setiap hasil-hasil penanganan
kasus-kasus korupsi melalui media informasi publik baik media cetak maupun
elektronik, dan melalui public relation pada lembaga-lembaga pendidikan formal dan
non formal serta lembaga sosial kemasyarakatan
9.
Membangun kultur hukum masyarakat sehingga
masyarakat memiliki kepedulian atau tanggung jawab moral dalam penegakan hukum
dalam rangka penanggulangan korupsi
10. Memerankan lembaga formal
dan informal dalam penanggulangan korupsi. aparat lembaga pengawasan harus
disari melalui rekruitmen dengan sistem TPA (Transparan, Partisipatif, akuntable).[21]
Sedangkan menurut Teguh
Sulistia dan Aria Zurnetti dalam bukunya mengatakan, ada sepuluh langkah dalam
upaya pencegahan merebaknya perilaku KKN secara konseptual, guna tercipta suatu
pemerintahan yang bersih dan baik pada masa depan negeri ini. Langkah-langkah
tersebut yaitu:
1.
Adanya kesadaran hukum rakyat atau warga masyarakat
berperan serta memikul tanggung jawab bersama terhadap masa depan bangsa dan
negara, berupa pasrtisipasi politik dan kontrol sosial serta tidak bersikap
apatis, acuh tak acuh dengan merebaknya KKN. Rakyat harus mau melakukan pressure (tekanan) terhadap para
penyelenggara negara yang diduga KKN, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Kontrol sosial ini baru bisa efektif, apabila bisa dilaksanakan oleh DPR/DPRD
dan aparat penegak hukum yang benar-benar represent-tatif, jujur dan terpercaya
dalam menjalankan tugasnya dari tingkat daerah sampai tingkat pusat.
2.
Menanamkan pada pejabat publik (legislatif,
eksekutif yudikatif) dalam melaksanakan tugas negara sebagai amanah rakyat
adanya aspirasi nasional dalam rangka memulihkan ekonomi bangsa, yaitu
mengutamakan kepentingan nasional, kejujuran dan disiplin serta pengabdian pada
bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok atau
golongan.
3.
Para pemimpin dan pejabat negara memberikan teladan
yang baik dengan mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki rasa tanggung jawab
moral, sosial, dan hukum terhadap rakyat dan masyarakat daerahnya. Masyarakat
Indonesia masih melihat pola perilaku pemimpin sebagai panutan yang dapat
ditiru.
4.
Adanya sanksi hukum yang berat dengan kekuatan
yuridis oleh aparat penegak hukum untuk menindak/memberantas dan menghukum para
pelaku KKN tanpa sikap diskriminatif. Tiadanya kekuatan riil dan tiadanya
keberanian bertindak tanpa pandang bulu terhadap para pelaku KKN, semua
undang-undang, komisi pemberantasan KKN dan operasi penegakan hukum oleh
kepolisian dan kejaksaan menjadi mubazir dan hanya alat untuk “menakut-nakuti
tikus” saja. Pemberan-tasan KKN, seyogianya mampu mengurangi atau menghentikan
perilaku koruktif, siapa saja para pelakunya karena merugikan keuangan negara.
5.
Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi
pemerintahan melalui penyederhanaan jumlah instansi bawahannya. Instansi yang
membuka peluang KKN dan banyak berhubungan dengan masyarakat sebaiknya
dibubarkan atau dikurangi perannya. Selain itu, perlu pula ditingkatkan
koordinasi antardepertemen yang lebih baik disertai dengan sistem kontrol yang
ketat dan teratur terhadap administrasi pemerintahan, baik ditingkat pusat maupun
ditingkat daerah.
6.
Sistem penerimaan pegawai pemerintah berdasarkan “achivement” atau keterampilan teknis
dan bukan berdasarkan “ascription” atau kedekatan (kekerabatan) sehingga memberikan
keluasan bagi berkembangnya kolusi dan nepotisme. Selain itu, hendaknya
dilakukan pemecatan terhadap pegawai-pegawai yang jelas melakukan KKN, pengutan
liar, dan menerima suap bukan berupa memindahkan atau “mempromosikan” pelakunya
ketempat lain yang “kering” dari proyek pemerintah. Tindakan tegas ini dapat
menjadi “pelajaran” bagi pega-wai lain untuk melakukan perbuatan tercela.
7.
Adanya kebutuhan pada pegawai-pegawai negeri
nonpolitik yang profesional, terampil dan rajin demi kelancaran administrasi
pemerintahan ditunjang oleh gaji yang memadai bagi para pegawai dengan jaminan
masa depan yang baik, sehingga berkurang kecende-rungan untuk melakukan KKN.
8.
Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur,
bermoral, dan bersih. Kompleksitas hierarki administratif pemerintahan harus
disertai pula disiplin kerja yang tinggi, sedangkan penerimaan jabatan dan
penge-lolaan pendapatan atau belanja keuangan negara/daerah harus didistri-busikan
melalui norma-norma teknis dan transparan yang dapat dikontrol dan diketahui
oleh rakyat.
9.
Menciptakan sistem keuangan (budget) yang dikelola pejabat-pejabat
yang mempunyai tanggung jawab etis dan moral tinggi yang diikuti dengan sistem
kontrol efesien dan efektif. Selain itu, dalam menyelenggarakan sistem
pemungutan pajak, bea, cukai, dan retribusi harus jelas dan efektif
peruntukannya serta didukung dengan supervise yang ketat, baik ditingkat pusat
maupun daerah.
10. Pemeriksaan terhadap
kekayaan pejabat negara harus dilakukan sebelum, selama dan seusai menjabat
secara periodic dengan asas praduga tidak bersalah. Bagi kekayaan pejabat
negara yang statusnya tidak jelas, tidak dilaporkan dan diduga kuat hasil KKN,
maka harta tersebut dapat langsung disita oleh negara dan dipergunakan untuk
kesejahteraan rakyat.[22]
Dari kedua pendapat
diatas, yang terpenting dalam penanganan kasus korupsi adalah perilaku moral
dari setiap individu baik yang akan berbuat maupun yang telah berbuat korupsi.
siapa saja bisa terkena imbas dari perbuatan buruk tersebut. Oleh karenanya
kesadaran hukum, kepatuhan hukum dan moral merupakan hal esensi dalam
penanganan kasus korupsi. hukum yang buruk akan menjadi baik bila aparat
penegak hukum memiliki moral yang baik dan hukum yang baik akan menjadi buruk
bila aparat penegak hukum tidak memiliki moral yang baik. Menurut Teguh
Sulistia dan Aria Zurnetti beberapa langkah yang perlu diperhatikan agar penegakan hukum mencapai
sasaran untuk dapat memenjarakan pelaku atau pihak yang memiliki
kesempatan/peluang melakukan KKN sehingga rasa keadilan dan manfaat hukum
betul-betul dirasakan oleh masyarakat.
1.
Rivalitas kewenangan penyidikan KKN antara
kepolisan dan kejaksaan harus segera dihentikan agar tidak menimbulkan
tumpang tindih dalam melaksanakan kedua
instansi tersebut. Apabila terjadi tumpang tindih, pemberantasan KKN tidak
maksimal hasilnya. KPK harus mampu mengambil alih tugas penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan KKN, jika terbentuk pengadilan ad
hoc korupsi
di samping perlu kerjasama erat dengan pihak kepolisian dan kejaksaan dalam
pengawasan pada mekanisme kerja pejabat pemerintahan dan anggota DPR/DPRD.
2.
Dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan terhadap tersangka/terdakwa, petugas KPK harus menjaga jarak
sehingga tidak mudah disuap, diberi hadiah atau janji-janji muluk oleh pelaku
KKN. Semua itu bertujuan agar objektivitas dalam rangka penegakan hukum dapat
tercapai dengan maksimal dan koruptor yang bersalah dapat dihukum.
3.
Aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan
fungsinya untuk memberantas KKN harus profesional dan jujur untuk mengimbangi
kecanggihan dan kecerdikan koruptor. Persyaratan demikian harus dipenuhi agar
semua kesalahan dan perbuatan koruptor dapat dibuktikan di depan sidang
pengadilan sehingga para koruptor tidak divonis bebas oleh hakim.
4.
Petugas KPK diberi tugas, fungsi dan wewenang yang
jelas sebagai aparat penegak hukum terdepan dalam memberantas KKN, selain gaji,
tunjangan, sarana dan prasarana kerja yang memadai dalam menjalankan tugasnya.
5.
Perlu dukungan dan keberanian warga masyarakat
memberikan informasi dan kesediaan menjadi saksi. Sebaliknya, segera dibentuk
undang-undang perlindungan saksi sehingga memudahkan kerja KPK dalam penegakan
hukum terhadap KKN.[23]
Apa yang diungkapkan
diatas, semua itu untuk kebaikan bersama dalam melakukan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah merugikan masyarakat, keuangan
dan perekonomian negara Indonesia. Sehingga harus diantisipasi sedini mungkin,
jangan dibiarkan berlarut yang justru menumbuh suburkan korupsi itu sendiri di
Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
uraian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan, sebagai berikut:
- Korupsi merupakan
kejahatan transasional yang dikategorikan ke dalam extra ordinary
crime,
yang dibutuhkan penanganan secara cepat sehingga jika terbukti pelaku
bersalah, maka pelaku dapat dikenakan sanksi pidana dan di masukan kedalam
penjara serta mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsikan demi
melindungi negara dan warga masyarakat.
- Tiga komponen penting
dalam penegakan hukum yakni pemerintah, aparat penegak hukum dan
masyarakat. Dalam melakukan tugasnya, masing-masing harus profesional dan
tidak mudah terbujuk rayu akan janji manis koruptor yang justru akan
merugikan diri mereka sendiri.
B.
Saran
Berdasarkan
kesimpulan diatas, maka dapat disarankan sebagai berikut:
1.
Penanganan korupsi jangan saja bertolak dari
penanganan penal melainkan juga harus dari non penal, karena kejahatan korupsi
juga berkaitan dengan moral pelaku yang buruk.
2.
Dalam menjalankan tugasnya, hendaknya kinerja
mereka didukung sarana dan prasarana yang memadai agar terhindar dari bahaya
KKN.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Adib
Bahari, khotibul Usman. 2009. KPK: Komisi
Pemberantasan Korupsi Dari A Sampai Z. Cet. Pertama. Pustaka Yustisia.
Yogyakarta.
IGM.
Nurdjana. 2005. Korupsi Dalam Praktik Bisnis:
Pemberdayaan Penegakan Hukum, Program Aksi Dan Strategi Penanggulangan Masalah
Korupsi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Moh.
Hatta. 2010. Kebijakan Politik
Kriminal: Penegakan Hukum Dalam Rangka
Penanggulangan Kejahatan. Cet. Pertama. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Nyoman
Serikat Putra Jaya. 2008. Beberapa
Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana. Cet. Pertama. Citra Aditya
Bakti. Bandung.
Robert
B. Seidman. 1978. The State Law and
Development. St. Martin Press. New York.
Satjipto
Raharjo. 1991. Ilmu Hukum. Citra
Aditya Bakti. Bandung.
Sudarto.
1986. Kapita Selekta Hukum Pidana.
Alumni. Bandung.
Syed
Hussein Alatas. 1986. Sosiologi Korupsi.
LP3ES. Jakarta.
Teguh
Sulistia, Aria Zurnetti. 2011. Hukum
Pidana (Horizon Baru Pasca Reformasi). Cet. Pertama. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Peraturan
Perundang-Undangan
Republik
Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Republik
Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Republik
Indonesia. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Republik
Indonesia. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
tindak Pidana Korupsi
[1]
Korupsi menurut Pasal 1 butir 3 UU No. 28 tahun 1999 adalah tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang tindak pidana korupsi. jika merujuk pada ketentuan tersebut, maka dapat
diartikan bahwa pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun
2001 mengatur mengenai korupsi, yakni setidaknya mencakup segala perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang dan/atau korporasi secara melawan hukum yang
mengakibatkan kerugian keuangan dan perekonomian negara.
[2]
Kolusi menurut Pasal 1 butir 4 UU No. 28 tahun 1999 adalah permufakatan atau
kerjasama secara melawan hukum antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang
merugikan orang lain
[3]
Nepotisme menurut Pasal 1 butir 5 UU No. 28 tahun 1999 adalah setiap perbuatan
Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan
keluarga dan kroninya diatas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
[4]
Istilah KKN pertama kali dikemukakan oleh Amien Rais tahun 1995 terhadap perilaku
pejabat rezim Orde Baru yang menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri
sendiri, keluarga, kerabat dekat yang merugikan keuangan negara dan rakyat.
[5]
Teguh Sulistia, Aria Zurnetti, Hukum
Pidana (Horizon Baru Pasca Reformasi), Cet. Pertama, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2011, hal. 191.
[6]
Moh. Hatta, Kebijakan Politik
Kriminal: Penegakan Hukum Dalam Rangka
Penanggulangan Kejahatan, Cet. Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010,
hal. 63.
[7]
IGM. Nurdjana, Korupsi Dalam Praktik
Bisnis: Pemberdayaan Penegakan Hukum, Program Aksi Dan Strategi Penanggulangan
Masalah Korupsi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal. 144.
[8]
Robert B. Seidman, The State Law and
Development, St. Martin Press, New York, 1978, hal. 99.
[9]
Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa
Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana, Cet. Pertama, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2008, hal. 69.
[10] Ibid.
[11]
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana,
Alumni, Bandung, 1986, hal. 58.
[12]
Pasal 25 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
[13]
Nyoman Serikat Putra Jaya, Loc. Cit.
[14] Ibid., hal 70.
[15]
Teguh Sulistia, Aria Zurnetti, Op. Cit,
hal. 208
[16]
Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi,
LP3ES, Jakarta, 1986, hlm. 87.
[17] Teguh Sulistia, Aria Zarnetti, Op. Cit., hal. 209.
[18]
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 148.
[19]
Adib Bahari, khotibul Usman, KPK: Komisi
Pemberantasan Korupsi Dari A Sampai Z, Cet. Pertama, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, 2009, hal. 72-78.
[20]
Teguh Sulistia, Aria Zurnetti, Op. Cit,
hal. 210.
[21]
IGM. Nurdjana, Op. Cit., hal.
147-166.
[22]
Teguh Sulistia, Aria Zurnetti, Op. Cit,
hal. 212-214.
[23] Ibid., hal. 214-215.
Thanks Bray Infonya !!!
BalasHapusMampir juga ke sini ya !!! :
www.gajigratis.com
www.rifastore.net
www.tubeave.com
www.baitiket.com
www.iklantext.com
Ok, terimakasih atas kunjungannya dan semoga bermanfaat
BalasHapus