Minggu, 13 Januari 2013

Konsep Efektivitas Hukum Dalam Pemberantasan korupsi

-->
BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Salah satu agenda penting perjuangan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa adalah penghapusan praktek-praktek korupsi[1], kolusi[2], dan nepotisme[3] (KKN).[4] Tuntutan pemberantasan KKN semakin gencar dilakukan sejak lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan. Sebagian masyarakat menghendaki agar mantan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya segera diperiksa dan diadili  di pengadilan karena diduga telah melakukan praktek KKN yang merugikan negara. Sebagian lagi menganggap, Soeharto tidak perlu dibawa kemeja hijau karena ia telah berjasa kepada negara dan juga kurang lebih selama tiga puluh dua tahun ia memimpin Indonesia. Namun pada hakekatnya korupsi tetaplah korupsi yang harus dimintakan pertanggung-jawan kepada para pelakunya. Kolusi dan nepotisme merupakan bagian yang sangat erat dengan korupsi. Hampir semua lini kehidupan terjangkit wabah korupsi, mulai dari pejabat negara sampai kepada perangkat desa. Akibat terkena wabah tersebut, perbuatan yang dilakukan dapat merugikan negara maupun keuangan negara. Walaupun perbuatan yang dilakukan sama antara pejabat negara dengan orang dibawahnya, namun hasil yang diperoleh dari korupsi belum tentu sama.
Korupsi seakan mengakar dalam diri pribadi koruptor itu sendiri, yang mana bila akarnya dicabut sudah tentu dahannya pun akan ikut mati. Dengan kata lain, koruptor akan tumbuh subur jika moral dan sistem hukum belum bisa disatukan dan ditegakan atas rasa keadilan. Keadilan inilah yang menjadi salah satu tolok ukur dalam menegakan hukum. Sehingga hukum benar-benar diciptakan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan dan juga bersifat represif terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Namun fakta yang terjadi saat ini baik di media cetak maupun elektronik, justru pemberitaan mengenai korupsi semakin santer terdengar. Masyarakat masih memandang miris dan juga masih meragukan keseriusan pemerintah dan aparat penegak hukum khususnya kepolisian untuk memberantas korupsi.
Harus diakui bahwa korupsi di Indonesia sudah menjalar kesegala kehidupan, kesemua sektor, dan segala tingkatan, baik pusat maupun daerah. Hal ini disebabkan korupsi telah terjadi sejak puluhan tahun lalu yang dibiarkan saja berlangsung tanpa diambil tindakan yang memadai dari kacamata hukum khususnya hukum pidana. Banyaknya orang yang terlibat dan juga adanya sebuah kekuatan besar dibelakangnya, membuat korupsi menjadi sulit untuk diberantas sampai keakar-akarnya. Cara yang seperti ini sering dilakoni pelaku untuk melindungi diri dari jeratan hukum. Kekuatan besar selalu menopangnya sehingga para koruptor tidak takut lagi akan jeratan hukum. Ditambah lagi adanya guyonan yang menyatakan “asalkan ada uang semua dapat dibeli”.
Seperti realita yang terjadi saat ini, dimana para koruptor bebas untuk keluar masuk penjara ataupun dapat menikmati fasilitas yang lebih dalam penjara dibandingkan orang lainnya, asalkan membayar sejumlah uang dalam jumlah tertentu kepada oknum Lembaga Permasyarakatan. Ini menunjukan buruknya perilaku, moral aparat penegak hukum dan juga buruknya sistem hukum yang ada di Indonesia, sehingga dengan sangat mudah oknum aparat penegak hukum diperdaya oleh tipu daya segelintir orang tamak negeri ini untuk memberikan perlakuan khusus bagi mereka yang korupsi. Seharusnya aparat penegak hukum benar-benar melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagaimana yang diamanahkan kepadanya. Bukan menciptakan peluang kejahatan baru yang tersembunyi dibalik jeruji besi. Jika aparat penegak hukum sudah benar, walaupun hukumnya buruk sekalipun maka hasil yang dikeluarkan pun akan baik, tapi jika perilaku aparat penegak hukumnya buruk walaupun hukumnya baik, hasilnya akan tetap saja buruk. Oleh karena itu diperlukan perilaku aparat penegak hukum yang benar dan juga didukung oleh hukum yang benar, semua akan jauh lebih baik dari sebelumnya.
 Untuk itu dalam penyelesaian kasus korupsi harus benar-benar menjadi prioritas dari pemerintah, khususnya aparat penegak hukum yang menangani kasus korupsi dan juga seluruh komponen masyarakat sebab kasus korupsi selalu berhubungan dengan basic economic and economic life of the nation. Selain itu juga untuk menumbuhkan kepercayaan investor asing agar mau menanamkan modalnya di Indonesia yang pada akhirnya juga akan menguntungkan pemerintahan Indonesia sendiri dan dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru sehingga dapat mengurangi angka pengangguran. Perilaku korupsi tidak terjadi di pemerintah pusat saja melainkan telah merambah ke daerah-daerah baik di lembaga eksekutif maupun legislatif, dan yang lebih ironis korupsi itu selalu dilakukan oleh Pejabat Publik dengan cara abuse of power. Berbagai profesi seolah-olah berlomba melakukan korupsi dengan menggasak keuangan negara, para koruptor merasa tidak bersalah dan tidak takut terhadap “kutukan moral”.[5] Dan cap buruk dari masyarakat.
Berkaitan dengan itu, visi fungsi dan peranan hukum dalam pemba-ngunan nasional kini dan masa datang harus diarahkan untuk mengawal dan memelihara cita kesejahteraan bangsa dan keadilan serta dapat menjunjung tinggi perlindungan hak asasi setiap warga negara Indonesia dan penduduk pada umumnya. Berangkat dari visi tersebut, hukum harus difungsikan dan diperankan sebagai sarana perubahan untuk memperkuat perkembangan kemajuan yang telah dicapai oleh pemerintah dan bangsa Indonesia di seluruh sektor kehidupan masyarakat, baik kehidupan bidang politik, ekonomi, sosial, budaya maupun di dalam kehidupan masyarakat beragama. Sejalan dengan visi dan misi tersebut, tujuan hukum di Indonesia, bukan semata-mata mencapai kepastian hukum dan keadilan (tujuan klasik) melainkan juga bertujuan, memelihara keharmonisan dan kesejahteraan dalam kehidupan masyarkat secara merata sehingga dapat mencegah kesenjangan dan konflik-konflik sosial, politik dan ekonomi yang merugikan cita persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Karena tindak pidana korupsi berkaitan erat dengan ruangan gerak yang cukup luas. Maka penanggulangannya tidak hanya dilakukan dengan proses penegakan hukum saja, melainkan juga melakukan singkronisasi terhadap undang-undang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Korupsi merupakan kejahatan yang bersifat transnasional, maka kerjasama regional dan internasional dalam upaya pemberantasan korupsi juga perlu ditingkatkan.[6] Sehingga pada akhirnya hukum itu bisa diberlakukan sama terhadap para pelaku tindak pidana khususnya mengenai korupsi. jangan sampai ada anggapan bahwa hukum itu tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Ataupun hukuman itu diberlakukan hanya untuk orang yang tidak mampu, dan bagi orang yang mampu membayarnya mendapat keististimewaan tersendiri layaknya seorang raja, mendapatkan apa saja yang ia inginkan.
Sebagaimana dikutip oleh IGM. Nurdjana, ia mengatakan bahwa Hadisuprapto telah mengemukakan permasalahan korupsi masih saja kompleks karena tipologi (bentuk) dan jenis serta modus operandinya semakin berkembang dengan pola-poa baru. Ruang lingkup korupsi mencakup institusi sosial, politik, ekonomi, budaya (pendidikan, agama dan sebagainya), pertahanan, keamanan, dengan rentang waktu yang panjang: masa lalu, masa kini dan masa depan yang berkaitan dengan fungsi integritas hukum dan stratifikasi hukum pada semua strata institusi sosial.[7] Hukum harus mampu menjangkau para koruptor yang berlindung dibalik kekuasaan. Kalau tidak dengan demikian, masyarakat Indonesia bisa menghadapi krisis kepercayaan terhadap pemerintah, aparat penegak hukum dan kepada hukum itu sendiri. Jika itu terjadi, kemungkinan bakal ada permintaan pergerakan reformasi baru di Indonesia, seperti tahun 1998 silam.
Oleh karenanya, diperlukan suatu konsep agar hukum itu dapat berfungsi dengan efektif sehingga kegiatan yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi dapat dicegah sedini mungkin dan diberantas habis sampai keakar-akarnya serta dapat pula menyeret pelaku ke meja hijau untuk diadili. Ini akan menimbulkan efek jera kepada para pelakunya ataupun dapat manakuti orang lain agar tidak malakukan perbuatan korupsi. Namun untuk mencapai hal itu tidaklah mudah, diperlukan keseriusan seluruh komponen baik pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat untuk selalu berperan aktif jika mengetahui telah terjadinya tindak pidana korupsi oleh oknum yang menyalahgunakan wewenang yang menyebabkan merugikan keuangan negara.

B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis diuraikan diatas, dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti, sebagai berikut:
  1. Bagaimana konsep efektif hukum dalam pemberantasan korupsi?
BAB II
KONSEP EFEKTIF HUKUM DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI


Dalam rangka mengefektifkan hukum untuk memberantas korupsi, pembentuk undang-undang mengharapakan agar undang-undang mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta pada masyarakat umumnya. Demi terwujudnya pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyrakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka perlu dilakukan dan ditingkatkan secara terus menerus usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi yang biasanya diikuti dengan kolusi dan nepotisme dapat dikatakan sebagai suatu “the white collar crime” sekaligus economic crime yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan negara. Kegiatan tersebut mempunyai pengaruh yang luar biasa bagi kegiatan perekonomian dan pembangunan suatu negara yang pada gilirannya dapat menimbulkan dampak krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi harus semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Oleh karenanya kejahatan korupsi dapat dikategorikan sebagai extra ordinary crime. Hal ini terjadi akibat tiadanya kesadaran dan kepatuhan hukum pejabat penyelenggara negara yang mengarah pada tindakan deviance (pembangkangan) terhadap nilai-nilai dan sikap hidup individu yang baik.[8] Nilai-nilai itu adalah berupa norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Yang mana apabila norma tersebut tidak dipatuhi membuat hukum berjalan tersendat sehingga akan memperlambat proses pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Akibat negatif dari adanya tindak pidana korupsi sangat merusak tatanan kehidupan bangsa, bahkan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial masyarakat Indonesia.[9] Bagi Indonesia, KKN sudah merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara, karena kerugian yang dialami sangat besar dengan perbuatan para koruptor yang nyaris membuat bangkrut perekonomian negara, terutama ketika terjadi krisis moneter yang diikuti pula dengan krisis ekonomi pada tahun 1997. Sampai saat ini, perekonomian Indonesia belum pulih betul dari krisis ekonomi dibandingkan dari krisis yang dialami oleh semua negara Asia lainnya seperti Malaysia, Thailand, Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Filipina. Salah satu penyebab faktor krisis ini adalah akibat perilaku KKN para penyelenggara negara dari tingkat pusat sampai daerah yang sangat merugikan bagi kepentingan pembangunan nasional. Pemberantasan KKN menjadi masalah nasional yang harus dilakukan pemerintah sampai kapanpun guna dapat mewujudkan pemerintahan dan negara yang betul-betul bebas dari perilaku KKN.
Korupsi di Indonesia sudah bersifat sistemik dan endemik sehingga tidak saja merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, tetapi juga sudah melanggar hak-hak ekonomi dan sosial (economic dan social right) masyarakat secara meluas.[10] Dalam kejahatan ekonomi ini (termasuk KKN), pihak yang dirugikan adalah kepentingan kolektif atau komunitas, karena kejahatan ini merugikan keuangan negara dan perekonomian bangsa yang tentunya juga merugikan perekonomian rakyat. Artinya, pihak yang menjadi korban adalah negara dan rakyat. Kerugian lain yang dialami masyarakat berupa rendahnya pelayanan umum dari pemerintah, karena tiadanya biaya atau dana negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kejahatan korupsi pada beberapa negara juga dianggap sebagai pelanggaran HAM yang menyangkut dengan kepentingan rakyat banyak (publik). Ini disebabkan, kejahatan korupsi dapat merusak sendi-sendi peradaban dan nama baik suatu bangsa dalam pergaulan masyarakat internasional sehingga perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai “kejahatan kemanusiaan” (crime against humanity) yang harus memperoleh prioritas utama dalam pemberantasannya. Dalam hukum pidana Indonesia, delik korupsi termasuk dalam klasifikasi hukum pidana khusus yang diprioritaskan penanganannya oleh aparat penegak hukum ketimbang delik-delik yang bersifat umum.[11] Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.[12] Jika terdapat dua atau lebih perkara yang boleh oleh undang-undang ditentukan untuk didahulukan, maka penentu mengenai penentuan prioritas perkara tersebut diserahkan pada tiap lembaga yang berwenang disetiap proses peradilan.
Menurut Athol Noffitt, ia mengemukakan bahwa “sekali korupsi dilakukan apalagi bila dilakukan oleh pejabat-pejabat yang tinggi, maka korupsi itu akan tumbuh lebih subur”.[13] Lebih lanjut ia mengatakan “tiada kelemahan yang lebih besar pada suatu bangsa dari pada korupsi yang merembes ke semua tingkat pelayanan umum. Korupsi melemahkan garis belakang baik damai maupun perang”.[14] Perilaku buruk pejabat tinggi akan mempengaruhi kuantitas korupsi  dan akan semakin sulit diberantas. Perilaku tersebut dapat mengancam tingkat dan kualitas pelayanan umum yang dibutuhkan masyarakat, sehingga apabila itu terjadi maka perbuatan tersebut sangat merugikan kepentingan rakyat banyak. Walaupun negara selalu berbenah diri dalam menghadapi kejahatan korupsi, namun selalu ada celah bagi  penyelenggara negara dan pejabat daerah untuk tetap melakukan korupsi yaitu  karena adanya peningkatan sumber-sumber kekayaan negara dan daerah yang selama ini memang memberikan banyak harapan bagi koruptor. Sumber keuangan negara dan daerah dimanfaatkan oleh mereka yang mengelolanya ataupun pejabat yang memberikan pelayanan publik untuk memperkaya diri  sendiri dan juga orang lainnya termasuk korporasi.
Inilah salah satu kelemahan yang bangsa Indonesia hadapi sekarang. Seiring dengan itu, Teguh Sulistia, Aria Zurnetti, mengemukakan bahwa ada indikator dalam peningkatan aktifitas KKN selama ini. Indikator tersebut dapat dilihat dari tiga hal, yakni sebagai berikut:
Pertama, tidak adanya lembaga politik (partai politik, pemerintah (depdagri, Kementerian PAN, KPKPN) ataupun lembaga swadaya masyarakat) yang efektif dan mampu untuk mengontrol dengan ketat perilaku KKN para penyelenggara negara. Kedua, tidak adanya partisipasi partai politik yang signifikan dari sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya rakyat miskin, tokoh-tokoh masyarakat, baik di kota maupun desa untuk melakukan tekanan terhadap pemerintahan yang korup. Ketiga, tidak adanya lembaga hukum (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan) dengan sanksi hukum yang betul-betul mempunyai kekuatan riil dapat menyadarkan dan menjerakan perilaku KKN para penyelenggara negara.[15]

Sudah seharusnya setiap komponen maupun elemen yang berada ditingkat pusat dan di daerah yang mempunyai hubungan secara vertikal maupun horizontal memiliki kekuatan dan tekad yang serius untuk melakukan kerjasama, kordinasi dalam memberantas tindak pidana korupsi. Serta menerapkan sanksi yang tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi para pelaku yang melanggar ketentuan tersebut. Sehingga akan menimbulkan efek jera bagi koruptor dan juga menghindari perbuatan tersebut dilakukan oleh orang lain baik untuk saat sekarang maupun masa yang akan datang. Meskipun kejahatan korupsi sudah begitu parah dan masif, sehingga timbul istilah “korupsi sudah membudaya” dalam kehidupan suatu bangsa dengan tatanan hukum yang rapuh,[16] namun upaya penegakan hukum untuk memberantasnya seolah-olah mengalami kebuntuan. Bisa jadi disebabkan oleh banyaknya pelaku yang terlibat merupakan pejabat penting negara yang mempunyai kekuatan besar dibelakangnya dan juga adanya kesulitan dalam pembuktian bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seorang, kelompok orang ataupun korporasi yang merugikan keuangan negara dan masyarakat.
Penerapan asas beban pembuktian terbalik terbatas atau berimbang dalam Pasal 37 UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 memberikan pula kesempatan para tersangka/terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya memang tidak bersalah dengan mengemukakan bukti-bukti yang dimilikinya, sekurangnya kesulitan pembuktian di depan sidang pengadilan dapat meringankan tugas-tugas kejaksaan dalam upaya pembuktian kesalahan terdakwa. Efektivitasnya masih perlu dibuktikan dari sistem pembuktian yang baru diberlakukan dalam kasus-kasus mega korupsi yang belum tuntas sampai saat ini seperti Proyek Hambalang, Bank  Century, kasus Simulator SIM di tubuh polri dan lain sebagainya. Apabila mega korupsi ini diselesaikan dengan baik akan menjadi contoh bahwa penegakan hukum di Indonesia tidak lagi tebang pilih dalam penerapan hukumnya .
Dikaitkan dengan perkembangan hukum pidana dan reformasi hukum, tidak hanya harus memperhatikan hak-hak para tersangka/terdakwa, akan tetapi juga harus memperhatikan hak-hak korban. Artinya, kerugian yang dialami oleh negara dan rakyat harus dilindungi dengan baik dalam rangka mencapai tujuan nasional, yaitu “masyarakat adil dan makmur”, maka pemberantasan kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi demi mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Perilaku KKN pejabat publik sebagai elit penentu selama ini terbukti amat merugikan dalam pembangunan. Elit penentu yang mengemban citra ideal masyarakat akhirnya berubah menjadi kebencian masyarakat. Kini saatnya segenap kekuatan reformis berpacu untuk melawan korupsi, kolusi dan nepotisme.[17] Pemberantasan KKN harus sejalan dengan penegakan hukum yang tegas dan didukung pula dengan lembaga hukum yang kuat dan independen, tanpa itu, penegakan hukum sulit tercapai. Semua itu dimaksudkan agar kekuasaan yang diatur oleh hukum merupakan suatu kebebasan yang terkendali, baik isi, ruang lingkup, prosedur memperolehnya, semuanya ditentukan oleh hukum.[18]
Lembaga hukum yang khusus dibentuk untuk melakukan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi, sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun namanya saja yang seringkali berubah. Karena lembaga itu hampir bisa dikatakan dalam pemberantasan korupsi mengalami kegagalan. Seperti masa orde lama, tercatat beberapa kali dibentuk badan pemberantasan korupsi yakni Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dibentuk dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya dan lembaga yang dikenal dengan nama Operasi Budhi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963. Serta Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) yang menggantikan Operasi Budhi. Pada masa orde baru, setidaknya ada empat lembaga yang dibebani tugas untuk melakukan pemberantasan korupsi, yakni Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 228 tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967. Karena dianggap tidak serius memberantas korupsi, maka dibentuklah Komitte Empat berdasarkan Keputusan Presiden  No. 12 Tahun 1970 Tanggal 31 Januari 1970. Kemudian dibentuk lagi Operasi Tertib (Opstib) berdasarkan Instruksi Presiden No. 9 tahun 1977. Terakhir dihidupkannya kembali Tim Pemberantasan Korupsi “baru” pada tahun 1982 tanpa menerbitkan putusan presiden yang baru. Pada masa era reformasi dibawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie mengeluarkan UU No. 28 Tahun 1999 yang mengamanahkan Pembentukan Komisi Pengawasan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, maupun Lembaga Ombudsmen. Masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur), membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 namun melalui judicial review akhirnya TGPTPK ini dibubarkan karena berbenturan dengan UU No. 31 Tahun 1999. Kemudian dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka tugas KPKPN melebur ke dalam KPK.[19]
Sebagai contoh berupa pembubaran KPKPN dan meleburnya ke dalam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang pembentukannya berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 adalah dalam upaya mengurangi perilaku KKN pejabat publik. Pada satu sisi ada kerugian, tetapi dari sisi lain upaya pemberantasan KKN akan mempunyai nilai tambah berupa adanya kepastian hukum. Kerugian yang dialami KPKPN antara lain komisi ini sudah memiliki nama di hati masyarakat karena mampu mengungkapkan pejabat tidak jujur dalam melaporkan kekayaan-nya, pemberantasan KKN mengalami set back atau berjalan mundur karena  ketidakpercayaan masyarakat terhadap upaya pemberantasan KKN oleh pemerintah dan penegak hukum belum optimal selama ini. Di sisi lain, pembentukan KPK akan memiliki kekuatan pro iustitia untuk menuntut pejabat publik yang KKN kedepan sidang pengadilan bersama kepolisian dan kejaksaan. KPKPN tidak dianggap melanggar privacy pejabat publik yang diduga KKN dengan kejelasan kerjanya dalam pemberantasan KKN dalam payung hukum yang tepat.[20] Pemberantasan KKN terhadap para koruptor jika tidak ditunggangi dengan kepentingan politik akan mencapai rasa keadilan dan manfaat bagi warga masyarakat berupa menjerakan atau mengurangi perilaku KKN bagi para pejabat publik atau mereka yang mempunyai peluang melakukan KKN. Namun sayangnya, dewasa ini yang kita lihat justru korupsi selalu identik dengan kekuasaan politik. Apalagi korupsi terbesar saat ini berada dalam ranah politik, baik itu dari anggota dewan maupun dari pemimpin suatu wilayah. Sudah barang tentu, proses penyelesaiannya pun akan ada kepentingan tertentu yang terlindungi. Untuk memberantas KKN yang sudah “berurat dan berakar” dalam kehidupan elit warga masyarakat, diperlukan partisipasi penuh seluruh masyarakat berupa penyampaian barang bukti dan informasi yang jelas bila mengetahui telah terjadi tindak pidana korupsi. Tanpa adanya partisipasi dan dukungan penuh, segala usaha pemerintah, aparatur penegak hukum ataupun komisi-komisi yang dibentuk pemerintah untuk memberantas KKN akan gagal total, terutama upaya menye-lamatkan keuangan negara. Jadi , harus ada keseriusan dan tanggap terhadap kejahatan korupsi dari seluruh komponen, baik itu dari pemerintah, aparat penegak hukum maupun dari masyarakat itu sendiri.
Demi mewujudkan Indonesia bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, maka dari bawah dapat dilakukan dan diberikan kesempatan untuk masyarakat terlibat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi secara berkesinambungan. Peran serta masyarakat dimungkinkan dalam kerangka penyelenggaraan negara yang bersih berdasarkan aturan Pasal 2 ayat (1) PP No.  68 Tahun 1999 dan dilaksanakan dalam bentuk (a) hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara, (b) hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggaraan negara, (c) hak dalam menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan penyelenggaraan negara, dan (d) hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal (1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c; (2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, Pasal 2 ayat (1) PP No. 71 Tahun 2000 menyatakan: “setiap orang, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan/atau komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi”. ini memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berperan aktif membantu aparat penegak hukum dan pemerintah memberantas korupsi.
Selama ini upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan dengan berperan aktifnya aparat penegak hukum,dan pemerintah namun kenyataannya korupsi justru mengalami peningkatan drastris. Bila merujuk pada aturan yang ada, UU Korupsi telah memberikan sanksi tegas bagi pelanggarnya, tapi masih juga banyak kasus korupsi. Oleh karenanya dalam melakukan pemberantasan korupsi, ada baiknya jika kita menyimak pendapat IGM Nurdjana. Menurut IGM Nurdjana, ada beberapa langkah strategis dalam berupaya penangulangan korupsi, yakni:
1.      Memberdayakan integritas moral para penegak hukum dalam penanggulangan korupsi khususnya dalam praktik bisnis yaitu dengan memberdayakan sistem kesejahteraan atau membangun sistem politic risk dan economic risk yang standar terhadap bahaya koruptor.
2.      Sosialisasi pemahaman korupsi dalam praktik bisnis kepada para birokrat baik lembaga eksekutif maupun legislatif, penegak hukum dan pelaku bisnis serta seluruh lapisan masyarakat.
3.      Penerapan sanksi hukum yang konsisten dan tegas namun tetap dalam pilar-pilar HAM yakni dengan melakukan reward dan punish yang lebih keras lagi bagi pelaku korupsi yang melibatkan birokrat.
4.      Menerapkan metode Carrot and Stick dalam penanggulangan korupsi agar menimbulkan efek jera bagi pelaku-pelaku korupsi dan kepada pihak lain agar tidak tertarik melakukan perbuatan korupsi.
5.      Membentuk jaringan penanggulangan korupsi dengan memanfaatkan power dari institusi yang berwenang mengenai korupsi sampai ke tingkat pedesaan atau kelurahan.
6.      Masing-masing aparat penegak hukum menerapkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) penanggulangan korupsi secara proporsional dan profesional sesuai dengan instrument hukum yang berlaku, serta harus memiliki sistem pengendalian kasus-kasus korupsi sampai di tingkat daerah.
7.      Penggunaan sistem IT (information and technology) dalam penanggulangan korupsi baik di tingkat pusat maupun di tingkat daaerah dengan memanfaatkan sistem komunikasi data yang berbasis IT tersebut.
8.      Mempublikasikan setiap hasil-hasil penanganan kasus-kasus korupsi melalui media informasi publik baik media cetak maupun elektronik, dan melalui public relation pada lembaga-lembaga pendidikan formal dan non formal serta lembaga sosial kemasyarakatan
9.      Membangun kultur hukum masyarakat sehingga masyarakat memiliki kepedulian atau tanggung jawab moral dalam penegakan hukum dalam rangka penanggulangan korupsi
10.  Memerankan lembaga formal dan informal dalam penanggulangan korupsi. aparat lembaga pengawasan harus disari melalui rekruitmen dengan sistem TPA (Transparan, Partisipatif, akuntable).[21]

Sedangkan menurut Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti dalam bukunya mengatakan, ada sepuluh langkah dalam upaya pencegahan merebaknya perilaku KKN secara konseptual, guna tercipta suatu pemerintahan yang bersih dan baik pada masa depan negeri ini. Langkah-langkah tersebut yaitu:
1.      Adanya kesadaran hukum rakyat atau warga masyarakat berperan serta memikul tanggung jawab bersama terhadap masa depan bangsa dan negara, berupa pasrtisipasi politik dan kontrol sosial serta tidak bersikap apatis, acuh tak acuh dengan merebaknya KKN. Rakyat harus mau melakukan pressure (tekanan) terhadap para penyelenggara negara yang diduga KKN, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Kontrol sosial ini baru bisa efektif, apabila bisa dilaksanakan oleh DPR/DPRD dan aparat penegak hukum yang benar-benar represent-tatif, jujur dan terpercaya dalam menjalankan tugasnya dari tingkat daerah sampai tingkat pusat.
2.      Menanamkan pada pejabat publik (legislatif, eksekutif yudikatif) dalam melaksanakan tugas negara sebagai amanah rakyat adanya aspirasi nasional dalam rangka memulihkan ekonomi bangsa, yaitu mengutamakan kepentingan nasional, kejujuran dan disiplin serta pengabdian pada bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok atau golongan.
3.      Para pemimpin dan pejabat negara memberikan teladan yang baik dengan mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki rasa tanggung jawab moral, sosial, dan hukum terhadap rakyat dan masyarakat daerahnya. Masyarakat Indonesia masih melihat pola perilaku pemimpin sebagai panutan yang dapat ditiru.
4.      Adanya sanksi hukum yang berat dengan kekuatan yuridis oleh aparat penegak hukum untuk menindak/memberantas dan menghukum para pelaku KKN tanpa sikap diskriminatif. Tiadanya kekuatan riil dan tiadanya keberanian bertindak tanpa pandang bulu terhadap para pelaku KKN, semua undang-undang, komisi pemberantasan KKN dan operasi penegakan hukum oleh kepolisian dan kejaksaan menjadi mubazir dan hanya alat untuk “menakut-nakuti tikus” saja. Pemberan-tasan KKN, seyogianya mampu mengurangi atau menghentikan perilaku koruktif, siapa saja para pelakunya karena merugikan keuangan negara.
5.      Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintahan melalui penyederhanaan jumlah instansi bawahannya. Instansi yang membuka peluang KKN dan banyak berhubungan dengan masyarakat sebaiknya dibubarkan atau dikurangi perannya. Selain itu, perlu pula ditingkatkan koordinasi antardepertemen yang lebih baik disertai dengan sistem kontrol yang ketat dan teratur terhadap administrasi pemerintahan, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah.
6.      Sistem penerimaan pegawai pemerintah berdasarkan “achivement” atau keterampilan teknis dan bukan berdasarkan “ascription” atau kedekatan (kekerabatan) sehingga memberikan keluasan bagi berkembangnya kolusi dan nepotisme. Selain itu, hendaknya dilakukan pemecatan terhadap pegawai-pegawai yang jelas melakukan KKN, pengutan liar, dan menerima suap bukan berupa memindahkan atau “mempromosikan” pelakunya ketempat lain yang “kering” dari proyek pemerintah. Tindakan tegas ini dapat menjadi “pelajaran” bagi pega-wai lain untuk melakukan perbuatan tercela.
7.      Adanya kebutuhan pada pegawai-pegawai negeri nonpolitik yang profesional, terampil dan rajin demi kelancaran administrasi pemerintahan ditunjang oleh gaji yang memadai bagi para pegawai dengan jaminan masa depan yang baik, sehingga berkurang kecende-rungan untuk melakukan KKN.
8.      Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur, bermoral, dan bersih. Kompleksitas hierarki administratif pemerintahan harus disertai pula disiplin kerja yang tinggi, sedangkan penerimaan jabatan dan penge-lolaan pendapatan atau belanja keuangan negara/daerah harus didistri-busikan melalui norma-norma teknis dan transparan yang dapat dikontrol dan diketahui oleh rakyat.
9.      Menciptakan sistem keuangan (budget) yang dikelola pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis dan moral tinggi yang diikuti dengan sistem kontrol efesien dan efektif. Selain itu, dalam menyelenggarakan sistem pemungutan pajak, bea, cukai, dan retribusi harus jelas dan efektif peruntukannya serta didukung dengan supervise yang ketat, baik ditingkat pusat maupun daerah.
10.  Pemeriksaan terhadap kekayaan pejabat negara harus dilakukan sebelum, selama dan seusai menjabat secara periodic dengan asas praduga tidak bersalah. Bagi kekayaan pejabat negara yang statusnya tidak jelas, tidak dilaporkan dan diduga kuat hasil KKN, maka harta tersebut dapat langsung disita oleh negara dan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat.[22]

Dari kedua pendapat diatas, yang terpenting dalam penanganan kasus korupsi adalah perilaku moral dari setiap individu baik yang akan berbuat maupun yang telah berbuat korupsi. siapa saja bisa terkena imbas dari perbuatan buruk tersebut. Oleh karenanya kesadaran hukum, kepatuhan hukum dan moral merupakan hal esensi dalam penanganan kasus korupsi. hukum yang buruk akan menjadi baik bila aparat penegak hukum memiliki moral yang baik dan hukum yang baik akan menjadi buruk bila aparat penegak hukum tidak memiliki moral yang baik. Menurut Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti beberapa langkah yang perlu diperhatikan agar penegakan hukum mencapai sasaran untuk dapat memenjarakan pelaku atau pihak yang memiliki kesempatan/peluang melakukan KKN sehingga rasa keadilan dan manfaat hukum betul-betul dirasakan oleh masyarakat.
1.      Rivalitas kewenangan penyidikan KKN antara kepolisan dan kejaksaan harus segera dihentikan agar tidak menimbulkan tumpang  tindih dalam melaksanakan kedua instansi tersebut. Apabila terjadi tumpang tindih, pemberantasan KKN tidak maksimal hasilnya. KPK harus mampu mengambil alih tugas penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan KKN, jika terbentuk pengadilan ad hoc korupsi di samping perlu kerjasama erat dengan pihak kepolisian dan kejaksaan dalam pengawasan pada mekanisme kerja pejabat pemerintahan dan anggota DPR/DPRD.
2.      Dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tersangka/terdakwa, petugas KPK harus menjaga jarak sehingga tidak mudah disuap, diberi hadiah atau janji-janji muluk oleh pelaku KKN. Semua itu bertujuan agar objektivitas dalam rangka penegakan hukum dapat tercapai dengan maksimal dan koruptor yang bersalah dapat dihukum.
3.      Aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk memberantas KKN harus profesional dan jujur untuk mengimbangi kecanggihan dan kecerdikan koruptor. Persyaratan demikian harus dipenuhi agar semua kesalahan dan perbuatan koruptor dapat dibuktikan di depan sidang pengadilan sehingga para koruptor tidak divonis bebas oleh hakim.
4.      Petugas KPK diberi tugas, fungsi dan wewenang yang jelas sebagai aparat penegak hukum terdepan dalam memberantas KKN, selain gaji, tunjangan, sarana dan prasarana kerja yang memadai dalam menjalankan tugasnya.
5.      Perlu dukungan dan keberanian warga masyarakat memberikan informasi dan kesediaan menjadi saksi. Sebaliknya, segera dibentuk undang-undang perlindungan saksi sehingga memudahkan kerja KPK dalam penegakan hukum terhadap KKN.[23]

Apa yang diungkapkan diatas, semua itu untuk kebaikan bersama dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah merugikan masyarakat, keuangan dan perekonomian negara Indonesia. Sehingga harus diantisipasi sedini mungkin, jangan dibiarkan berlarut yang justru menumbuh suburkan korupsi itu sendiri di Indonesia.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
  1. Korupsi merupakan kejahatan transasional yang dikategorikan ke dalam extra ordinary crime, yang dibutuhkan penanganan secara cepat sehingga jika terbukti pelaku bersalah, maka pelaku dapat dikenakan sanksi pidana dan di masukan kedalam penjara serta mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsikan demi melindungi negara dan warga masyarakat.
  2. Tiga komponen penting dalam penegakan hukum yakni pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat. Dalam melakukan tugasnya, masing-masing harus profesional dan tidak mudah terbujuk rayu akan janji manis koruptor yang justru akan merugikan diri mereka sendiri.

B.     Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat disarankan sebagai berikut:
1.      Penanganan korupsi jangan saja bertolak dari penanganan penal melainkan juga harus dari non penal, karena kejahatan korupsi juga berkaitan dengan moral pelaku yang buruk.
2.      Dalam menjalankan tugasnya, hendaknya kinerja mereka didukung sarana dan prasarana yang memadai agar terhindar dari bahaya KKN.
 
-->
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Adib Bahari, khotibul Usman. 2009. KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi Dari A Sampai Z. Cet. Pertama. Pustaka Yustisia. Yogyakarta.
IGM. Nurdjana. 2005. Korupsi Dalam Praktik Bisnis: Pemberdayaan Penegakan Hukum, Program Aksi Dan Strategi Penanggulangan Masalah Korupsi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Moh. Hatta. 2010. Kebijakan Politik Kriminal:  Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan. Cet. Pertama. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Nyoman Serikat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana. Cet. Pertama. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Robert B. Seidman. 1978. The State Law and Development. St. Martin Press. New York.
Satjipto Raharjo. 1991. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung.
Syed Hussein Alatas. 1986. Sosiologi Korupsi. LP3ES. Jakarta.
Teguh Sulistia, Aria Zurnetti. 2011. Hukum Pidana (Horizon Baru Pasca Reformasi). Cet. Pertama. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi




[1] Korupsi menurut Pasal 1 butir 3 UU No. 28 tahun 1999 adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. jika merujuk pada ketentuan tersebut, maka dapat diartikan bahwa pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 mengatur mengenai korupsi, yakni setidaknya mencakup segala perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dan/atau korporasi secara melawan hukum yang mengakibatkan kerugian keuangan dan perekonomian negara.
[2] Kolusi menurut Pasal 1 butir 4 UU No. 28 tahun 1999 adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain
[3] Nepotisme menurut Pasal 1 butir 5 UU No. 28 tahun 1999 adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarga dan kroninya diatas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
[4] Istilah KKN pertama kali dikemukakan oleh Amien Rais tahun 1995 terhadap perilaku pejabat rezim Orde Baru yang menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, kerabat dekat yang merugikan keuangan negara dan rakyat.
[5] Teguh Sulistia, Aria Zurnetti, Hukum Pidana (Horizon Baru Pasca Reformasi), Cet. Pertama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 191.
[6] Moh. Hatta, Kebijakan Politik Kriminal:  Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan, Cet. Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 63.
[7] IGM. Nurdjana, Korupsi Dalam Praktik Bisnis: Pemberdayaan Penegakan Hukum, Program Aksi Dan Strategi Penanggulangan Masalah Korupsi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal. 144.
[8] Robert B. Seidman, The State Law and Development, St. Martin Press, New York, 1978, hal. 99.
[9] Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana, Cet. Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal.  69.
[10] Ibid.
[11] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal. 58.
[12] Pasal 25 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[13] Nyoman Serikat Putra Jaya, Loc. Cit.
[14] Ibid., hal 70.
[15] Teguh Sulistia, Aria Zurnetti, Op. Cit, hal. 208
[16] Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, LP3ES, Jakarta, 1986, hlm. 87.
[17] Teguh Sulistia, Aria Zarnetti, Op. Cit., hal. 209.
[18] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 148.
[19] Adib Bahari, khotibul Usman, KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi Dari A Sampai Z, Cet. Pertama, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hal. 72-78.
[20] Teguh Sulistia, Aria Zurnetti, Op. Cit, hal.  210.
[21] IGM. Nurdjana, Op. Cit., hal. 147-166.
[22] Teguh Sulistia, Aria Zurnetti, Op. Cit, hal. 212-214.
[23] Ibid., hal. 214-215.

2 komentar:

Silahkan tinggalkan komentar yang baik