Minggu, 27 November 2011

makalah sejarah lahirnya UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadillan HAM


BAB I
PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang Masalah
Sejak bergulirnya isu pelanggaran HAM berat baik secara individu maupun kelembagaan, muncul “kesan” dari masyarakat internasional bahwa Indonesia kurang peka terhadap masalah hak asasi manusia. Dengan adanya tanggapan seperti ini maka pemerintah Indonesia mengantisipasi dengan berbagai upaya seperti pembenahan baik secara hukum maupun kelembagaan. Serta dilakukan pula sejumlah kegiatan lain yang secara keseluruhan berupaya untuk meningkatkan kepekaan di kalangan masyarakat pada umumnya dan penyelenggaraan negara pada khususnya.
Pada masa Orde Lama, niat baik untuk menciptakan kondisi yang aman dan tentram bagi seluruh rakyat Indonesia tidak terpenuhi. Tamak kekuasaan mewarnai pemerintahan saat itu. Alih-alih mau buat aturan mengenai HAM tetap saja kepentingan-kepentingan golongan yang lebih diutamakan. Niat baik Soekarno tentang hal itu tidaklah kesampaian demi kekuasaan yang tetap ingin dipertahankan. Ditambah lagi, saat itu Indonesia baru menjadi bayi untuk sebuah negara yang baru terbentuk.
Pada masa orde baru, hanya kepentingan-kepentingan politik saja yang menonjol saat itu. Sehingga gerak-gerik masyarakat terbatas oleh kekuatan politik, otoriterisme dan militerisme. Hal ini terlihat dengan belum berjalannya demokrasi secara baik. Seperti tidak bebasnya mengeluarakan pendapat dimuka umum, kebebasan pers maupun kebebasan dalam organisasi dan sebagainya. Serta belum adanya orang yang melakukan reformasi secara terang-terangan akibat dari kekuasaan yang tak terbatas.
 Dengan bergulirnya rezim Soeharto dan diganti dengan era reformasi, pengaturan HAM mulai tampak jelas kearah mana HAM ini akan ditujukan. HAM tidak saja merupakan hak untuk berkumpul, berserikat dan berbicara (civil and political rights) tetapi juga meliputi hak sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Serta proses dalam penegakan pelanggaran HAM berat yang terjadi. Tampak jelas bahwa demikian kompleksnya permasalahan dan peluang pemberdayaan hak asasi manusia di Indonesia. Kompleksitas permasalahan ini memerlukan upaya penanganan serius dan sesegera mungkin. Berbagai pihak juga harus terlibat untuk berpartisipasi secara aktif demi mewujudkan konsep pemberdayaan itu secara komperehensif.
Sesuai dengan perkembangan zaman, Indonesia sebagai salah satu negara yang berkembang di dunia dan  juga merupakan salah satu anggota PBB maka mau tidak mau sebagai anggota PBB harus menerima untuk melakukan ratifikasi instrument HAM Internasional sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kebudayaan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia, menjamin pelaksanaan dan penegakan hukum atas hak asasi manusia maka perlulah dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia. Yang mana pengadilan tersebut akan memberikan perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat. Baik pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lampau, sekarang ataupun yang akan datang. Karena pelanggaran HAM berat tidaklah mengenal kadaluwarsa.
Dari uraian singkat diatas, penulis mencoba untuk menuangkannya kedalam bentuk makalah. Dengan mengambil judul “SEJARAH PERKEMBANGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA”

B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti, sebagai berikut:
  1. Bagaimana sejarah lahirnya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia?
  2. Bagaimana keeksistensian UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia kedepannya?
BAB II
PEMBAHASAN


A. SEJARAH LAHIRNYA UU NO. 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM

1.      Pengertian HAM
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, hak asasi adalah hak dasar yang dimiliki manusia.[1] Ini merupakan anugerah pencipta untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemulian diri serta keharmonisan lingkungan. Hak dasar ini secara kodrati melekat pada diri manusia bersifat universal dan langgeng. Oleh karena itu hak ini harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. HAM (Hak Asasi Manusia) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah,, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martat manusia.[2]

2.      Perkembangan HAM dalam peradaban dunia
Dalam sejarah peradaban dunia, kehidupan manusia banyak diwarnai oleh kenyataan adanya pelecehan ataupun pengingkaran terhadap HAM. Tindakan pengingkaran terhadap HAM telah membangkitkan kesadaranakan pentingnya dokumen yang berisi pengakuan dan jaminan HAM. Dokumen dan pengakuan HAM yang menggambarkan perjuangan rakyat melawan kezaliman penguasa tersebut antara lain:
  1. Magna Charta Liberatatum (1251)
Dokumen ini lahir di Inggris pada masa Raja John Lackland (1199-1218). Dokumen ini berisi ketentuan yang membatasi kekuasaan raja dan sekaligus melindungi HAM. Pembatasan dalam dokumen ini berupa larangan antara lain: untuk melakukan penahanan, penghukuman dan perampasan harta benda secara sewenang-wenang. Dokumen ini pada dasarnya berisi penegasan hak-hak para bangsawan di lingkungan raja, agar raja tidak bertindak sewenang-wenang terhadap mereka.
  1. Habes Corpus Act (1676)
Dokumen ini juga lahir di Inggris pada masa Raja Charles II. Dokumen ini memuat hak asasi para tersangka untuk tidak diperlakukan sewenang-wenang. Kecuali menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terhadap ketentuan bahwa orang yang ditahan harus sudah dihadapi kepada seorang hakim (diadili) dalam tenggang waktu 3 (tiga) hari. Begitupun dengan alasan penangkapan yang harus diberitahukan kepada tahanan oleh para petugas.
  1. Bill Right of Virginia (1676)
Dokumen yang berisi daftar HAM ini lahir di Virginia, Amerika Serikat. Ketika Amerika Serikat terbentuk, dokumen ini menjadi bagian dari UUD Amerika Serikat 1791.
  1. Declaration des Droits de’I Homme et du Citoyen (1789)
Deklarasi ini pernyataan tentang HAM dan Warga Negara sebagai Revolusi Perancis.

3.      Kelahiran dan perkembangan konstitusi terhadap HAM di Indonesia
  1. UUD 1945 dan pengaturan mengenai HAM
Berdasarkan fakta sejarah, BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mempunyai peran penting terhadap lahirnya UUD 1945. Semenjak terbentuknya BPUPKI pada tanggal 29 April 1945, BPUPKI telah melaksanakan  sebanyak 2 (dua) kali sidang. Sidang pertama dilaksanakan  tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945 dan sidang kedua tanggal 10-17 Juli 1945. Dalam sidang tersebut BPUPKI dibagi menjadi tiga kepanitiaan kecil, yang mana akan membahas tiga agenda penting, yakni perihal UUD, keuangan dan perekonomian serta pembelaan tanah air.
Mengawali sidang pertamanya mengenai UUD tanggal 11 Juli 1945, masih diwarnai diskusi agar Mr. Yamin dimasukan kedalam anggota pembahas UUD, namun pada akhirnya ditolak. Ketua BPUPKI, Radjiman Widyodiningrat, sebelumnya telah memutuskan agar Mr. Yamin masuk menjadi anggota pembahas keuangan dan perekonomian yang diketuai oleh Moh. Hatta. Hal ini membuat Mr. Yamin kecewa dan mengatakan “Tuan Ketua, saya menyesal sekali tidak dapat menerima keanggotaan dalam panitia keuangan, karena kurang pengetahuan, jadi saya tidak ada sumbangan buat panitia itu. Saya tidak menerima”.[3]
Dengan tidak ikutsertanya Mr. Yamin secara aktif dalam perancangan UUD, maka pemikiran rancangan UUD tersebut lebih banyak disumbangankan oleh Soepomo yang pada waktu itu menjabat sebagai ketua panitia kecil atas usulan Wangsonagoro. Pada 15 Juli 1945, dalam rapat pleno pembahasan UUD, Soekarno dan Soepomo menyampaikan hasil laporan khususnya mengenai HAM.  Mereka menyatakan menolok jikalau HAM dimasukan kedalam UUD karena Indonesia harus dibangun dengan negara kekeluargaan bukan faham individualisme dan liberalisme. Berbeda dengan pandangan Moh. Hatta dan Mr. Yamin yang menginginkan masalah HAM secara eksplisit dimasukan dalam UUD. Mereka mengkhawatirkan bila HAM tidak dimasukan kedalam UUD, pada akhirnya hak rakyat tidak akan terlindungi dan negara menjadi negara kekuasaan.
Perdebatan di dalam BPUPKI  pada 16 Juli 1945 menghasilkan sebuah kompromi sehingga diterimanya beberapa ketentuan dalam UUD. Selang waktu sebulan lebih tepatnya 18 Agustus 1945 atau sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia PPKI menggelar sidang pertamanya. Dalam putusannya PPKI mengesahkan RUUD menjadi UUD dengan beberapa perubahan dan tambahan. Menurut Soekarno UUD yang dibuat ini merupakan UUD kilat, ia berharap bila tiba waktunya UUD ini dibuat lebih lengkap dan sempurna,
Dilihat dari segi kandungannya[4] ada beberapa aspek penting yang terdapat dalam UUD 1945, antara lain: sebagai falsafah bangsa, idiologi negara dan merupakan sumber hukum tertinggi. HAM yang termaktub dalam UUD  1945 lahir sebagai konsensus dari proses pemufakatan yang berlangsung secara damai. Berbeda sekali dengan konseptualisasi HAM bagi masyarakat barat yang lahir sebagai hasil dari pertentangan dan perlawanan atas hegemoni kekuasaan. Pengaturan HAM dalam UUD di Indonesia relatif telah ditegaskan, meskipun dalam pasalnya yang terkadang sumir.
Berdasarkan materi muatan HAM yang terdapat dalam UUD 1945, setidaknya ada tiga macam kelompok yang menyingkapi jaminan UUD 1945 atas HAM, yakni:
1.      Kelompok pertama, mereka berpandangan bahwa UUD 1945 tidak memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif. Karena istilah HAM tidak ditemukan secara eksplisit didalam Pembukaan, Batang Tubuh, maupun Penjelasannya. Dalam UUD 1945 hanya ditegaskan hak dan kewajiban warga negara serta hak-hak DPR. Bahkan tidak berbicara HAM universal kecuali dalam dua hal, yaitu Sila Keempat yang meletakan asas “Kemanusiaan yang adil dan beradap” dan Pasal 29 yang menjamin “ Kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah”.
Antara HAM dan HAW (hak warga negara)  mempunyai perbedaan yang sangat jelas. Hal ini terlihat dari dari subtansi materi yang dikandungnya. HAM mempunyai pemahaman bahwa secara kodrati manusia itu, dimanapun, mempunyai hak bawaan yang tidak bisa dipindah, diambil,atau dialihkan karena HAM merupakan hak mutlak seorang manusia. Sedangkan HAW hanya bisa diperoleh bila seseorang itu mempunyai status sebagai warga negara. Kelompok ini dipelopori oleh Mahfud MD dan Bambang Sulistio.
2.      Kelompok kedua, mereka berpandangan UUD 1945 memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif. Karena HAM tersirat dalam UUD 1945 bersumber pada falsafah dasar dan pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila. Pancasila merupakan nilai-nilai HAM yang hidup dalam kepribadian bangsa.
Bila dicermati dengan saksama, baik dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun Penjelasan setidaknya ada 15 (lima belas) prinsip hak asasi manusia, yakni sebagai berikut: (1) hak untuk menentukan nasib sendiri; (2) hak akan warga negara; (3) hak akan kesamaan dan persamaan dihadapan hukum; (4) hak untuk bekerja; (5) hak akan hidup layak; (6) hak untuk berserikat; (7) hak untuk menyatakan pendapat; (8) hak untuk beragama; (9) hak untuk membela negara; (10) hak untuk mendapatkan pengajaran; (11) hak akan kesejahteraan sosial; (12) hak akan jaminan sosial; (13) hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan; (14) hak mempertahankan tradisi budaya; dan (15) hak mempertahankan tradisi daerah.[5] Dengan demikian kepentingan hak asasi individu diletakan dalam rangka kepentingan masyarakat. Hak asasi individu ini diakui subtansinya, namun dibatasi jangan sampai melanggar hak individu lainnya ataupun hak orang banyak/masyarakat. Kelompok ini dipelopori oleh Soedjono Sumobroto, Marwoto, Azhary dan Dahlan Thaib.
3.      Kelompok ketiga, mereka berpandangan bahwa UUD 1945 hanya memberikan pokok-pokok jaminan atas HAM saja. Mereka berpendapat HAM itu ada namun ketentuannya tidak dicantumkan secara sistematis. Dalam UUD 1945 hanya terdapat 4 (empat) pasal saja,yaitu Pasal 27,28,29 dan 31. Kelompok ini dipelopori oleh Kuntjoro Purbopranoto, G. J. Wolhoff dan M. Solly Lubis.
Semakin tampak jelaslah perbedaan pandangan dari tiap-tiap kelompok. Perbedaan pandangan ini timbul karena mereka menilai subtansi muatan HAM dari tolok ukur yang berbeda. Pengaturan HAM dalam UUD 1945 tidak dinyatakan secara tegas sehingga seringkali muncul interpretasi terhadap kualitas muatan dan jaminan perlindungannya. Walaupun demikian setidaknya UUD 1945 dapat dikatakan sebagai UUD modern pada saat itu atas pemikiran pendiri negara yang tergabung dalam BPUPKI dan PPKI. Hal ini dikarenakan jauh sebelum perumusan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) tanggal 10 Desember 1948, para pendiri bangsa telah berhasil memformulasikannya terlebih dahulu.
Perlu diingat bahwa UUD 1945 yang berlaku adalah UUD “kilat”. Dengan kenyataan itu para pendiri negara berupaya secepat dan semaksimal mungkin untuk menyelesaikannya. Ini merupakan syarat minimal berdirinya sebuah negara. Namun tetap saja faktor sosio-politik yang berkembang saat itu banyak sedikit mempengaruhi perjalanan UUD 1945. UUD ini tidak bertahan lama karena setelah beberapa tahun digantikan dengan Konstitusi RIS. UUD 1945 berlaku sebagai konstitusi negara Republik Indonesia dari tanggal 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949.

  1. Konstitusi RIS dan pengaturan mengenai HAM
Pascakekalahan Jepang tanpa syarat atas Sekutu memberikan implikasi politik bagi Indonesia. Sinyal inilah yang diterima baik oleh Belanda untuk menguasai Indonesia ketiga kalinya. Belanda secara sepihak mendirikan kota-kota di Indonesia. Akibatnya perang tak terbendung, pemerintah Indonesia pun berupaya mempertahankan kembali derajat dan martabat yang telah diraihnya. Perang yang terus berkecambuk membuat Belanda melakukan politik memecah belah (devide et empera) negara kesatuan Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat. Rekayasa ini terus diperankan dengan sebaik mungkin agar kepentingan Belanda dan ketergantungan Indonesia semakin kuat.
Gejolak perang yang tak kunjung henti membuat PBB turun tangan dan menyarakan agar penyelesaian perang ini dilakukan dengan jalan damai, yakni dilakukan konferensi dengan melibatkan BFO (Byeenkomst voor FederalOverleg/Federal Consultative Assembly) sebuah ikatan negara bagian bentukan Belanda sebagai pihak ketiga. Konferensi ini berlangsung di Den Hag pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan 2 November 1949 dikenal dengan istilah Konferensi Meja Bundar (KMB). Dalam KMB menghasilkan tiga hal mendasar, yaitu: pertama, pembentukan Negara Indonesia Serikat; kedua, penyerahan kedaulatan pada Republik Indonesia Serikat;  ketiga, pembentukan UNI-RIS Belanda.

Dengan hasil tersebut, maka tanggal 27 Desember Ratu Juliana dihadapan ketiga delegasi Menandatangani Akta Penyerahan Kedaulatan dan pengesahan Konstitusi RIS, yang kemudian berakibat pada berlakunya persetujuan hasil KMB dan Konstitusi RIS. Dalam Konstitusi RIS hanya terdapat Pembukaan dan Batang Tubuh yang terdiri dari 6 bab dan 197 pasal. Sifat Konstitusi RIS hanya sementara, ini ditegaskan dalam Pasal 186 yang berbunyi, “ Konstituante ( Sidang Pembuat Konstitusi)  bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat”.

Dengan berlakunya Konstitusi RIS maka berlaku pula aturan didalamnya. Mengenai materi muatan HAM  dalam Konstitusi RIS diatur dalam dua bagian yaitu bagian 5 dan 6 BAB I.  Konstitusi RIS sangat dipengaruhi oleh Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (UDHR/DUHAM). Dalam Konstitusi RIS tidak ditemukan kata HAM , namun ada tiga kalimat yang dipergunakan kesemuanya itu menunjukan kewajiban manusia dan negara. Ini sebagai wujud dari jaminan Konstitusi RIS terhadap diri pribadi, kelompok, keluarga dan sebagai warga negara. Ketiga kata tersebut, yakni setiap/segala/sekalian orang/siapapun/ tidak seorangpun, setiap warga negara dan berbagai kata yang menunjukan adanya kewajiban asasi manusia dan negara.

Sebagian besar pasal-pasal yang terdapat dalam Konstitusi RIS mengadopsi ketentuan UDHR/DUHAM PBB tahun 1948. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa HAM dalam Konstitusi RIS menempati posisi penting sehingga terdapat jaminan dan perlindungan yang maksimal. Meskipun sifatnya sementara sesuai Pasal 186 namun Konstitusi RIS ini menunjukan komitmen akan perlindungan HAM.

  1. UUDS 1950 dan pengaturan mengenai HAM
Semenjak Indonesia berubah bentuk negara menjadi Republik Indonesia Serikat dengan Konstitusi RIS. Wilayah-wilayah Indonesia dalam negara bagian menciptakan disharmonisasi dikalangan masyarakat. Bahkan, pemerintah yang bersifat federal ini telah melakukan revolusi dibeberapa wilayah Indonesia. Oleh karena itu, dengan semangat dan keinginan besar rakyat Indonesia meminta bentuk negara dikembalikan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Maka pada tanggal 19 Mei 1950 berlangsung kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia Serikat yang diwakili oleh Moh. Hatta dan Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh A. Halim. Kesepakatan tersebut intinya persetujuan terbentuknya pemerintahan baru dan pembubaran Republik Indonesia Serikat dan pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah baru yang dimaksud adalah kembalinya Indonesia kepada negara kesatuan. Ini menjadi bukti sejarah lahirnya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950).
Peringatan HUT RI yang kelima tanggal 17 Agustus 1950 menjadi momentum yang sangat berarti, ini menandakan terjadinya perubahan ketatanegaraan Indonesia.  Dengan segala konsekuensi, Konstitusi RIS berubah menjadi UUDS. Wujud dari konsekuensi ini Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. UUDS 1950 ini merupakan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang secara formil sebuah perubahan Konstitusi Sementara RIS.
UUDS 1950 ini menjadi landasan dasar untuk pembentukan sebuah negara kesatuan Indonesia. Dilihat dari sudut bentuk, UUDS 1950 merupakan bagian dari UU Federal No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (LNRIS Tahun 1950 No. 56), sebab pemberlakuannya ditetapkan dalam UU tersebut. Dengan demikian fungsi UU No. 7 Tahun 1950 hanya memberlakukan UUDS , atau lebih tegas lagi hanya mengubah Konstitusi RIS menjadi UUDS. Dengan sendirinya setelah UUDS 1950 ini berlaku, maka tugas UU No. 7 Tahun 1950 yang hanya berlaku sekali menjadi selesai.
UUDS 1950 terdiri dari 6 Bab dan 146 pasal. Sebagaimana telah ditegaskan pada paragraf diatas bahwa materi muatan UUDS 1950 adalah perubahan dari Konstitusi RIS, maka perihal mengenai HAM juga memiliki kesamaan secara umum, terdapat juga perbedaan yang prinsipil. Perbedaan tersebut diantaranya. Pertama, hak dasar mengenai kebebasan agama,  keinsyafan batin dan pikiran meliputi kebebasan bertukar agama atau keyakinan, dan sebagainya sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 Konstitusi RIS oleh Pasal 18 UUDS 1950, pernyataan meliputi kebebasan bertukar agama atau keyakinan tidak ditegaskan lagi. Kedua, Pasal 21 UUDS 1950 mengatur hak demonstrasi dan mogok yang sebelumnya tidak terdapat pada Konstitusi RIS.
Berdasarkan Pasal 26 ayat (3) UUDS 1950, hak milik itu adalah fungsi sosial. Dengan ketentuan ini maka semakin jelas bahwa UUDS 1950 tidak saja mengandalkan hak-hak asasi secara individu saja, melainkan juga penekanan kepada fungsi dan manfaat sosial. Pencantuman HAM sebagai pribadi, keluarga, warga negara, dan kewajiban asasi baik oleh pribadi maupun negara dalam UUDS 1950 ini sangat sistematis. Bahkan, dengan masuknya beberapa pasal perubahan atas Konstitusi RIS 1949, dapat dikatakan bahwa UUDS 1950 membuat terobosan baru dalam jaminan HAM yang sebelumnya belum pernah diatur dalam HAM PBB 1948 dan Konstitusi RIS 1949.
UUDS 1950 ini berlaku tahun 1950-1959, berbeda dengan dua konstitusi sebelumnya. Dalam UUDS 1950 ini sifat kesementaraannya lebih eksplisit ditegaskan. Kesementaraan ini disebabkan bahwa legalitas formal proses perumusan sebuah UUD masih diserahkan pada lembaga yang representatif dan memiliki otoritas. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 134 Konstitusi RIS menyatakan bahwa, konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama pemerintah menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang dasar sementara ini. Untuk pelaksanaan tersebut maka dilakukan pemilihan umum (general election) pada tahun 1955, ini merupakan pemilihan umum pertama sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia.

  1. Kembali kepada UUD 1945 dan pengaturan mengenai HAM
Berdasarkan hasil pemilu 1955, sebenarnya konstituante diberikan kewenangan konstitusional untuk menyusun sebuah UUD yang tepat sebagaimana diamanatkan dalam Bab V Pasal 134 UUDS 1950, Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama pemerintah menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang dasar sementara ini. Kondisi Indonesia yang masih bergejolak membuat sosial-politik dan keamanan Indonesia dalam keadaan memprihatinkan. Bahkan diperkeruh dengan berbagai bentuk pemberontakan yang mengatasnamakan kepentingan lokal dan pertarungan ideologis anatar negara dan masyarakat maupun pertarungan kekuasaan di lingkungan Angkatan Darat.
Maka, pada tanggal 10 November 1956 sampai 2 Juni 1959 Majelis Konstituante yang berjumlah 544 orang mengadakan sidang. Dalam sidang ini membahas tiga agenda penting, yakni: pertama, pembahasan dasar negara pada tahun 1957; kedua, pembahasan mengenai HAM pada tahun 1958; ketiga, pembahasan mengenai pemberlakuan kembali UUD 1945 pada tahun 1959. Dengan waktu yang cukup lama sangat dimustahilkan bila tidak terjadi perdebatan hangat dalam tubuh Konstituante.
Kondisi yang kian memprihatinkan menimbulkan reaksi tersendiri di masyarakat dan pemerintah. Desakan dari luar konstituante meminta agar Majelis Konstituante menghentikan segala pembahasan dalam sidang dan menyatakan kembali kepada UUD 1945. Ide ini muncul mengingat secara formal, UUDS 1950 menganut sistem pemerintahan liberal, maka agar diperoleh kembali sistem pemerintahan dalam bentuk NKRI haruslah UUD 1945 menjadi pilihan satu-satunya. Dengan munculnya ide ini menimbulkan reaksi di kalangan Majelis Konstituante.
Selaku presiden, Soekarno, melalui rapat Dewan Menteri tanggal 19 Februari 1959 di Bogor telah mengambil keputusan dengan suara bulat mengenai pelaksanaan Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno menegaskan kembali kepada UUD 1945. Demokrasi Terpimpin didasarkan pada aliansi antara partai-partai (termasuk PKI), tentara dan presiden sebagai pihak ketiga. Keputusan Dewan Menteri ini  merupakan langkah awal kearah pemberlakuan UUD 1945. Dalam putusannya mengatakan bahwa UUD 1945 lebih menjamin terlaksananya demokrasi terpimpin. Namun, semuanya mengandung kelemahan-kelemahan. Sebab segala sesuatu akan tergantung dari presiden yang mempraktikan politik perimbangan. Meskipun demikian, dalam keputusan Dewan Menteri harus dipertahankan secara keseluruhan dan mengenai perubahan UUD 1945 dikembaliokan pada pernyataan Pasal 37 UUD 1945.
Dengan belum kondusifnya perpolitikan Indonesia serta terjadinya petarungan faham dan ego membuat Presiden Soekarno menyatakan negara dalam kondisi darurat (Staat van Oorlog en Beleg). Maka dengan alasan itu presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan: pertama, pembubaran Konstituante; kedua, memberlakukan kembali UUD 1945, dan ketiga, penarikan kembali UUD 1950 dan, dalam waktu sesingkat-singkatnya, mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan UUD 1945. Keluarnya dekrit ini membuat kembali berlakunya UUD 1945 dan menyatakan UUD 1950 tidak berlaku lagi.
Berlaku kembalinya UUD 1945 tidak membuat materi muatan HAM berubah.  Meskipun diakui bahwa materi muatan HAM sangat sumir. Kehendak Dekrit presiden 5 Juli 1959  mengakibatkan secara serta merta apa yang tertuang dalam UUD 1945 pada saat pertama kali berlaku semenjak Proklamasi Kemerdekaan RI menjadi sepenuhnya berlaku kembali sejak dikeluarkan Dekrit  presiden tersebut. Ini berarti jaminan konstitusi atas HAM tidak sempurna dan tidak tegas. Pengaturan HAM dalam UUD 1945 sangat tergantung sekali pada konfigurasi politik tertentu. Jika konfigurasi politik demokrasi, maka HAM memperoleh tempat dan implementasi yang relatif proporsional, tetapi jika konfigurasi politik bekerja dibawah payung otoriter maka HAM pun akan mendapatkan perlakuan yang buruk. Tidak saja mengenai HAM, tetapi dalam segenap peraturan dibawahnya. Kesemuanya itu sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik tertentu.  Kebijakan penguasa adalah manifestasi dari format dan paradigma pemerintahan yang dijalankan, demokratis atau mengarah kepada otoritarianisme.
  1. Amandemen UUD 1945 dan pengaturan mengenai HAM
Isu mengenai perubahan UUD 1945 bukanlah isu yang baru berkembang. Hal ini terlihat dari histori perubahan UUD merupakan wacana penting bahkan menjadi perdebatan yang hangat para pendiri bangsa. Karena UUD 1945 harus benar-benar dapat sesuai dengan tingkat perubahan zaman Indonesia.  Isu perubahan UUD 1945 pertama kali muncul pada sidang BPUPKI tanggal 11 Juli 1945 yang dikemukakan oleh S. Kolopaking. Kemudian ide perubahan tersebut dilanjutkan oleh Iwa Kusuma yang mengatakan sebagai berikut:
. . . maka benarlah bahwa ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Akan tetapi meskipun demikian, ada syarat-syarat dari suatu Undang-Undang Dasar, yang tidak boleh dilupakan. . . salah satu perubahan yang akan saya tambahakan, yang saya usulkan tentang perubahan Undang-Undang Dasar.  Disini belum ada artikel tentang perubahan Undang-Undang Dasar dan ini menurut pendapat saya masih perlu diadakan.
Berdasarkan hal tersebut, Soepomo memberikan jawaban secara langsung. Ia mengatakan seabagai berikut:
Berhubungan dengan usulan tuan Iwa itu, memang harus ada Bab XVI, tentang perubahan Undang-Undang Dasar. Yaitu, yang memuat pasal baru ayat (1) yang menentukan, bahwa untuk mengubah Undang-Undang Dasar, sekurang-kurangnya 2/3 anggota harus hadir. Jadi, untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari banyaknya anggota harus hadir dalam sidang. Dan, ayat (2) bahwa putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada yang hadir.[6]
Pada masa Orde Lama maupun Orde Baru niat baik untuk melahirkan formulasi Undang-Undang Dasar yang baru dan komperehensif tidak pernah tercapai. Hal ini ditandai dengan rezim yang berkuasa pada masing-masing periode. Mereka berupaya mempertahankan tampuk kekuasaan dengan cara mensakralkan Undang-Undang Dasar. Sudah jelas barang tentu bila Undang-Undang Dasar disakralkan akan banyak terjadinya KKN, memasung semangat demokrasi dan penegakan hukum, dan memberi peluang tumbuhnya pemerintahan yang otoriter, anti kritik dan anti perbedaan pendapat. Dan jika ada pihak yang ingin merubah Undang-Undang Dasar dianggap sebagai “makar” terhadap negara.
Tergelincirnya rezim Soeharto dari tampuk kekuasaan pada Mei 1998 membawa angin segara terhadap reformasi Indonesia. Bagaimana tidak, selaku Presiden yang pernah menjabat selama 32 tahun, ia telah membuat kesalahan baik kepada negara dan warga negara. Mengingat kekejamannya  yang bersifat otoriter telah banyak mencekam hak individu orang-orang. Dengan runtuhnya rezim ini maka amanat reformasi adalah Perubahan dasar UUD 1945 yang dipandang telah menciptakan multitafsir. Penafsiran sepihak telah dirasakan sebagai energi negatif terhadap perkembangan pembangunan Indonesia kedepannya
K. C. Wheare seorang ahli hukum tata negara Inggris mengatakan bahwa sebuah proses perubahan dihampir semua konstitusi modern harus dilakukan dengan: (1) pertimbangan yang masak, tidak secara serampangan dan dengan sadar; (2) melibatkan peran serta masyarakat secara aktif atas perubahan yang ada; (3) terjaminnya hak-hak pribadi dan masyarakat.[7] Ketiga poin tersebut mengisyaratkan bahwa pentingnya prasyarat dalam melakukan proses amandemen. Keniscayaan tersebut mengisyaratkan pula terbinannya kesadaran kolektif berbangsa akan penting sebuah mekanisme perubahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab bersama demi keutuhan, kelangsungan dan masa depan rakyat Indonesia.
Pada tanggal 19 Oktober 1999, melalui Tap MPR No. IX/MPR/1999, Majelis menugaskan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja (PAH I BP MPR) menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945. Untuk disahkan pada Sidang Tahunan MPR tanggal 18 Agustus 2000.  Oleh karena PAH I BP MPR tak mampu menyelesaikan perubahan UUD 1945 secara tuntas, maka masa kerja PAH I BP MPR  diperpanjang sampai Sidang Tahunan MPR 2002. Terlambatnya penyelesaian ini dikarenakan terbatasnya waktu bagi anggota PAH I BP MPR akibat disibukan oleh agenda persidangan MPR, DAP dan PAH I BP MPR sendiri dan kaburnya muatan subtansial serta batasan-batasan perubahan yang dilakukan sebagai akibat tarik menarik kepentingan politik.
Perubahan I UUD 1945 pada tanggal 14-21 Oktober 1999 dalam Sidang Umum MPR. Perubahan ini terdiri dari 9 pasal, yaitu Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21. Secara umum perubahan ini menyoroti kekuasaan presiden. Perubahan II pada tanggal 7-18 Agustus 2000. Pada Sidang Tahunan MPR. Perubahan ini terdiri dari 5 bab dan 25 pasal, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E, Bab X, Pasal 26, Pasal 27, Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30 Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B dan Pasal 36 C. Secara umum perubahan ini menyoroti aspek desentralisasi, pemberdayaan DPR, penyempurnaan HAM, pertahanan negara dan atribut negara.
Perubahan III pada tanggal 1-9 November 2001 pada Sidang Tahunan MPR. Perubahan ini terdiri dari 3 bab dan 22 pasal, yaitu Pasal 1, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17, Bab VIIA, Pasal 22C, Pasal 22D, Bab VIIB, Pasal 22E, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E, Pasal 23F Pasal, 23G, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 24C. Secara umum perubahan ini menyoroti penyempunaan atas pelaksanaan kedaulatan rakyat, pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung dan pembentukan beberapa lembaga negara, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Makamah Konstitusi(MK), dan Komisi Yudisial (KY). Perubahan IV pada tanggal 1-11 Agustus 2002 pada Sidang Tahunan MPR. Perubahan ini terdiri dari 2 bab dan 13 pasal, yaitu Pasal 2, Pasal 6A, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24, Pasal 31, Pasal 32, Bab XIV, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 37. Perubahan ini bersifat penyempurnaan dari Perubahan III UUD 1945. Diantara yang mendasar adalah Pasal 6A ayat (4) tentang pemilu presiden dan wakil presiden putaran kedua.
Meskipun Undang–Undang Dasar ini telah diamandemen sebanyak 4 kali, namun masih saja terjadi prokontra. Dalam konteks amandemen dan hasil amandemen ini, dasar hukum dan format hukumnya tidak jelas, bukan dalam bentuk TAP MPR, bukan pula UU atau peraturan hukum yang lain tetapi hanyalah risalah rapat Paripurna MPR. Risalah sebuah rapat dapat mengubah dasar negara yang berisi sember hukum tertinggi, falsafah bangsa, idiologi negara, konsepsi nasional, dll. Yang tertuang dalam UUD melalui amandeman, itulah kesalahan konstitusional yang fatal dalam sejarah dan tidak boleh terulang lagi.[8]
Perlu diketahui, dalam makalah yang diselenggarakan oleh Forum Rektor dan disponsori oleh NDI (National Democratic Institute) di Jakarta, pada tanggal 8 Juni 2001 dan Medan 21 Juni 2001, Drs. Jacob Tobing, MPA menyebutkan 5 (lima ) kesepakatan MPR. Sedangkan, laporan yang mengatasnamakan Fraksi PDI-P menyebutkan 6 butir kesepakatan dan yang tidak dituangkan adalah butir keempat tentang prinsip check and balance. Jadi, dasar hukum dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 adalah hanya karena adanya satu kesepakatan MPR tanpa format hukum yang jelas, yang menyangkut 5 hal, sebagai berikut:
1.      MPR tetap mempertahankan Pembukaan UUD 1945;
2.      MPR tetap mempertahankan bentuk Negara NKRI;
3.      Tetap menggunakan sistem pemerintahan presidensial;
4.      Mengahpus penjelasan UUD 1945 dengan catatan hal-hal yang normatif dalam Penjelasan akan dipindahkan kedalam pasal-pasal UUD;
5.      Perubahan dilakukan dengan cara adendum.
Itulah dasar hukum 5 (lima) butir isi kesepakatan MPR yang dipakai sebagai dasar hukum melakukan amandemen yang ternyata juga dilanggar oleh MPR sendiri dan hasilnya pun menimbulkan kontoversi, problematik dan konflik dilapangan.[9]
Oleh karena itu UUD 1945 harus memiliki kekuatan fundamental dan menjadi referensi bagi kerangka pembangunan nasional. Atas dasar itu, UUD 1945 yang diamandemen harus melalui proses kerja yang bijaksana. Dorongan kearah terciptanya konstitusi baru yang lebih mengutamakan kepentingan dan masa depan rakyat adalah cita-cita seluruh rakyat Indonesia. Kehadiran konstitusi adalah sebuah keniscayaan. Maka proses penyempurnaan dan kematangan mutlak dilakukan. Persoalan konstitusi adalah persoalan eksistensi bangsa dalam menjawab perkembangan dan perubahan zaman.
Dengan telah dilakukannya amandemen UUD 1945 yang keempat, maka ini merupakan hasil akhir dari sebuah UUD 1945 untuk saat ini. Meskipun masih ada juga prokontra terhadap hasil amandemen tapi setidaknya UUD 1945 pasca amandemen telah memberikan angin segar  khususnya terhadap HAM. Sebelum amandemen HAM dalam UUD 1945 tidak tersusun secara sistematis. Semenjak amandemen  kedua UUD 1945 maka HAM terdapat dalam bab tersendiri, yakni Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia dengan 10 pasal. HAM bukan lagi kehendak isu global melainkan syarat negara hukum. Serta seringkali dijadikan salah satu indikator untuk mengukur tingkat peradaban, demokrasi dan kemajuan suatu bangsa.
Kehadiran perubahan kedua UUD 1945 mengenai HAM  merupakan suatu kemajuan yang signifikan, sebagai buah dari perjuangan panjang para pendiri bangsa. Selain karena terdapatnya dalam satu bab tersendiri, hal lain adalah berisikan pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan HAM, baik secara pribadi maupun sebagai warga negara Indonesia. Secara subtansional materi muatan HAM memuat berbagai hal kepentingan manusia yang harus dijaga, dipelihara, dijamin dan dilindungi sebagai bentuk komitmen jaminan konstitusi atas penegakan hukum dan HAM di Indonesia.
Namun secara redaksional dan jangkauan lingkup HAM masih terbilang sederhana bahkan tidak menggambarkan sebuah komitmen atas penegakan hukum dan HAM. Ini terlihat masih adanya pasal yang tumpang tindih dan tidak ditemukannya daya desak penegakan hukum dan HAM oleh negara dalam bentuk kewajiban-kewajiban kongkrit secara eksplisit. Sehingga kelihatan bahwa perubahan UUD 1945 yang kedua tidak memiliki kejelasan. Hal ini dikuat dengan pandangan Saldi Isra, sebagaimana dikutip Majda El-Muhtaj, materi muatan HAM dalam perubahan kedua UUD 1945 tidak konsisten dalam merumuskan kategorisasi hak-hak asasi, apakah pembagiannya menurut kategori hak sipil dan hak ekonomi, sosial dan budaya ataukah mendefinisikannya dengan menggunakan pembagian atas derogable right dan nonderagable right, ataukah merumuskannya dengan cara memuat hak-hak individu, komunal, dan vulnerable right.
Ketidakjelasan makna ini terlihat dari Bab Pasal 27 ayat (3) dengan Bab XII Pasal 30 ayat (1) tentang hak atas pembelaan negara. Bab XA Pasal 28D dengan Bab X Pasal 27 ayat (1) tentang hak atas equality before the law (persamaan dihadapan hukum). Bab XA Pasal 28F dengan Pasal 28 tentang berserikat dan berkumpul. Ketidakjelasan ini memberikan pengaruh terhadap penegakan HAM dalam muatan-muatan HAM yang diatur tersebut. Ketidakjelasan lain akibat penggabungan muatan HAM dengan muatan HAM lain yang tidak sinkron. Seperti Bab XA Pasal 28C yang menggabungkan hak atas kebutuhan dasariah dengan hak mendapatkan pendidikan dan seni budaya. Serta Bab XA Pasal 28E menggabungkan hak beragama dengan hak mendapatkan pekerjaan dan hak atas kewarganegaraan.
Pada perubahan kedua UUD 1945 khususnya mengenai HAM, terlihat jelas bahwa HAM jauh dari sempurna. Secara redaksional menurut Satya Arianto, sebagaimana dikutip Majda El-Muhtaj, bahwa materi muatan HAM dalam perubahan kedua UUD 1945 sebagian besar merupakan pasal-pasal yang berasal atau setidak-tidaknya memiliki kesamaan dengan pasal-pasal HAM sebagaimana diatur dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sudah jelas barang tentu materi muatan HAM dalam perubahan kedua tidak berdiri sendiri dan aturan ini memberikan pengaruh besar terhadap rumusan materi HAM pada perubahan kedua UUD 1945.

4.      Latar belakang lahirnya peraturan perundang-undangan Pengadilan HAM Indonesia
Sebagai bangsa yang pernah diinjak-injak imperialisme, bangsa Indonesia menyadari betul arti hak asasi manusia. Karena itu, para pendiri negara sudah memikirkannya sejak awal kemerdekaan. Masalah hak asasi manusia pun dicantumkan dalam Pembukaan dan Batang tubuh UUD 1945. Apa yang dicantumkan itu, tiga tahun lebih dulu dibandingkan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam perkembangannya, pasal-pasal mengenai hak asasi manusia ini banyak dicantumkan dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, juga berhasil menyepakati seperangkat rancangan pasal mengenai hak asasi manusia untuk draf Undang-Undang Dasar baru yang sedang disiapkan. Namun dengan dikeluarkanya Dekrit Presiden 1959 yang menyatakan berlaku kembalinya UUD 1945 kesepakatan tersebut dihentikan.
Secara horizontal pengaturan HAM dalam UUD 1945 relatif telah ditegaskan. Namun secara vertikal yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dibawah UUD, pengaturan HAM mengalami pasang surut yang tidak bisa dipisahkan dengan konfigurasi politik pemerintah pada era tertentu. Sebagaimana dimaklumi bahwa pengaturan hak-hak hukum (legal rights), yang ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan dibawah UUD, mengalami era keterbukaan sejak pemerintahan Habibie dan seterusnya.
Gambaran ini menunjukan bahwa semangat yang dikandung dalam nilai-nilai dasar HAM dalam UUD 1945 tidaklah serta-merta membuahkan political will pemerintah dalam menyiapkan ketentuan perundang-undangan, baik dalam tataran undang-undang dan sebagainya. Memang terdapat faktor yang kompleks, misalnya pada tahun keberlakuan UUD 1945 (periode I),  Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950, yakni tidak kondusifnya kehidupan pemerintahan sebagaimana lazimnya. Akibat, ketentuan tentang HAM yang diatur lebih lanjut dalam peraturan-peraturan organik menjadi terkendala.
Memasuki Orde Baru kepemimpinan Soeharto (1966-1998), rakyat menaruh harapan yang besar, khususnya dalam pemulihan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini, tidak ketinggalan juga perhatian terhadap upaya-upaya perlindungan dan jaminan atas HAM. Meskipun, UUD 1945 telah berlaku pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, akan tetapi dirasa perlu untuk segera dikeluarkan  kebijakan-kebijakan yang sistematis dan strategis dalam penegakan HAM di Indonesia. Namun dengan rezim yang berkuasa saat itu terkesan otoriter maka pembicaraan mengenai HAM menjadi pembicaraan publik saja.
Di sinilah pertama kalinya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menetapkan sebuah ketetapan MPRS No. XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia-Panitia Ad Hoc. Ketetapan ini memberikan perintah agar secepatnya membentuk panitia kecil yang akan membahas sebuah Piagam Hak Asasi Manusia.  Menindaklanjuti hal itu, kemudian pimpinan MPRS menetapkan rancangan Piagam HAM yang tertuang dalam rancangan pimpinan MPRS RI No. A3/I/Ad HocB/MPRS/ 1966 diberinama, Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan hak-hak serta kewajiban warga Negara. Selengkapnya A. H. Nasution, ketua MPRS mengatakan sebagai berikut:
Sebagaimana saudara-saudara kiranya telah ketahui, dalam rangka pelaksanaan Ketetapan MPRS No. XIV/MPRS/1966, MPRS telah membentuk empat buah panitia Ad Hoc MPRS, satu diantaranya yang saya ketuai yang mempunyai tugas, mempelajari Hak-hak Asasi Manusia dalam hubungannya Demokrasi Terpimpin, dan berdasarkan hasil-hasil tersebut menyusun perincian-perincian Hak-hak Asasi Manusia yang harus diperlakukan di Indonesia sesuai dengan UUD 1945. Panitia termaksud di atas setelah mengadakan sidang-sidangnya sejak bulan Agustus-November yang lalu telah menghasilkan dua buah perumusan yang dituangkan dalam bentuk sebuah PIAGAM TENTANG HAK-HAK AZASI MANUSIA DAN HAK-HAK SERTA KEWAJIBAN WARGA NEGARA, yang dalam waktu dekat ini direncanakan akan dapat disebarluaskan kepada masyarakat guna mendapat penyempurnaan.

Rencana perumusan piagam HAM ini mendapat respon positif dari masyarakat. Setidaknya, hal tersebut dikarenakan rumusan HAM yang terdiri dari Mukaddimah dan 31 pasal mengandung muatan-muatan HAM yang lebih jelas dan tegas. Memang, terdapat kritikan terhadap rumusan Piagam HAM MPRS. Namun, hal tersebut, menurut Todung Mulya Lubis, tidak mengurangi arti pentingnya kehadiran Piagam HAM sebagai rule of the game of constitution. Todung mengatakan sebagai berikut:
In spirit of the Charter’s ambiguity. It is clear that it formslly paved the way for the revival of human rights. It gave new momentumto the creation of a human rights policy and was an attempt to formulate what was called the rule of the game of the constitution.

Berdasarkan putusan MPRS tanggal 6 Maret 1967 Nomor 34/B/1967 hasil Panitia Ad Hoc diterima untuk dibahas pada persidangan berikutnya. Namun, pada Sidang Umum MPRS tahun 1968, rancangan piagam tersebut tidak dibahas karena sidang lebih mengutamakan membahas masalah nasional setelah terjadi tragedi Gerakan 30 September dan menata kembali kehidupan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Disisi lain dengan semakin matangnya konsolidasi kekuatan Orde Baru, lembaga MPRS dinilai tidak bersih dari Demokrasi Terpimpin model Soekarno. Dalam perspektif Orde Baru, sebagai lembaga, MPRS tidak dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis meskipun menyangkut jaminan hak-hak asasi manusia. Karena itu, seiring dengan upaya mematangkan konsolidasi pemerintahan kearah pembangunan, maka apa yang telah direncanakan oleh MPRS ini menjadi deadlock tanpa diperoleh kejelasan yang berarti.
Dalam kebijakan selanjutnya, pengaturan HAM dalam masa Orde Baru tidaklah dalam bentuk piagam HAM, melainkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Sikap demikian menjadi bukti bahwa Orde Baru hanya mengakui hak-hak hukum masyarakat sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Untuk memajukan dan melindungi HAM yang sesuai dengan prinsip Negara berdasarkan atas hukum sekaligus agar langkah percepatan penegakan HAM berjalan efektif, maka pemerintah Orde Baru membentuk sebuah komisi yang bernama Komisi Nasional HAM, yang disebut juga  Komisi Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 50 Tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993. Dengan pembentukan KOMNAS HAM tersebut maka kelihatan dengan terang hubungan yang erat antara penegakan HAM disatu pihak dan penegakan hukum dipihak lainnya.
Ada dua tujuan pokok Komisi Nasional. Pertama, membantu perkembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM): dan kedua meningkatkan perlindungan hak asasi manusia guna mendukung terwujudnya tujuan pembangunan nasional yaitu pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Seiring derasnya arus globalisasi, permasalahan HAM harus dimasukan dalam agenda nasional. Untuk menyambut sidang umum MPR tahun 1998, Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (Wanhankamnas) mengusulkan perlunya masalah HAM dijadikan ketetapan MPR yang akan diajukan dalam Sidang Umum MPR tahun 1998. Tahun 1998, melalui Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, kembali ditegas eksistensi HAM. Tap MPR ini memberikan penegasan bahwa penegakan HAM dilakukan secara struktural, kultural, dan institusional. Tujuannya adalah agar terciptanya sikap menghormati, menegakan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat.
Secara struktural, melibatkan peran serta lembaga-lembaga negara beserta aparatur pemerintah. Secara kultural, dibutuhkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat, dan secara institusional, penegakan HAM juga diperankan oleh Komisi Nasional HAM yang ditetapkan dengan undang-undang. Disini, terdapat pandangan baru bahwa penegakan HAM, ternyata tidaklah semata-mata dicapai melalui sebuah “Piagam HAM” saja, tetapi juga membutuhkan sebuah langkah kongkret dan sinergis dari segenap lapisan masyarakat. Peran serta ini merupakan sebuah kebulatan tekad bersama  bahwa penegakan HAM adalah tanggung jawab bersama dari seluruh komponen masyarakat, termasuk pemerintah sendiri.
Pada masa pemerintahan Habibie (1998-1999) tepatnya pada tanggal 15 Agustus 1998, diatur kerangka Kerja Komnas HAM melalui Kepres No.129 Tahun 1998 Tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia. Tujuan Rencana Aksi Nasional adalah untuk menjamin peningkatan, pemajuan, dan perlindungan hak-hak asasi manusia Indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai adat istiadat, budaya dan agama berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Rencana Aksi Nasional dilaksanakan secara bertahap dalam sebuah program lima tahunan. Hal ini menunjukan kesinambungan program yang sebenarnya dapat saja ditinjau dan disempurnakan. Dalam pelaksanaannya maka dibentuklah sebuah Panitia Nasional yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada presiden.
Pada tanggal 9 Oktober 1998 Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No.181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Keluarnya kepres ini didorong oleh kesadaran yang tinggi tentang kedudukan perempuan dalam kehidupan masyarakat sebagaiman amanat UUD 1945 bahwa warga Negara mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan.
Sebagai anggota PBB, pada tanggal 23 Oktober 1985 Indonesia turut serta menandatangani sebuah konvensi yang menentang segala bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi. Konvensi tersebut berhasil disepakati dalam sidang majelis umum PBB tanggal 10 Desember 1985 dan berlaku efektif sejak 26 Juni 1987. Komitmen Indonesia atas hal tersebut terlihat dari keluarnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).
Sebagai bagian dari HAM, pada tanggal 26 Oktober 1998 berlaku UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. UU ini memiliki nilai penting dalam menjamin hak dan kebebasan berpendapat sebagai hak asasi manusia. Sejalan dengan kegiatan RANHAM, maka pada tanggal 25 Mei 1999 pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional PBB penghapusan diskriminasi rasial yang tertuang dalam UU No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention of the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965).
Awalnya Konvensi ini disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 21 Desember 1965 dengan Resolusi 2106A (XX). Majelis Umum PBB memberikan kekuatan hukum yang mengikat bagi semangat penghapusan diskriminasi rasial dengan menerima Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, tidak terkecuali bagi Indonesia. Maka, dengan pengesahan konvensi ini Indonesia semakin menyatakan komitmennya dalam penegakan HAM di Indonesia.
Dalam rangka melaksanakan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998, pada tanggal 23 September 1999 diberlakukanlah UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang disingkat menjadi UU HAM. UU ini menegaskan dua hal yang prinsipil, yakni Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kewajiban Dasar Manusia (KDM).
Antara Hak Asasi Manusia (HAM) dengan Kewajiban Dasar Manusia (KDM) terdapat korelasi. Korelasi keduanya menunjukan terdapatnya keseimbangan tatanan dalam kehidupan masyarakat. HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati,dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negra, hukum, pemerintah, dan setiap orang dan demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Sebagaimana layaknya hak menuntut adanya pula kewajiban bagi pihak yang lain. Adapun KDM adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya hak asasi manusia. Dalam hal kedudukannya, UU ini merupakan payung hukum dari seluruh peraturan perundang-undangan yang menyangkut HAM.
Selanjutnya, sesuai dengan amanat Bab IX Pasal 104 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999,  untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, dibentuklah sebuah pengadilan khusus HAM yang dilingkungan Peradilan Umum. Maka, dengan adanya amanat tersebut pada tanggal 23 November 2000 secara resmi berlaku UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang disingkat menjadi UU Pengadilan HAM.

B. KEEKSISTENSIAN UU NO. 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM KEDEPANNYA
Secara historis UU Pengadilan HAM lahir karena amanat Bab IX Pasal 104 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999. Dengan lahirnya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tersebut, maka penyelesaian kasus HAM berat dilakukan dilingkungan Peradilan Umum. Ini merupakan wujud dari kepedulian negara terhadap warga negaranya sendiri. Negara menyadari bahwa perlunya suatu lembaga yang menjamin akan hak pribadi seseorang. Jaminan inilah yang diharapkan nantinya setiap individu dapat mengetahui batas haknya dan menghargai hak orang lain. Sehingga tidak terjadi apa yang dinamakan pelanggaran HAM berat untuk kedepannya.
Dengan diundangkannya UU ini, setidaknya memberikan kesempatan untuk membuka kembali kasus pelanggaran HAM berat yang penah terjadi di Indonesia sebelum diundangkan UU Pengadilan HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 43-44 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc. Dan Pasal 46 tentang tidak berlakunya ketentuan kadaluwarsa dalam pelanggaran HAM yang berat. Masuknya ketentuan tersebut dimaksudkan agar kasus-kasus yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dapat diadili. Ketentuan tentang kadaluwarsa ini diadopsi dari statuta Roma tahun 1998, yakni ketentuan dalam artikel 29 tentang “ tidak ada diterapkannya ketentuan pembatasan”.
Dalam UU Pengadilan HAM terdapat asas retroactive. Masuknya asas ini dengan alasan, yakni: (1) jauh sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, belum dikenal jenis kejahatan “genosida” dan “kejahatan terhadap kemanusiaan” ketentuan ini sesuai dengan Pasal 6 dan 7 (Rome statute of the International Criminal Court). (2) asas ini sebagai political wisdom (kebijaksanaan politik) dari DPR untuk merekomendasikan kepada Presiden dengan mempertimbangkan bahwa kedua jenis kejahatan tersebut merupakan extraordinary crime (kejahatan luar biasa) yang dikutuk secara internasional sebagai enemies all mankind (hotis humani generis) dan dirumuskan sebagai kejahatan internasional (international crime).
Namun dengan munculnya asas retroactive sangat bertentangan dengan ide perlindungan HAM yang diatur dalam Pasal 11 UDHR/DUHAM, Pasal 15 Ayat (1) International Convention on Civil and Political Right (ICCPR), Pasal 22 Ayat (1) dan Pasal 24 Ayat (1) Satuta Roma tentang International crime court. Dengan kata lain, pemberlakuan asas retroactive memungkinkan dibuka kembali kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan ini merupakan penyimpangan terhadap asas legalitas dari sisi hukum positif Indonesia (KUHP). Akan tetapi menurut Hukum Pidana Internasional, berlakunya asas retroactive bertujuan untuk mencapai keadilan yang diwujudkan dengan pembentukan pengadilan tribunal seperti: ICTR (International Court Tribunal for Rwanda), ICTY (International Court Tribunal for Yugoslavia) dan ICC International Criminal Court) dalam statuta Roma.
Seiring dengan itu, berjalan atau tidaknya suatu lembaga peradilan HAM yang berat sangat tergantung sekali kepada aparat penegak hukum itu sendiri. Hal ini sesuai dengan cita-cita negara hukum, yaitu keadilan, ketertiban dan kepastian hukum. Ini menjadi barometer masyarakat demi terlaksananya penegakan pelanggaran HAM yang berat di Indonesia. Masyarakat selalu menginginkan keadilan itu tetap ditegakan dan berharap penegak hukum tidak menyalahkan kewenangannya dalam menjalankan tugas sehingga tidak merugikan semua pihak, baik dari pelaku, korban maupun masyarakat. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dimasa lampau, yang memerlukan dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc tersebut terdapat subjetivitas dalam relativitas dan tergantung pada kepentingan yang ada serta lebih tertumpu pada nilai politis yang tersembunyi.
Dalam hukum dikenal istilah ”sumum ius suma iuria” artinya adil tidaknya sesuatu tergantung dari pihak yang merasakannya.[10] Apa yang dirasakan adil bagi seseorang belum tentu adil bagi orang lain. Disinilah peran penegak hukum dibutuhkan yang mana bisa menjembatani antara kepentingan pelaku dan korban, sehingga perasaan ketidakadilan dapat diminimalisir seoptimal mungkin. Berhasil atau tidaknya peran penegak hukum dalam menjembatani permasalahan ini dapat dilihat dari adanya reaksi dari para pihak dan masyarakat.
Dengan banyaknya aturan tidak menutup kemungkinan akan banyaknya tuntutan. Bila itu terjadi maka masalah yang dihadapi bukanlah masalah pranata, produk, subtansi maupun materi hukum dalam UU melainkan mengenai penegakan dan penerapan hukum (law enforcement). Hukum itu akan bermakna setelah ditegakan dan sebaliknya hukum itu akan jadi “macan ompong” tidak ada apa-apa tanpa adanya penegakan hukum. Yang memberi makna pada hukum itu adalah aparat penegak hukum serta masyarakat. Bahkan tanpa subtansi hukum pun sebenarnya hukum dapat dihasilkan, karena mengenai hal ini menjadi tugas para hakim untuk menciptakan hukum baru.
Mengenai penegakan hukum agar tetap menjadi pelindung terhadap manusia maka dibutuhkan sifat baik dari aparatur penegak hukum. Sehingga hukum itu benar-benar memberikan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat. Sifat baik tersebut mencakup integritas moral serta profesionalisme intelektual. Kualitas intelektual tanpa diimbangi integritas akan dapat mengarah kepada rekayasa yang tidak dilandasi moral. Sementara integritas tanpa profesionalisme bisa menyimpang keluar dari jalur-jalur hukum. Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa penegakan hukum merupakan suatu sistem. Ini berarti, penegakan hukum merupakan rangkaian dari suatu proses yang dilaksanakan oleh beberapa komponen sebagai sub-sistem. Rangkaian proses tersebut satu sama lain saling terkait secara erat dan tidak terpisahkan karena itu disebut sebagai integrated criminal justice system.
Pada umumnya, sub-sistem tersebut mencakup:
1.      Penyidik (Kepolisian/Penyidik Pegawai Negeri Sipil)
2.      Kejaksaan (Penuntut Umum)
3.      Penasehat hukum (Korban/Pelaku)
4.      Pengadilan (Hakim)
5.      Pihak-pihak lain (Saksi/Ahli/Pemerhati)

Dalam UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, hukum acara atas pelanggaran HAM berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana yang terdiri dari:
1.      Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan.
2.      Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penahanan.
3.      Komnas HAM sebagai penyelidik berwenang melakukan penyelidikan.
4.      Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penyidikan.
5.      Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penuntutan.
6.      Pemeriksaan dilakukan dan diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM.
Masing-masing komponen tersebut memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama untuk menegakan keadilan. Dengan demikian apabila muncul ketidakadilan dapat ditelusuri di mana sebenarnya penyebab utamanya. Meskipun pada umumnya ketidakadilan ini berasal dari aparat, bukan berarti komponen lain tidak bisa menyimpang atau setidaknya memberi dorongan untuk menyimpang. Aparat penegak hukum mengambil porsi tanggung jawab terbesar dalam penegakan hukum karena fungsi mereka adalah menegakan hukum.
Namun saat ini sangat disayangkan, krisis moral dan lemahnya integritas penegak hukum serta adanya ketimpangan dalam sistem hukum kita membuat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan tidak mempunyai tempat dihati. Jika ini terus dibiarkan dan tidak mendapati perhatian serius dari pihak terkait maka lama kelamaan peradilan akan ditinggalkan dan beralih cara dengan main hakim sendiri. Karena apa, apa yang diharapkan dicita-citakan tidak mendapat perhatian serius dari aparatu negara.


BAB III
PENUTUP


Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan dalam Bab II terdahulu, dengan judul “Sejarah Perkembangan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM”, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yang dianggap perlu untuk diungkapkan dalam pembahasan makalah ini.

Kesimpulan
  1. Dalam sejarah peradaban dunia Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Warga negara tertuang dalam beberapa dokumen penting. Dokumen ini berisikan hak-hak yang harus dilindungi dan dihormati serta pembatas untuk para penguasa agar tidak bertindak sewenang-wenang. Dengan ini maka kekuasaan dapat dikontrol dengan baik oleh penegak hukum.
  2. Dalam sejarah konstitusi Indonesia pengaturan mengenai HAM sebenarnya telah ada. Hanya saja dalam UUD 1945 pengaturan ini tidak tertuang dengan jelas dan terkadang sumir. Pengaturan mengenai HAM lebih banyak terdapat dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Namun semenjak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka konstitusi sebelumnya tidak berlaku lagi dan kembali kepada UUD 1945. Dengan kembalinya UUD 1945 sebagai konstitusi negara, perlindungan terhadap HAM semakin tidak jelas dan hal ini sangat dipengaruhi oleh rezim yang berkuasa yang terkesan otoriter. Semenjak keruntuhan rezim Soeharto itu, MPR melakukan amandemen UUD sebanyak empat kali, khusus mengenai HAM diatur dalam perubahan kedua.
  3. Amandemen kedua UUD 1945 mengenai HAM tertuang dalam Bab tersendiri yakni Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia dengan 10 pasal. Ini membuktikan bahwa HAM sebagai hak individu dan warga negara benar-benar telah dijamin oleh konstitusi. Walaupun demikian, pasal-pasal dalam Bab XA masih ada yang tumpang tindih dan belum jelasnya kategori yang dipilih untuk mengelompokan suatu pasal.
  4. Lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan Indonesia. Yang mana hak-hak individu dan warga negara dijamin oleh UU. Sehingga tidak ada lagi penekanan dan otoriterisme dari penguasa. Rakyat dapat menjalankan hak dan kebebasannya tanpa harus mengganggu hak orang lain. Dan dengan UU ini pula berdasarkan amanat Pasal 104 Ayat (1), maka dibentuklah Pengadilan HAM yang berwenang untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat.
  5. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat baik dalam negeri Indonesia maupun diluar batas teritorial Indonesia oleh warga negara Indonesia dengan kriteria pelakunya berusia diatas 18 tahun.
  6. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM membuka peluang untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus pelanggaran HAM berat sebelum diundangkannya UU ini karena UU ini mengandung asas retroactive secara bersamaan asas ini sangat bertentangan dengan asas legalitas.
  7. Berfungsi atau tidaknya lembaga Pengadilan HAM kedepannya, sangat ditentukan oleh aparatur penegak hukum dan subtansi hukum itu sendiri. Semakin baik aparatur hukum maka hukum yang jelek pun dapat menjadi putusan yang adil dan sebaliknya semakin berkurangnya moralitas dan integritas penegak hukum, hukum yang baik pun akan menjadi putusan yang buruk.
  
Referensi
El-Muhtaj, Majda, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Jakarta: Kencana 2009)
Hartono, M. Dimyati, Problematika dan Solusi Amandemen UUD 1945 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009)
Muladi, Hak Asasi Manusia  (Bandung: PT Refika Aditama, 2009)
UUD 1945 AMANDEMEN I, II, III, IV (Jakarta: Barus,___)
UU No 39 Tahun1999 tentang HAM (___: Asa Mandiri, 2010)
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (____: Difa Publisher ____)

[1] Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Difa Publisher), hlm. 343
[2] Pasal 1 UU No 39 Tahun1999 tentang HAM
[3] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Jakarta: Kencana 2009), hlm 69.
[4] M. Dimyati Hartono, Problematika dan Solusi Amandemen UUD 1945 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 24.
[5] Majda El-Muhtaj, Op.cit, hlm 96.
[6] Ibid, hlm 83.
[7]  Ibid, hlm 86.
[8] M. Dimyati Hartono, Op.cit, hlm. 33.
[9] Ibid, hlm. 34.
[10] Muladi, Hak Asasi Manusia  (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), hlm. 46.