Sabtu, 19 Februari 2011

makalah tindak pidana koorporasi dan perbankan

BAB I PENDAHULUAN


A.Latar Belakang

Issue global yang meliputi demokratisasi, HAM dan lingkungan hidup telah berkembang ke arah perang melawan teroris internasional bahkan beberapa negara maju telah menerapkan konsep penyerangan awal terhadap terorisme yang berada di negara tertentu. Meskipun banyak negara yang tidak menyetujuinya tetapi konsep tersebut tetap disosialisasikan secara Internasional yang disponsori oleh Amerika Serikat. Sikap Amerika Serikat yang selalu memihak kepada Israel, sehingga masyarakat muslim dunia yang berpihak pada perjuangan Palestina menaruh sikap antipati terhadap politik Amerika.
Secara ideologi masih adanya kelompok untuk mengubah Pancasila dengan Ideologi lain yang berorientasi kepada agama, faham liberal atau faham sosialis/komunis. Ada upaya kelompok agama ingin memasukkan Syariat Islam secara konstitusional. Kelompok faham sosialis/komunis melalui kelompok radikal berbasis sosial/komunis selalu berupaya untuk mencabut Ketetapan MPRS No.XXV/MPRS/ 1966 sehingga ajaran komunis dapat hidup kembali di wilayah Republik Indonesia.
Secara politik permasalahan pelaksanaan Otonomi Daerah dan pemekaran wilayah di beberapa daerah di Indonesia terkesan dipaksakan. Pemaksaan keinginan ini merupakan salah satu wujud distorsi perpolitikan di Indonesia yang pada gilirannya berkembang issue timbulnya ancaman disintegrasi bangsa. Proses demokrasi yang tidak didukung oleh budaya partisipasi politik akan menimbulkan sikap arogansi, ingin kebebasan yang tanpa batas dan bermuara pada disintegrasi. Kondisi demikian merupakan suasana nyaman tumbuhnya aksi teror pemaksaaan kehendak.
Dengan adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan mengakibatkan rapuhnya sistem ekonomi bangsa terhadap daya saing perdagangan global, semakin jauh ketertinggalan dari kemampuan memiliki posisi tawar ekonomi di mata dunia. Berakibat pada kemiskinan masyarakat yang tidak tertolong dan pada gilirannya masyarakat memilih caranya sendiri yaitu jalan radikal kekerasan teror tanpa menghiraukan jatuhnya korban yang tidak berdosa.
Dilihat dari konteks sosial budaya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama informasi dan komunikasi di satu sisi meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas, di sisi lain dapat mempengaruhi lunturnya semangat kebangsaan, rasa cinta tanah air, kesadaran bela negara dan kesadaran mendahulukan kepentingan kepentingan pribadi atau golongan daripada kepentingan umum. Masih adanya keinginan sekelompok umat muslim untuk menegakkan syariat Islam sebagai landasan hidup bangsa Indonesia melalui serangkaian kegiatan jalur formal maupun non formal dan tidak jarang dilakukan secara ekstrim radikal sehingga dapat berpengaruh terhadap keharmonisan hubungan antar umat beragama, yang rentan menimbulkan perselisihan dan konflik antar agama.
Pertahanan Keamanan. Masih terjadi berbagai konflik di beberapa daerah di wilayah Indonesia yang masih berpotensi, seperti Poso, Papua dan beberapa daerah lainnya. Kasus-kasus pembalakann liar, pencucian uang dan pengamanan sumber daya alam dari praktek-praktek kegiatan ilegal ekonomi.
Pada akhirnya akan bermuara pada tertanggunya stabilitas, berakibat ketidakpercayaan masyarakat kepada aparat keamanan dan penegak hukum semakin kental. Peluang dan Kendala Demokratisasi di Indonesia telah berjalan menuju pada perubahan ke arah tatanan kehidupan yang diinginkan masyarakat. Dukungan internasonal terhadap keutuhan NKRI secara politis, perlu disikapi secara arif dan koreksi kedalam. Daya dukung sumber daya alam dan potensi pasar di Indonesia, adalah beberapa dari peluang sebagai modal dasar. Disisi lain, kualitas SDM, keterpurukan ekonomi yang berkepanjangan dan menurunnya kesadaran wawasan kebangsaan serta bela negara merupakan kendala yang harus ditangani segera.
Namun semuanya itu belumlah berakhir bila kita tidak pernah mempelajari bagaimana cara kelompok teroris itu memperoleh uang dan bagaimana sejarah pencucian uang. Dilihat dari konsep perbuatannya, sebenarnya pencucian uang sudah lama ada. Paling tidak hal itu  sebagaimana dilakukan oleh para Bangsawan Perancis. Pada abad XVII membawa harta kekayaan ke Swiss, pihak Perancis menyatakan mereka membawa dana  pelarian  dan  para  Bangsawan  termasuk  para  pedagang  kemudian menyembunyikannya  di  Swiss  dengan  dibantu  pihak  Swiss  dan  selanjutnya  dapat digunakan  dengan  aman. Demikian  juga  harta  yang  dibawa  oleh  Bangsa  Yahudi dari Jerman ke Swiss pada masa Hitler. Kemudian  pada  sekitar  Tahun  1930-an  Al  Capone  dan  Gang  Mafia  lainnya melakukan  perbuatan  menyembunyikan  hasil  kejahatanya  (perjudian,  prostitusi, pemerasan,  dan  penjualan  gelap  minuman  keras).  Untuk  mengelabuhi  pemerintah, para  mafia  mendirikan  perusahaan  binatu  (landromat),  untuk  mencampur  hasil kejahatan mereka sehingga  tidak dicurigai  terlibat kejahatan. Oleh karena belum ada ketentuan  anti  pencucian  uang maka  pada  waktu  itu mereka  hanya  terjerat  dengan ketentuan  pengelakan  pajak  (taxevasion).  Sebenarnya  disinilah  merupakan  awal inspirasi  yang  pada  akhirnya melahirkan  istilah money  laundering  pada  tahun  1986 (USA) dan kemudian dipakai secara Internasional dan Konvensi PBB Tahun 1988. Dilihat  dari  sisi  prosesnya menurut  Yenti  Garnasih  (2006:39)  pencucian  uang dapat  dilakukan  dengan  cara  tradisional  dan  modern.  Ini  membuktikan  bahwa pencucian  uang  sudah  terjadi  sejak  lama.  Cara  modern  pada  umumnya  dilakukan dengan tahapan placement, layering, dan integration. Sedangkan cara tradisional yang terkenal dilakukan di China.  India dan Pakistan, melalui suatu  jaringan atau sindikat etnik  yang  sangat  rahasia. Di China dilakukan dengan memanfaatkan  semacam bank rahasia atau disebut hui (hoi) atau The Chinese Chip (Chop), di India dilakukan melalui sistem  pengiriman    uang  tradisional  yang  disebut  hawala,  dan  di  Pakistan  disebut hundi.  Cara-cara  tersebut  telah  dilakukan  sejak  lama  dan  diyakini  sampai  sekarang masih berlangsung. Uang  hasil  kejahatan  harus dicuci sebelum digunakan karena  ada  beberapa  kekhawatiran  para  pelaku  akan berhadapan  dengan  petugas pajak,  atau  akan  dituntut  oleh penegak  hukum  atau  bahkan  juga hasil  kejahatan  itu akan disita. Maka dengan melakukan pencucian uang pelaku kejahatan akan aman dalam  menikmati  hasil  kejahatannya  dan  juga  mempermudah  menghilangkan hubungan pelaku dengan hasil kejahatan tersebut dan ini sangat membahayakan baik secara nasional maupun global. Dari uraian singkat diatas maka penulis mencoba untuk merumuskan masalah kedalam bentuk pertanyaan.

B.Rumusan Masalah

            Agar pembahasan dalam makalah ini tidak melenceng dari garisnya, maka penulis membatasi masalah dengan beberapa pertanyaan.
1.Apa yang dimaksud dengan teroris?
2.Dimana saja aksi-aksi teroris pernah dilakukan dalam negara Republik Indonesia?
3.Ada hubungan apa kelompok teroris dengan dunia perbankan?
4.Bagaimana cara mencegah dan menanggulangi terorisme di Indonesia?

C.Sistematika Penulisan

Bab I, Pendahuluan terdiri dari:
  1. latar belakang
  2. Rumusan masalah
Bab II, Pembahasan terdiri dari:
  1. Landasan teoritis
  2. Pembahasan
Bab III, Penutup terdiri dari:
  1. Kesimpulan
  2. Saran


BAB II PEMBAHASAN

A.Landassan Teoritis

Yenti  Garnasih, (2006:39)  pencucian  uang dapat  dilakukan  dengan  cara  tradisional  dan  modern.
Hurd, 1[1] Pada prinsipnya kejahatan pencucian uang adalah  suatu  perbuatan  yang  dilakukan  untuk menyamarkan  atau menyembunyikan hasil kejahatan sehingga  tidak  tercium oleh para aparat, dan hasil kejahatan  tersebut dapat digunakan dengan aman yang seakan-akan bersumber dari jenis kegiatan yang sah.
R.  Bosworth  Davies, 2[2] pencucian uang dapat menekan  perekonomian  dan  menimbulkan  bisnis  yang  tidak  fair,  terutama  kalau dilakukan oleh pelaku kejahatan yang terorganisir.


B.Pembahasan

1.Pengertian teroris

            Menurut kamus lengkap bahasa indonesia terorisme berasal dari kata teror yang berarti mengganggu dan menciptakan ketakutan (kengerian, kecemasan dsb) yang dilakukan oleh orang atau golongan tertentu. Teroris adalah orang atau golongan yang berbuat kejam dan menimbulkan ketakutan. Sedangkan aksi terorisme adalah suatu kegiatan yang menggunakan kekerasan untuk menciptakan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan tertentu.
Perkembangan kejahatan terorisme telah menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan baik modus, kuantitas maupun kualitasnya. Dengan memanfaatkan kemampuan teknologi modern saat ini teroris dapat menghancurkan sasaran yang diijinkan dari jarak jauh, seperti telepon genggam atau bom bunuh diri seperti yang terjadi di Bali tanggal 12 Oktober 2002. Indonesia tidak lepas dari sasaran terorisme. Terungkap fakta adanya keterkaitan jaringan militan lokal dengan jaringan internasional. Selain ancaman terorisme, ancaman non tradisional lainnya yang muncul saat ini telah merebak pula lewat pintu sendi kehidupan bangsa.
Aktifitas teroris telah membidik dan memanfaatkan ideologi dan agama bagi masyarakat sebagai garapan agar memihak kepada perjuangan mereka. Namun aksi ini mendapat tanggapan beranekaragam dikalangan masyarakat, khususnya kelompok umat Islam yang sensitif terhadap isu terorisme karena dikaitkan dengan agama islam.
Menguatnya perbedaan sikap pro dan kontra sesuai tanpa memperdulikan kepentingan nasional, menimbulkan rasa saling curiga dikalangan masyarakat dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah khususnya aparat keamanan dalam menangani kasus terorisme di Indonesia.  Oleh sebab itu Pemerintah Indonesia perlu menyikapi fenomena terorisme secara arif dan bijak. Agar tidak menimbulkan sentimen negatif di kalangan masyarakat itu sendiri dan pemerintah tidak diangap diskriminatif atau muncul berbias pada permasalahan baru yang bernuansa SARA.
Implikasinya terhadap Persatuan dan Kesatuan Bangsa adalah kekhawatiran masyarakat terhadap bahaya teror bom belum bisa hilang. Hal ini apabila tidak segera ditangani secara bijak akan mempengaruhi roda perekonomian. Di sisi lain, penindakan, penangkapan atau pemeriksaan oleh aparat terhadap siapa dan organisasi yang ada di masyarakat perlu sikap hati-hati.

Dalam menangani kasus terorisme di Indonesia terdapat berbagai masalah yang dihadapi oleh pemerintah antara lain :

Lemahnya dalam penegakan hukum dan sistem keamanan kawasan, dimanfaatkan oleh para teroris untuk penyelundupan senjata api masuk ke Indonesia dengan sasaran daerah-daerah tertentu. Wilayah Thailand Selatan yang memiliki warga muslim Islam fundamentalis telah diklaim oleh Kelompok Al Jemaah Al lslamiyah sebagai bagian dan Daulah Islamiyah Nusantara. Kelompok Abu Sayyaf di Filipina disinyalir ada kaitan dengan jaringan kelompok teroris internasional dan kelompok Al Jemaah Al lslamiyah di Indonesia. Kelompok Al Jemaah Al Islamiyah yang merupakan jaringan teroris internasional lahir di wilayah Johor Malaysia pada tahun 1995. Kondisi tersebut telah memasuki cara berpikir masyarakat marginal dipedesaan.
Namun saat ini pemerintah beserta aparat keamanan dan birokrasi memiliki sikap arif, penuh ketenangan berfikir sehingga mendapatkan cara-cara yang tepat dan akurat dalam menangani terorisme. Masyarakat telah menjadi kesatuan pandang dalam menyikapi melawan terorisme. Kemampuan aparat keamanan telah dapat kerjasama dengan seluruh komponen bangsa. Penegakan hukum dapat diwujudkan dan telah dilengkapi dengan perangkat peraturan perundang-undangan, kerjasama internasional tidak menimbulkan pro dan kontra pemahaman. Kesadaran masyarakat secara aktif berbuat dan melakukan deteksi dini, identifikasi dini dan penangkalan terhadap perkembangan ancaman terorisme yang dilandasi rasa tanggung jawab dan kesadaran yang tinggi, sebagai bangsa yang bermartabat.
Dengan landasan Wawasan Nusantara yang tangguh, bangsa Indonesia diharapkan memiliki sikap mental dan perilaku yang mampu mendeteksi, mengidentifikasi, menilai dan menganalisis sejak dini secara hati-hati terhadap berbagai bentuk ancaman terutama teroris internasional di Indonesia.
Sejumlah peristiwa terorisme menunjukkan adanya mata rantai antara kelompok dalam dan luar negeri. Dari hasil pengungkapan kasus di Indonesia merupakan jaringan teroris Internasional dimana keberadaanya dengan segala aktifitasnya tidak dapat terdeteksi secara dini sehingga sulit untuk dicegah dan ditangkal. Dan disinilah salah satu fungsi penting hukum pidana yang memberikan dasar legitimasi bagi tindakan represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang mengancam dan membahayakan, serta merugikan kepentingan umum. Ia memberikan mandat kepada negara untuk melindungi masyarakat luas dari perbuatan orang per orang atau kelompok orang yang hak-haknya terlanggar di satu sisi, dan memberi kewenangan kepada negara untuk menghukum orang yang tindakannya melanggar hukum. 






2.Aksi-aksi teroris di Indonesia

Berbagai peristiwa pengeboman yang dilakukan teroris dengan memakan korban jiwa dan merusak sarana dan prasarana di Indonesia antara lain :
1998, di Gedung Atrium Senin, Jakarta
1999, di Plaza Hayam Wuruk dan Masjid Istiqlal Jakarta.
2000, di Gereja GKPI dan Gereja Katolik Medan serta rumah Dubes Filipina
2000 dan 2001, Peledakan di beberapa Gereja di malam Natal.
2002, Peledakan di Kuta Bali, Mc Donald Makasar
2003, Peledakan di JW Marriot
2004, Peledakan di Kedubes Australia
2005. Peledakan bom Bali II
Aksi teror tersebut bila terus berlanjut akan dapat mengancam stabilitas politik dan keamanan yang pada gilirannya akan menghambat kelancaran pembangunan nasional.


3.Hubungan terorisme dengan perbankan

Perbuatan pencucian uang pada umumnya diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan untuk mengubah hasil kejahatan seperti hasil korupsi, kejahatan narkotika, perjudian,  penyelundupan,  dan  kejahatan  serius  lainnya,  sehingga  hasil  kejahatan tersebut menjadi  nampak  seperti  hasil  dari  kegiatan  yang  sah  karena  asal  usulnya sudah disamarkan atau disembunyikan.1[1] Pada prinsipnya kejahatan pencucian uang adalah  suatu  perbuatan  yang  dilakukan  untuk menyamarkan  atau menyembunyikan hasil kejahatan sehingga  tidak  tercium oleh para aparat, dan hasil kejahatan  tersebut dapat digunakan dengan aman yang seakan-akan bersumber dari jenis kegiatan yang sah.
Perbuatan pencucian uang  tersebut adalah sangat membahayakan baik dalam tataran nasional maupun  internasional, hal ini dikarenakan pencucian uang merupakan sarana bagi pelaku kejahatan untuk melegalkan uang hasil kejahatannya dalam rangka menghilangkan jejak. Selain itu, nominal uang yang dicuci biasanya  luar  biasa  jumlahnya,  sehingga  dapat  mempengaruhi  neraca  keuangan nasional  bahkan  global,  dan  kejahatan  ini  menurut  R.  Bosworth  Davies,2[2]  dapat menekan  perekonomian  dan  menimbulkan  bisnis  yang  tidak  fair,  terutama  kalau dilakukan oleh pelaku kejahatan yang terorganisir dalam tulisan ini ditujukan kepada teroris. Pelaku kejahatan ini menurut David motifasinya hanya ingin menikmati akses yang ada untuk mendapatkan keuntungan dan mengubah uang mereka menjadi sah. Perbuatan seperti  ini semakin meningkat  manakala  para  pelaku  menggunakan  cara-cara  yang  lebih  canggih (sophisticated  crimes)  dengan  memanfaatkan  sarana  perbankan  ataupun  non perbankan  yang  juga  menggunakan  teknologi  tinggi  yang  memunculkan  fenomena cyber laundering.
Berdasarkan hal  tersebut di  atas,  Indonesia pada  tahun 2002  telah melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang yaitu dengan diundangkannya UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak  Pidana  Pencucian Uang  (UUTPPU). Bermula dari payung  hukum inilah  perhatian  terhadap  praktik  pencucian  uang  di  Indonesia  nampak meningkat, meskipun  sebelumnya  sempat  terjadi  polemik  mengenai  perlu  tidaknya  segera melakukan kriminalisasi terhadap kejahatan pencucian uang.
Dengan  awal  pengaturan  anti  pencucian  uang  di  Indonesia  yang masih banyak kelemahan,  maka  dalam  amandemen  pertama  definisi  yang  sebelumnya  tidak dicantumkan, maka dicantumkan dalam Pasal 1angka (1) UU No. 25 Tahun 2003 yang isinya  sebagai  berikut  :    Pencucian  uang  adalah  menempatkan,  mentransfer, membayarkan,  membelanjakan,  menghibahkan,  menyumbangkan,  menitipkan, membawa  ke  luar  negeri, menukarkan  atau  perbuatan  lainnya  atas  harta  kekayaan yang diketahuinya  atau patut diduga merupakan hasil  tindak pidana dengan maksud untuk  menyembunyikan,  atau  manyamarkan  asal  usul  harta  kekayaan  sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah”.
Dari  definisi  tersebut  di  atas,  tampak  ciri  dari  kejahatan  ini,  yaitu  bahwa kejahatan  ini  bukan  kejahatan  tunggal  tetapi  kejahatan  ganda.  Pencucian  uang merupakan kejahatan yang bersifat  follow up crime atau kejahatan  lanjutan atas hasil kejahatan  utama  (core  crime).  Penentuan  core  crime  dalam  pencucian  uang  pada umumnya  disebut  sebagai  predicate  offence  atau  unlawful  actifity  atau  predicate offense,  yaitu menentukan  jenis  kejahatan  apa  saja  yang  hasilnya  dilakukan  proses pencucian  uang.  Selain  itu  dalam  kejahatan  pencucian  uang  terdapat  dua  kelompok pelaku  yaitu  kelompok  yang  berkaitan  langsung  dengan  core  crime  yang  disebut principle  violater  dan  kelompok  kedua  yang  sama  sekali  tidak  berkaitan  langsung dengan core crime misalnya penyedia jasa keuangan, baik lembaga perbankan maupun non perbankan, akuntan atau bahkan para lawyer. Kelompok kedua ini disebut sebagai aiders atau abettors.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan terorisme dengan dunia perbankan adalah dimana lembaga keuangan sebagai tempat transaksi keuangan termasuk untuk para penjahat melancarkan aksi melakukan pencucian uang hasil kejahatan sehingga uang itu seolah-oleh diperoleh dengan hasil yang bersih dan halal menurut hukum.

4.Pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia

Membendung langkah teroris di Indonesia, perlu melihat secara obyektif karakteristik daerah, potensi yang dimilki dan aspek yang mempengaruhi. Seberapa besar peranan masing-masing instansi terkait, aparat keamanan dan seluruh komponen masyarakat termasuk tingkat kewaspadaan bela lingkungan terhadap bahaya terorisme harus terukur dan teruji. Segala upaya untuk menghadang tindakan terorisme harus dilandasi tanpa mengorbankan kepentingan nasional dan sensitifitas SARA, pada hakekatnya kemajemukan identitas NKRI harus tetap terjaga. Untuk menengarai, menuduh bahkan menangkap sekalipun terhadap seseorang atau kelompok orang adalah teroris, baik teroris lokal maupun teroris internasional tidak mudah. Memerlukan data akurat dan pencermatan indikasi-indikasi dalam kurun waktu yang relatif panjang. Dengan mencermati apa yang telah terjadi modus operandi tindak kejahatan terorisme berupa bom-bom yang sudah meledak, temuan bom yang belum meledak dan perangkat yang digunakan terorisme serta tempat persembunyian kaum teroris.
. Guna merumuskan konsepsi pencegahan dan penanggulangan terorisme dalam rangka menjaga tetap tegaknya keutuhan NKRI secara komprehensif dan integral, maka diperlukan analisa dari berbagai aspek tinjauan yang terkait dan saling mempengaruhi yaitu, antara lain:
a.Tinjauan Dari Aspek Politik.
Aksi teror tidak tidak mengenal diskriminatif target, membuat keharusan membangun sistem keamanan terhadap manusia dan obyek vital baik militer maupun non militer di banyak negara. Dampak terorisme di bidang politik, antara lain :
Berbagai kerja sama internasional dikembangkan untuk mendesak langkah kooperatif dalam melawan terorisme. Perang melawan terorisme, perdebatan politik terjadi di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, antara upaya membangun sistem keamanan dengan pembatasan kebebasan di satu sisi dan antara sistem keamanan nasional dengan multi nasional di sisi lainnya. Lepas dari pertarungan politik dalam dan luar negeri, sentimen baru melawan terorisme telah membuka babak baru perkembangan arah poltik dunia. Indonesia perlu mewaspadai dan harus ada upaya pencegahan adalah ketika para teroris internasional memanfaatkan kondisi politik atau sosial budaya dalam negeri saat ini, masih rentan terhadap SARA, keniscayaan kebhinekaan NKRI terancam.
Perdebatan tentang adanya bahaya terorisme berlangsung diwarnai nuansa politis. Hal demikian masih dalam kewajaran, karena masyarakat Indonesia sedang dalam transisi perubahan menuju masyarakat yang demokratis, bebas menyatakan pendapatnya. Wacana politik apapun yang terjadi, yang penting adalah politik kontrol tidak membiarkan peredaran bahan peledak, pengawasan keimigrasian dan kepabeanan merupakan langkah politik praktis yang tepat pada saat ini serta di masa datang

b.Tinjauan Dari Aspek Ekonomi.
Jaringan teroris sangat memerlukan sumber dana maupun sumber daya manusia untuk melakukan aksinya. Dana merupakan satu hal penting, bukan hanya untuk pembelian senjata, alat-alat penghancur bahan peledak untuk bom, tetapi juga untuk mempertahankan hidup sel-sel pengikutnya. Dana didapatkan dari kegiatan ilegal perdagangan, prostitusi, judi dan sebagainya. Melalui pencucian uang hasil kejahatan komersial, penyelundupan dan korupsi, dana menjadi bersih asal usulnya, sah dan sulit ditelusuri. Mengingat sangat kompleksnya masalah pencucian uang karena terkait dengan pendeteksian dini dan harus dilakukan secara tertutup, maka institusi intelijen sangat diperlukan di dalam perumusan pencegahan terhadap kejahatan terorganisir.

c.Tinjauan Dari Aspek Sosial Budaya dan Agama.
Aksi terorisme belum dapat dihentikan, artinya sekalipun perang melawan terorisme gencar dilaksanakan dan agenda hubungan internasional untuk komitmen bersama melawannya, serangan terorisme terus berlangsung. Terorisme tegas dinyatakan tidak bisa dikaitkan dengan agama tertentu, karena semua agama mengutuk terorisme. Namun untuk melawan terorisme tidak salah bila menggunakan metoda lain yaitu menggunakan soft power persuasif antara lain mengikut sertakan tokoh-tokoh agama dalam upaya menetralisir pembibitan dan peneyebaran ajaran radikalisme.
Keberhasilan Indonesia dalam membongkar sejumlah aksi teror selama ini, tidak berarti pada kesimpulan akhir bahwa penganut agama Islam memiliki pemikiran sama terhadap pemahaman terorisme yang berkembang di Indonesia. Perang melawan terorisme harus dilihat sebagai perang gagasan yang mengarah pada memenangkan pikiran dan hati masyarakat untuk tidak simpati dan tidak mendukung gagasan para teroris.
Hal demikian harus dilaksanakan secara serempak dengan memusatkan faktor-faktor terkait seperti kemiskinan, pendidikan dan masalah sosial lainnya. Gerakan reformasi politik dan ekonomi sedang berlangsung di Indonesia, namun hasilnya belum maksimal bahkan aksi-aksi ketidak puasan terhadap tatanan politik dan ekonomi bermunculan berupa unjuk rasa anarkhis.

d.Tinjauan Dari Aspek Kemajuan Teknologi.
Bagi kaum teroris menjalin komunikasi dengan dunian luar melalui internet, merupakan sarana utamanya, melalui pembuatan situs online maka komunikasi lintas negara dapat dilakukan dengan leluasa tanpa diketahui siapa, apa dan bagaimana, kecuali hanya kelompok jaringannya yang dapat mengerti. Teknologi cyber (dunia maya) dimanfaatkan untuk tindak kejahatan cyber crime dengan istilah hacking, carding dan hosting serta penyebar luasan artikel melalui situs jihad.
Sebagai contoh carding, pencurian data dan dana kartu kredit melalui jaringan internet. Inilah yang disebut pergeseran modus dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Untuk mencegah cybercrime antara lain dapat dilakukan dengan cyberpatrol di dunia maya juga.
Namun hingga kini, aparat keamanan dan intelijen masih banyak kekurangan yang dihadapi, belum memiliki pegangan security management, termasuk peralatan pengamanannya. Disamping itu kelemahan lain yang harus ditinggalkan yaitu belum adanya konsistensi dan keseriusan dalam mencegah terjadinya aksi terorisme oleh semua pihak. Sinergitas instansi lainnya seperti bea cukai, imigrasi, perhubungan dan keuangan/perbankan sangat diperlukan guna pencegahan terorisme di Indonesia.

e.Tinjauan Dari Aspek Kebijakan.
Untuk melawan terorisme membutuhkan sebuah kebijakan penanggulangan terorisme yang bersifat komprehensif baik dalam tataran kewenangan maupun pelaksanaan kontra terorisme yang bersifat umum dan menyeluruh. Diperlukan cakupan dua bidang kebijakan namun bersamaan dalam melawan terorisme di Indonesia, yaitu :
1.   Kebijakan utama yang merupakan pencegahan untuk menghilangkan peluang bagi tumbuh suburnya terorisme di dalam sendi kehidupan masyarakat pada aspek keadilan, demokrasi, kesenjangan, pengangguran, kemiskinan, budaya KKN, kekerasan dan sebagainya.
2.   Kebijakan yang melahirkan aturan-aturan untuk mempersempit peluang terjadinya aksi teror dalam artian mempersempit ruang maupun sumber daya teroris.
3.   Kebijakan yang merupakan instrumen yang menitik beratkan pada aspek penindakan diwujudkan dalam deteksi dini, cegah dini dan respon cepat terhadap indikasi dan aksi-aksi teror, yang menuntut profesionalitas dan proporsionalitas bagi instrumen penindak yang diberi wewenang. Penindakan terhadap teror harus dilakukan, namun tetap menjunjung tinggi regulasi mengenai code of conduct atau rule of engagement, sehingga apapun tindakan yang dilakukan melawan terorisme akan terbebas dari persoalan pro dan kontra dalam opini masyarakat.
4.   Kebijakan, strategi, metoda, teknik, taktik dan pendekatan untuk mengatasi terorisme yang diterapkan tentunya akan berbeda dari satu negara dibanding negara lainya, mengingat adanya perbedaan pula bentuk atau style kelompok teroris yang disebabkan oleh adanya motif-motif terorisme seperti separatis, anarkhis, dissidents, nasionalis, marxist revolusioner atau religius. Perbedaan penanganan juga disebabkan oleh perbedaan kondisi daerah, budaya, adat/istiadat, hukum, sumber daya serta kemampuan satuan anti teror yang tersedia. Indonesia dalam memerangi terorisme harus mempertimbangkan kondisi yang berlaku terutama bidang hukum, sosial dan budaya bangsa, bila tidak justru akan menciptakan kondisi yang kontra produktif.

f.Tinjauan Dari Aspek Implementasi Penanggulangan Terorisme.
Impelementasi memerangi aksi terorisme dilakukan melalui upaya-upaya reprsif, preventiv, preemtif, resosialisasi dan rehabilitasi serta pengembangan infra struktur pendukung. Terdapat beberapa hambatan dalam pemberantasan terorisme bahwa:

Kedua hal tersebut menimbulkan keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik memerangi terorisme. Diperlukan resosialisasi, reintegrasi dan sekaligus keteladanan bahwa:

Sebaliknya diperlukan keberanian masyarakat luas untuk segera melaporkan bila menemukan indikasi atau kejadian-kejadian yang mengarah pada tindakan terorisme. Bertolak dari berbagai kegiatan yang dilakukan dalam implementasi strategi serta besaran, luas dan kompleksitas dampak teorisme, untuk dapat mengatasinya dipersyaratkan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh Pemerintah dan Organisasi/Satuan Anti Teror. Bahwa perang melawan terorisme perlu dilakukan secara terkoordinasi lintas instansi, lintas nasional dan secara simultan bersifat represif, preventif, preemtif maupun rehabilitasi

Konsepsi pencegahan dan penanggulangan terorisme
Kebijakan.
”Pemerintah melakukan pencegahan dan penanggulangan ancaman terorisme internasional maupun lokal yang berkolaborasi dengan terorisme internasional dalam rangka melindungi keselamatan WNI, dengan :

Strategi.
Dengan berpedoman pada kebijaksanaan tersebut di atas dan untuk mewujudkan kemampuan segenap komponen bangsa dalam deteksi dini, penangkalan dini, dan pencegahan dini serta tindakan dini terhadap segala bentuk ancaman aksi Terorisme, maka dikembangkan strategi digunakan :

Strategi Jangka Pendek :
Peningkatan kualitas dan kapasitas aparat dalam melakukan deteksi dan penangkalan dini terhadap perkembangan ancaman Terorisme di Indonesia. Sasaran yang ingin dicapai dalam penerapan strategi ini adalah:

Strategi Jangka Panjang :
Peningkatan kualitas dan kapasitas aparat dalam melakukan pencegahan dan penindakan dini terhadap perkembangan ancaman Terorisme di Indonesia. Sasaran yang ingin dicapai dalam penerapan strategi ini adalah:

Upaya dalam Strategi Jangka Pendek :
Peningkatan kualitas dan kapasitas aparat pemerintah.
1.Untuk mewujudkan kesamaan persepsi bangsa tentang Terorisme.

2.Untuk membentuk kepribadian komponen bangsa yang pancasilais, diupayakan melalui:
3.Untuk membentuk jiwa nasionalisme diupayakan melalui kegiatan:
4.Untuk mewujudkan Disiplin Nasional diupayakan melalui:
  1. Pendidikan formal, harus dilakukan pemerintah dengan memberikan muatan materi pengetahuan pada kurikulum pendidikan meliputi mata pelajaran Kewarganegaraan, Kewiraan, Tata Krama dan Budi Pekerti sesuai dengan tingkat pendidikan mulai dan tingkat pendidikan dasar sampai dengan universitas
  2. Pendidikan non formal, dilakukan oleh pemerintah dengan melaksanakan kegiatan penyuluhan dan sosialisasi dengan materi penyajian tentang Peraturan Perundang-Undangan.

Upaya dlm Strategi Jangka Panjang :
Peningkatan kualitas dan kapasitas aparat dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan dini terhadap perkembangan ancaman Terorisme di Indonesia.
1.Untuk memelihara dan meningkatkan keberanian komponen bangsa, diupayakan melalui kegiatan:
2.Untuk membentuk komitmen yang kuat bagi segenap komponen bangsa, diupayakan melalui kegiatan:

3.Mewujudkan perangkat nasional yang mampu menjalankan fungsi dan peranannya dengan melakukan refungsionalisasi dan revitalisasi sebagai berikut:

4.Untuk meningkatkan peran serta segenap komponen bangsa ditempuh melalui upaya pemberdayaan masyarakat dengan melakukan kegiatan:

























BAB III PENUTUP

A.Kesimpulan
Pencegahan dan penanggulangan terorisme membutuhkan suatu kejasama secara menyeluruh. Selain kualitas dan kuantitas aparat yang telah dibentuk pemerintah juga perlu adanya dukungan terhadap kepedulian masyarakat, karena dengan melibatkan masyarakat penanggulanan dan pencegahan secara dini terhadap seluruh aksi atau kegiatan terorisme dapat dengan mudah diatasi.
Sistem pertahanan dan keamanan semesta dimana TNI dan Polri merupakan elemen utama dalam menghadapi aksi kejahatan terotisme harus selalu melakukan koordinasi dengan instansi-instansi pemerintah lainnya atau dengan swasta atau elemen sipil lainnya karena dukungan dan koordinasi dalam mendeteksi dan mengatasi berbagai permasalah teroris akan mudah diatasi
Didalam pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia dibutuhkan suatu badan ekstra semacam lembaga anti terorisme nasional yang pengawakannya ditangani secara terpadu antara TNI dan Polri serta unsur masyarakat dengan dibawah satu komando pengendali.
Selain peningkatan kerjasama baik antara lembaga didalam negeri perlu juga adanya kerjasama dengan lembaga-lembaga anti terorisme yang berada diluar negeri yang tentunya didasari oleh kerangka hukum, karena dengan dasar hukum yang kokoh akan menjadi dasar kebijakan nasional dan tindakan kita dalam memerangi terorisme. Selain itu dengan dasar hukum yang kuat diharapkan mampu melindungi berbagai kepentingan baik kepentingan publik maupun hak-hak asasi manusia.

B.Saran
Rangkaian tindakan terorisme di Indonesia telah menelan banyak korban jiwa dan harta benda serta menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Mengungkap dan mendeteksi secara dini setiap aksi terorisme disarankan :Dalam rangka mencegah dan menanggulangi terorisme perlu segera adanya kerjasama menyeluruh antara aparat baik TNI maupun Polri serta dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat mulai tingkat RT dan RW.Pemerintah perlu melakukan penyuluhan dan sosialisasi tentang bahaya ancaman terorisme yang dimulai dari para tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda serta kepada lapisan masyarakat paling bawah.
Pemerintah bersama DPR perlu segera melakukan penyempurnaan-penyempurnaan undang-undang yang berkaitan dengan tindakan tindak pidana terorisme karena hal ini merupakan fondasi hukum yang kokoh dalam melindungi segala kepentingan masyarakat maupun hak-hak asasi manusia. Pemerintah perlu segera meningkatkan kerjasama dengan negara-negara didunia dalam mencegah dan menanggulangi segala bentuk tindakan terorisme karena kegiatan terorisme di Indonesia sangat berkaitan dengan kegiatan terorisme internasional.

makalah hukum penentensier

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
Dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di zaman reformasi sekarang ini maka, untuk memperoleh suatu barangpun telah menjadi mudah. Salah satu layanan yang memberikan kemudahan bagi kita semua adalah media internet. Di internet semua bisa kita temukan. Mulai dari ilmu pengetahuan, hiburan, mode pakaian, dan masih banyak lagi, termasuk juga masalah criminal.
Oleh karena itu untuk memperoleh apa saja yang dicari tidak bisa terlepas dari namanya uang. Uang dizaman sekarang ini termasuk sumber utama dalam meneruskan kelangsungan hidup. Dengan uang kita bisa belanja, dengan uang kita bisa menikmati pendidikan, dengan uangpun kita juga bisa memenuhi kebutuhan hidup.
Bila ada orang yang tak memiliki uang barang tentu ia akan mencari dimana dan bagaimana memperoleh yang namanya uang. Mungkin sebagian golongan yang mempunyai pekerjaan tetap mereka tidak akan khawatir akan kekurangan uang namun bagi golongan lain yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan bisa disebut pengangguran mereka akan tetap berusaha mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Apapun bisa dan mau orang lakukan asalkan yang dikerjakan menghasilkan uang, termasuk melakukan kejahatan. Dalam hal ini penulis berupa menganalisa kritis tentang kejahatan pencurian menurut KUHP.

  1. Perumusan Masalah
1.Bagaimana analisis kritis kejahatan tentang pencurian dalam KUHP?
2.Sudah sesuaikah hukuman yang diberikan dengan perbuatan yang dilakukan?






BAB II
POKOK BAHASAN

Pencurian berasal dari kata curi yang berarti mengambil. Orang yang melakukan pencurian disebut pencuri. Sedangkan kegiatan yang dilakukan inilah disebut pencurian. Menurut saya, pencurian adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih, dengan maksud mengambil sebagian atau keseluruhan barang/harta orang lain untuk dikuasai tanpa diketahui oleh pemilik barang, pada waktu tertentu dalam suatu rumah atau perkarangan dengan cara merusak, memotong, memanjat, pakai anak kunci palsu,perintah palsu dan jabatan palsu.
Menurut pasal 362 KUHP barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena  pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.
Bagian terbesar tentang perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana adalah perbuatan aktif atau perbuatan materil yaitu, untuk mewujudkannya diisyaratkan menyebutkan bentuknya secara tegas/kongkret dan bisa juga dengan menyebutkan bentuknya saja tanpa menyebutkan cara / upaya melakukannya seperti mengambil.
Dalam menjatuhkan pidana pencurian, hak negara dibatasi. Negara tidak boleh menjatuhkan pidana pencurian :

Serta dibatasi dalam hukum formil artinya, tindakan – tindakan nyata negara sebelum, pada saat dan setelah menjatuhkan pidana serta menjalankanya itu diatur dan ditentukan secara rinci dan cermat, yang pada garis besarnya berupa tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dengan pembuktian dan pemutusan kemudian barulah vonis dijalankan. Perlakuan-perlakuan negara terhadap pelanggaran harus menurut aturan yang telah ditetapkan dalam hukum pidana formil tersebut.
Hukum pidana materil merumuskan terutama bermacam-macam perbuatan yang dilarang untuk dilakukan (termasuk mewajibkan orang dalam keadaan-keadaan tertentu untuk berbuat tertentu) apabila larangan itu dilanggar atau kewajiban hukum itu tidak ditaati, kepada mereka, pembuat ini, dapat dijatuhi pidana sesuai yang diancam pada laragan tersebut. Misalkan larangan mencuri (362) ini. Pasal  362 adalah melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum orang atas hak milik kebendaan pribadi.
Alat atau upaya untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana ini berupa sanksi pidana (straf). Sanksi pidana ini merupakan suatu sanksi yang sangat keras dan tajam. Wujudnya tidak lain berupa penyerangan terhadap kepentingan hukum seseorang sehingga sering disebut dengan pembebanan atau pemberian penderitaan (sengaja). Dengan cara petindak dimasukan kepenjara melalui vonis bersalah oleh hakim, perlindungan hukum terhadap hak milik kebendaan pribadi pada pencurian (pasal 362) dilakukan dengan menetapkan ancaman pidana berupa penjara maksimum lima tahun.
Bila telah terjadi pemerkosaan atas kepentingan hukum yang dilindungi dalam pasal 362 KUHP, diminta atau tidak oleh korban atau keluarga korban, negara tetap akan dan harus melakukan perbuatan-perbuatan untuk mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi tadi.
Negara dalam menjalankan hukum pidana (hukum pidana materil) tidak lain adalah dengan melanggar hukum pidana itu sendiri. Negara menjalankan norma pasal 362 KUHP berarti negara mempertahankan dan melindungi kepentingan hukum atas hak milik kebendaan pribadi. Negara telah melanggar hak kebebasan pribadi yang justru dilindungi oleh hukum pidana itu sendiri sebagaimana dituangkan dalam pasal 333 KUHP, inilah keistimewaan hukum pidana dibandingkan dengan hukum lainnya.







BAB III
KESIMPULAN  DAN SARAN

  1. KESIMPULAN
Apabila dalam persidangan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum menurut hakim telah terbukti secara sah dan meyakinkan, hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana pokok, sesuai dengan jenis dan batas maksimum khusus yang diancamkan pada pidana yang bersangkutan, artinya tidak bisa menjatuhkan jenis pidana pokok yang lain.
Tindak pidana dengan dua atau lebih jenis pidana pokok hanya bersifat alternatif saja. Yang berarti hakim harus memilih salah satunya saja dari pidana tersebut. Prinsip dasar  jenis pidana pokok ini hanya berlaku pada tindak pidana umum yang bersumber dalam KUHP.
Sebagaimana dalam Memorie van Toelichting (WvT) WvS Belanda bahwa menjatuhkan dua jenis pidana pokok secara bersamaan tidak dapat dibenarkan karena pidana perampasan kemedekaan itu mempunyai sifat dan tujuan berbeda dengan jenis pidana denda (Lamintang:1984:47)

  1. SARAN
Dalam penjatuhan hukuman kepada pencuri hendaknya seorang hakim mempertimbangkan beberapa hal berikut :
  1. tergolong pencurian apa yang dilakukan pencuri.
  2. penyebab ia melakukan pencurian.
  3. orang yang melakukan pencurian termasuk recidiv atau bukan.
  4. serta ketika pencuri melakukan pencurian, adakah perbuatan lain yang timbul untuk mempermudah jalannya pencurian.

Hal ini menurut saya perlu dilakukan agar hakim tidak sewenang-wenang dalam memutuskan setiap perkara pencurian. Dan hakim harus selalu menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat selain aturan dalam KUHP untuk memutuskan suatu perkara yang disidangkan.

Selasa, 15 Februari 2011

makalah hukum ketenagakerjaan

BAB I
PENDAHULUAN


            Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan (Machtsstaat), demikian ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut mengandung arti bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum. Sebagai suatu negara hukum, menghendaki agar segala kekuasaan dan wewenang harus selalu dilaksanakan berdasarkan hukum dengan tidak pandang bulu, tidak membedakan golongan, suku, keturunan, agama, dan status sosial. Hukum harus ditegakkan dan selalu dihormati serta ditaati, tanpa pengecualian apakah warga masyarakat ataupun penguasa negara, dalam hal mana segala perbuatan atau tindakannya harus didasarkan pada hukum.
            Telah disadari bahwa tanpa tersedianya perangkat aturan hukum, kehidupan masyarakat akan kacau balau, tidak ada ketenteraman dan sulit untuk dikendalikan. Tidak jarang dalam suatu kehidupan masyarakat atau negara timbul pertetangan atau benturan-benturan kepentingan. Oleh karena itu kehadiran hukum dalam kehidupan masyarakat atau bernegara adalah merupakan faktor yang menentukan selain faktor-faktor yang lainnya, karena dengan adanya seperangkat aturan hukum, maka timbul batasan-batasan dalam kehidupan masyarakat yang akan menjadikan suasana lebih terarah, stabil, tenteram, dan dapat dikendalikan.
            Demikian pula di dunia perusahaan, suatu peraturan dibutuhkan untuk mengatur hubungan kerja antara buruh dan majikan. Pada dasarnya yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah hubungan antara buruh dan majikan, yang terjadi setelah diadakannya perjanjian oleh buruh dengan majikan dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan dimana majikan manyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah, perjanjian yang demikian disebut perjanjian kerja.

Dalam perjanjian kerja harus diadakan secara tertulis, yang memuat diantaranya sebagai berikut :
a. macam pekerjaan;
b. lamanya perjanjian itu berlaku;
c. besarnya upah yang diterima;
d. lamanya waktu istirahat (cuti);
            Kemudian dalam lapangan hukum, dikenal berbagai macam peraturan-peraturan hukum yang salah satu diantaranya adalah Hukum Perburuhan.
Hukum Perburuhan adalah himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak, yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.

Tentang tujuan diadakan hukum perburuhan Iman Soepomo mengatakan sebagai berikut :

            Dalam hubungan Industrial Pancasila ditegaskan, baik pengusaha, majikan, dan buruh mempunyai hubungan sederajad, artinya antara pengusaha dengan buruh merupakan suatu partner dalam berproduksi, merupakan satu mitra dalam menanggung kerugian. Maka dari itu dalam kehidupan sehari-hari tidak menutup kemungkinan terjadinya perselisihan hubungan kerja atau yang sering disebut dengan perselisihan hubungan industrial. Dalam Undang-undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bahwa yang dimaksud dengan perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
            Setiap perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit dan jika perundingan mencapai hasil dibuatkan persetujuan bersama (PB) dan apabila tidak tercapai kesepakatan maka dapat dilakukan upaya Mediasi, Konsiliasi atau Arbitrase.
            Penggunaan upaya-upaya tersebut di atas, dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial sangatlah jarang digunakan. Banyak pekerja dan bahkan pengusaha yang tidak mengetahui mengenai seluk beluk arbitrase. Mendasarkan pada uraian tersebut di atas, maka penulis berkeinginan untuk mengetahui secara mendalam mengenai penyelesaian hubungan industrial ke dalam bentuk penulisan makalah yang berjudul “PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN KERJA”.


B. Perumusan Masalah

Berpijak pada uraian latar belakang di atas, maka dalam makalah ini permasalahan yang akan dibahas adalah ”Bagaimana penyelesaian perselisihan hubungan kerja?”

















BAB II
PEMBAHASAN

A. LANDASAN TEORITIS

menurut Imam Soepomo “Pekerja atau buruh adalah seseorang yang bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah”.

menurut Philipus : Selalu dikaitkan dengan kekuasaan yang selalu menjadi perhatian yakni kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah) , terhadap pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi, permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi si lemah (ekonomi) terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja terhadap pengusaha.

Menurut Zainal Asikin, perlindungan bagi buruh sangat diperlukan mengingat kedudukannya yang lemah., disebutkan “perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis”

menurut Uwiyono “Perselisihan hubungan industrial dibedakan atas bagian besar yaitu pertama perselisihan hak atau hukum (conflict of rights) dan kedua perselisihan kepentingan(conflict of interest)“.






            Dalam kehidupannya manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam. Untuk dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk bekerja, baik bekerja yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Pekerjaan yang diusahakan sendiri adalah bekerja atas usaha modal dan tanggungjawab sendiri. Sedang bekerja pada orang lain adalah bekerja dengan bergantung pada orang lain , yang memberikan perintah dan mengaturnya , karena itu ia  harus tunduk dan patuh pada orang lain yang memberikan pekerjaan tersebut.
            Pekerja atau buruh adalah seseorang yang bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah.[1] Sedangkan menurut Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
            Hubungan kerja ini pada dasarnya adalah hubungan antara buruh dengan majikan setelah adanya perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu , si buruh mengikatkan dirinya pada pihak lain, si majikan untuk bekerja dengan mendapatkan upah , dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan si buruh dengan membayar upah.
            Dalam hubungan antara pekerja / buruh dengan pemberi kerja atau pengusaha secara yuridis pekerja adalah bebas karena prinsip di negara Indonesia tidak seorangpun boleh diperbudak maupun diperhamba, namun secara sosiologis pekerja ini tidak bebas karena pekerja sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup yang lain selain tenaganya. Terkadang pekerja dengan terpaksa menerima hubungan kerja dengan pengusaha meskipun memberatkan bagi diri pekerja itu sendiri, lebih-lebih lagi pada saat ini banyaknya jumlah tenaga kerja yang tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Akibatnya tenaga buruh seringkali diperas oleh majikan atau pengusaha dengan upah yang relatif kecil.
            Dalam hal ini pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan untuk melindungi pihak yang lemah yaitu si buruh dari kekuasaan pengusaha guna menempatkan buruh pada kedudukan yang layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Dengan perkataan lain pemerintah telah ikut campur tangan dalam memberikan perlindungan hukum.
            Perlindungan hukum menurut Philipus : Selalu dikaitkan dengan kekuasaan yang selalu menjadi perhatian yakni kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah) , terhadap pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi, permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi si lemah (ekonomi) terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja terhadap pengusaha.[2]
            Menurut Zainal Asikin, perlindungan bagi buruh sangat diperlukan mengingat kedudukannya yang lemah., disebutkan “perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis”.[3]
            Sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia lain, maka merupakan suatu hal yang wajar jika dalam interaksi tersebut terjadi perbedaan paham yang mengakibatkan konflik antara satu dengan yang lain. Mengingat konflik merupakan sesuatu yang lumrah, yang penting adalah bagaimana meminimalisir atau mencari penyelesaian dari konflik tersebut, sehingga konflik yang terjadi tidak menimbulkan ekses-ekses negatif. Demikian juga dalam bidang ketenagakerjaan, meskipun para pihak yang terlibat didalamnya sudah diikat dengan perjanjan kerja namun konflik masih tetap tidak dapat dihindari.
            Masalah perbedaan kepentingan antara pekerja dengan pengusaha dalam hubungan kerja akan tetap ada walaupun mereka telah terikat oleh kesepakatan kerja bersama. Pada dasarnya pekerja berkepentingan untuk mendapatkan pekerjaan dengan imbalan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan pekerja dan keluarganya. Sebaliknya kepentingan pengusaha antara lain adalah untuk mengembangkan usahanya dengan mempekerjakan pekerja. Oleh karena itu kepentingan yang berbeda ini tidak boleh dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, tetapi sebagai suatu perbedaan  yang saling melengkapi dan mendorong para pihak untuk bertemu dalam suatu hubungan kerja walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa konflik dapat saja terjadi karena kepentingan itu.
           
            Perselisihan hubungan kerja dapat terjadi disebabkan setidaknya oleh dua faktor, yakni pertama sebagai akibat terjadinya perbedaan paham tentang pelaksanaan hukum perburuhan. Kedua, yang diawali dengan pelanggaran hukum sebagai akibat tejadinya pembedaan perlakuan pekerja yang bersifat diskriminatif oleh pengusaha.
Perselisihan hubungan industrial tersebut, baik menurut Uwiyono maupun Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 dibedakan atas bagian besar yaitu pertama perselisihan hak atau hukum (conflict of rights) dan kedua perselisihan kepentingan(conflict of interest) . Akan tetapi adapula ahli hukum perburuhan, yang membedakan perselisihan hubungan industrial dalam empat bagian yaitu pertama perselisihan hukum kolektif, kedua perselisihan hukum individual, ketiga perselisihan kepentingan kolektif, keempat perselisihan kepentingan individual.
           
            Dari pendapat ahli hukum perburuhan Uwiyono maupun Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tersebut, dapat diketahui bahwa dalam Perselisihan hak, hukumnya dilanggar, tidak dilaksanakan, atau ditafsirkan secara berbeda. Sedangkan dalam perselisihan kepentingan, hukumnya belum ada melainkan baru akan dibentuk atau ditentukan oleh para pihak secara bersama. Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial lama, melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, diatur dan berdasarkan UU Nomor 13 tahun 2003 cenderung berbelit-belit dan dapat memakan waktu yang cukup lama karena tidak ditentukan tenggang waktu batas penyelesaiannya, dan tidak ada jaminan kepastian hukum.
           
            Secara umum adapun mekanisme baru penyelesaian perselisihan hubungan industrial, berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, secara institusional, dapat diselesaikan baik melalui pengadilan yakni pengadilan hubungan industrial dan di luar pengadilan (out of court) seperti mediasi, konsiliasi dan arbitrase, dan ada kepastian waktu penyelesaian perselisihan tersebut, yakni harus dapat dilakukan paling lama 120 (seratus dua puluh) hari.

1. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

Sedangkan Penyelesaian Perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

Adapun mekanisme penyelesaian Perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

            Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase menurut ketentuan Pasal 1 butir 15 UU No. 2 Tahun 2004 adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Berdasarkan ketentuan Pasal 2, jenis perselisihan hubungan industrial meliputi: perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Dari 4 jenis perselisihan tersebut, sesuai dengan pasal 29, hanya dua jenis perselisihan hubungan industrial yang dapat diselesaikan melalui arbitrase yaitu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

            Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, sedangkan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisishan antara serikat pekerja/srikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.
            Pelaksanaan arbitrase dimulai dari pembuatan perjanjian arbitrase oleh para pihak. Perjanjian arbitrase dibuat untuk menyelesaikan perselisihan (disputes settlement) kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Penyelesaian perselisihan tersebut dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih dan dinyatakan secara tertulis (must be in writing) dalam surat perjanjian arbitrase. Dengan demikian apabila perjanjian arbitrase dibuat secara lisan dianggap perjanjian itu tidak ada (never existed) dan tidak mengikat.
            Menurut Pasal 32 ayat (3), perjanjian arbitrase sekurang-kurangnya harus memuat nama, alamat dan tempat kedudukan para pihak yang berselisih, pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan, jumlah arbitrase yang disepakati, pernyataan para pihak untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase dan tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian arbitrase dan tanda tangan para pihak yang berselisih.
            Secara teori perjanjian arbitase dapat dibuat sebelum terjadi perselisihan atau setelah ada perselisihan. Perjanjian arbitrase yang dibuat sebelum perselisihan terjadi dapat dibuat bersamaan dengan perjanjian pokok atau sesudahnya disebut dengan pactum de compromitendo. Misalnya dalam perjanjian kerja bersama yang dibuat antara serikat pekerja dengan pengusaha dicantumkan klausula arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari (future disputes). Ini berarti perjanjian arbitrase tersebut menjadi satu dengan perjanjian pokoknya atau setelah perjanjian kerja bersama ditanda tangani, serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha membuat perjanjian arbitrase tersendiri. Karena perjanjian arbitrase tersebut dibuat sebelum terjadinya perselisihan, maka diperlukan pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai perjanjian kerja bersama (perjanjian pokok) untuk dapat mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang tidak dikehendaki tetapi mungkin akan terjadi, sehingga dapat tercipta pactum de compromitendo yang baik dan terinci.
            Selanjutnya perjanjian arbitrase yang dibuat setelah terjadi perselisihan yang disebut acta compromi yang berkenaan dengan pelaksanaan suatu perjanjian kerja bersama atau berkenan dengan keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Dalam undang-undang ini tidak secara explisit menyebutkan kapan suatu perjanjian arbitrase dapat dibuat para pihak. Bila dilihat kata-kata “pihak yang berselisih”, maka dapat diketahui bahwa perjanjian arbitrase dibuat setelah ada atau timbul perselisihan (acta compromi). Namun demikian tidak berarti para pihak tidak dapat membuat perjanjian arbitrase sebelum timbul perselisihan (pactum decompromitendo).
            Menurut doktrin pacta sun servanda, setiap perjanjian yang dibuat secara sah mengikat dan merupakan undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Oleh karena itu perjanjian hanya dapat dibatalkan atau digugurkan atas kesepakatan bersama para pihak yang membuatnya. Dengan demikian, apabila dalam suatu perjanjian, para pihak telah mengikat diri untuk menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase, maka perjanjian itu “mutlak” mengikat para pihak yang membuatnya. Umumnya dalam perjanjian arbitrase, para pihak dapat memilih arbiter dari 2 jenis arbiter yaitu arbiter ad hoc atau arbiter institusional.
            Yang pertama ialah, Arbiter Ad Hoc atau juga disebut “arbitrase volunter” atau “arbitrase perorangan” yaitu arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, karenanya kehadiran dan keberadaan arbitrase ah hoc ini bersifat insidentil. Artinya kedudukan dan keberadaannya hanya untuk melayani dan memutus perselisihan tertentu yang dimintakan. Untuk mengetahui dan menentukan apakah arbitrase yang disepakati para pihak adalah arbitrase ad hoc dapat dilihat dari rumusan perjanjian arbitrase. Apabila perjanjian arbitrase (pactum de compromitendo atau acta compromis) menyatakan perselisihan akan diselesaikan oleh arbitrase di luar arbitrase institusional. Atau apabila perjanjian arbitrase menyebut arbitrase yang akan menyelesaikan terdiri dari arbiter perseorangan, maka arbitrase yang disepakati adalah jenis arbitrase ad hoc.
            Yang kedua ialah Arbitrase institusional (institusional arbitration) yaitu badan arbitrase yang bersifat permanen yang sengaja didirikan. Pembentukannya ditujukan untuk menangani perselisihan yang timbul bagi mereka atau untuk kepentingan bangsa dan negara yang menghendaki penyelesaian di luar pengadilan. Ketentuan penunjukan arbiter dalam Pasal 33 UU No. 2 Thn 2004 mengatur, para pihak yang telah menandatangani perjanjian arbitrase berhak memilih dan menunjuk arbiter baik arbiter tunggal atau majelis arbiter dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang. Apabila para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter tunggal, maka dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja, selanjutnya apabila para pihak sepakat untuk menunjuk majelis arbiter, maka masing-masing pihak behak memilih seorang arbiter dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sedangkan arbiter ketiga ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk masing-masing para pihak untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase.
            Namun apabila para pihak tidak mencapai kesepakatan untuk menunjuk arbiter tunggal maupun majelis arbiter, maka atas permohonan salah satu pihak, ketua pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri. Dengan ditetapkannya arbiter (tunggal atau majelis) baik oleh para pihak maupun atas penetapan Pengadilan, maka para pihak dengan arbiter membuat perjanjian penunjukan arbiter yang memuat;
            Arbiter yang menerima penunjukan sebagai arbiter tidak boleh menarik diri atau mengundurkan diri kecuali atas persetujuan para pihak. Larangan penarikan diri ini adalah penarikan diri secara sepihak karena dimungkinkan penarikan diri atas persetujuan para pihak. Rasio larangan mengundurkan diri ini sejalan dengan tujuan penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara arbitrase, yang menuntut penyelesaian dalam waktu singkat. Sikap arbiter yang mengundurkan diri seperti ini merupakan hambatan yang sangat merintangi tujuan penyelesain perselisihan dalam waktu singkat. Arbiter yang akan menarik diri harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak dan apabila permohonannya tidak mendapat persetujuan para pihak, arbiter harus mengajukan permohonan pada Pengadilan Hubungan Industrial untuk dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dengan mengajukan alasan yang dapat diterima. Prosedur ini harus dilalui oleh arbiter, tanpa melalui proses seperti ini arbiter tidak dapat menarik diri/mengundurkan diri.
            Pasal 35 tidak menyebut alasan apa yang dapat diajukan arbiter untuk menarik diri. Oleh karena itu, alasan pengunduran diri harus merupakan alasan yang benar-benar serius. Misalnya karena gangguan kesehatan yang dibarengi dengan surat keterangan medis. Bisa juga berupa alasan yang dapat diperkirakan akan menggangu kelancaran pemeriksaan dan penyelesaian fungsi arbitase. Misalnya karena terpaksa melaksanakan tugas jabatan. Larangan bagi arbiter untuk tidak menarik diri terhitung sejak tanggal penerimaan penunjukan arbiter. Selama belum ada penerimaan penunjukan secara tertulis (perjanjian penunjukan arbiter) maka larangan ini tidak berlaku bagi arbiter. Artinya jika proses baru sampai pada penunjukan tetapi belum dibuat secara tertulis, arbiter tersebut bebas untuk menolak.
            Sejalan dengan larangan bagi arbiter untuk menarik diri, para pihak yang telah menunjuk arbiter berdasarkan perjanjian arbitrase pada prinsipnya juga dilarang untuk menarik kembali arbiter yang ditunjuk kecuali ada alasan yang cukup dan bukti otentik yang cukup yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan. Untuk maksud penarikan kembali arbiter, para pihak wajib mengajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri/Pengadilan Hubungan Industrial. Selain alasan tersebut, para pihak dapat mengajukan tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya. Penggantian arbiter yang mengundurkan diri, atau meninggal dunia yang dipilih oleh para pihak, maka penunjukan arbiter pengganti diserahkan kepada pihak yang memilih arbiter.
            Apabila arbiter yang mengundurkan diri atau meninggal dunia adalah arbiter ketiga yang dipilh oleh para arbiter, maka penunjukan arbiter pengganti dilakukan oleh para arbiter berdasarkan kesepakatan, sedangkan apabila arbiter yang mengundurkan diri atau meninggal dunia adalah arbiter tunggal, maka penggantian arbiter ditunjuk oleh para pihak berdasarkan kesepakatan. Sebelum acara pemeriksaan perselisihan dilakukan, yang pertama-tama harus jelas dulu identitas dan kedudukan para pihak dalam perselisihan, juga memuat penjelasan tentang pokok-pokok permasalahan/perselisihan, yang biasa disebut ”positum” atau ”fundamentum petendi” serta apa yang menjadi tuntutan para pihak (petitum). Secara umum telah ada sebutan standar yang sudah diterima masyarakat pada umumnya maupun dalam literatur. Misalnya para pihak adalah penggugat/pemohon dan tergugat/termohon atau dalam istilah asing disebut dengan Claimant dan Respondent.
            Claimant adalah seseorang yang membuat tuntutan atau pihak yang mengambil inisiatif mengajukan tuntutan, sedangkan Respondent ialah pihak yang ditarik atau yang dijadikan sebagai tergugat oleh pihak yang menggugat dalam suatu persengketaan/perselisihan. Dalam UU ini sama sekali tidak memberi sebutan pada masing-masing pihak, tetapi hanya memberi sebutan berupa ”para pihak (party)”. Dari segi tata tertib beracara sebaiknya pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan penyelesaian disebut pihak penggugat. Sedang pihak yang ditarik ke dalam perselisihan disebut pihak tergugat. Dalam setiap perselisihan juga hendaknya dituangkan apa yang menjadi dasar (fundamentum petendi) diajukannya tuntutan sebagaimana dalam pasal 34 ayat (2) huruf b, menyebutkan perjanjian penunjukan arbiter memuat pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil keputusan juga apa yang menjadi tuntutan para pihak (petitum) harus secara jelas dicantumkan.
            Tujuannya adalah selain untuk membatasi permasalahan dan tuntutan, para pihak agar lebih mudah mengotrol arbiter dalam melaksanakan fungsinya. Tata pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis arbiter diatur dalam pasal 41 sampai 48. Asas pemeriksaan perselisihan hubungan industrial di muka arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain. Artinya asas pemeriksaan secara tertutup tidak bersifat mutlak, akan tetapi dapat dikesampingkan apabila para pihak menghendakinya. Asas pemeriksaaan secara tertutup ini bertolak belakang dengan asas pemeriksaaan di muka sidang pengadilan yaitu fair trial, setiap tahap proses pemeriksaan persidangan mesti dilakukan ”terbuka untuk umum”. Pemeriksaan secara tertutup dalam forum arbitrase bersifat ”konfidensial” dilakukan dengan tujuan dan motivasi agar nama baik para pihak dapat terjamin kerahasiaannya sehingga pihak luar tidak tahu adanya perselisihan diantara para pihak.
            Untuk acara pemeriksaan, arbiter memanggil para pihak, dan apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut, maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai. Atau apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa perselisihan dan menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya (verstek). Undang-undang ini tidak memberikan penjelasan apakah terhadap putusan verstek tersebut dapat mengajukan perlawanan (verzet tegen verstek) atau tidak. Pada awal pemeriksaan pada sidang abitrase, apabila para pihak hadir maka arbiter terlebih dahulu harus mengupayakan penyelesaian melalui perdamaian.
            Upaya perdamaian ini dalam ketentuan Pasal 44 bersifat imperatif. Dan apabila dalam sidang tersebut tercapai pedamaian antara para pihak, maka dituangkan dalam suatu akta perdamaian. Akta perdamaian ini didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial untuk memperoleh akta bukti pendaftaran. Dengan dibuatnya akta bukti pendaftaran maka akta perdamaian tersebut menjadi bersifat final dan mengikat (final and binding) serta mempunyai kekuatan eksekutorial (executorial kracht). Artinya apabila salah satu pihak tidak melaksanakan isi akta perdamaian, maka pihak lainnya dapat mengajukan permohonan eksekusi pada Pengadilan Hubungan Industrial setempat untuk memperoleh penetapan eksekusi. Jika perselisihan tidak berhasil didamaikan, pemeriksaan dilanjutkan oleh arbiter dengan memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak untuk menjelaskan secara tertulis maupun lisan tentang pendirian masing-masing (audi et alteram partem) serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendirian (dalil) masing-masing pihak. Pemberian kesempatan yang sama juga berlaku apabila arbiter meminta penjelasan tambahan kepada para pihak atau adanya amandemen terhadap tuntutan, pembelaan serta pendirian para pihak.
            Disamping penjelasan yang disampaikan para pihak dalam sidang arbitrase, pembuktian merupakan hal yang menentukan bagi arbiter untuk mengambil keputusan. Dalam UU PPHI ini, perihal alat bukti yang dapat diajukan sebagai bukti dalam proses pemeriksanaan perselisihan dapat kita temukan dalam Pasal 45 dan 46 yaitu ”dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu” dan ”saksi atau saksi ahli”. Kalau kita bandingkan dengan alat bukti dalam perkara perdata yang teridri dari 5 (lima) alat bukti yaitu, 1). alat bukti surat, 2). alat bukti saksi, 3). alat bukti persangkaan, 4). alat bukti pengakuan, dan 5). alat bukti sumpah, maka alat bukti dalam sidang arbitrase ini sangat limitatif sekali hanya terdiri dari dua macam alat bukti, yaitu alat bukti surat dan alat bukti saksi.
           
Apabila arbiter menganggap pemeriksaaan telah cukup, maka proses selanjutnya adalah pengambilan putusan. Arbiter atau majelis arbiter yang telah memeriksa perselisihan menetapkan suatu putusan untuk menyelesaikan perselisihan yang diperiksa. Putusan Arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum. Ketentuan ini memberikan kebebasan kepada arbiter dalam mengambil putusan, tidak semata-mata berdasarkan peraturan perundang-undangan (hukum) saja tetapi juga berdasarkan perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum. Berbeda dengan Pengadilan Hubungan Industrial dalam mengambil suatu putusan tidak boleh berdasarkan kepentingan umum. Oleh karena itu, maka putusan arbiter dapat berbeda terhadap kasus yang sama dan putusan arbiter terdahulu tidak wajib dibuat sebagai rujukan bagi arbiter lain yang memeriksan perselisihan yang sama.
            Dalam pasal 50 memuat ketentuan yang harus dimuat dalam putusan yang menyangkut syarat formal maupun syarat materiil. Jika dirinci lebih lanjut maka syarat formal yang harus dipenuhi dari suatu putusan abitrase hampir sama dengan putusan pengadilan pada umumnya dan terdiri dari, 1). identitas para pihak (nama para pihak, dan tempat/alamat para pihak); 2). nama dan alamat arbiter; 3). tempat dan tanggal putusan diambil; dan 4). putusan ditanda tangani oleh arbiter, sedangkan syarat materiil suatu putusan arbitrase terdiri dari, 1). pendirian dan kesimpulan arbiter/akhitisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para pihak yang berselisih, 2) dasar alasan pertimbangan yang menjadi dasar putusan, 3). pokok putusan/amar putusan.
            Majelis arbitrase dalam mengambil putusan oleh UU PPHI ini tidak diatur, apabila para arbiter tidak sepakat atau tidak sependapat, apakah dengan sistem suara terbanyak dan sampai dimana kewenangan ketua majelis arbiter dalam pengambilan putusan. Dalam sistem mayorits, apabila majelis arbitrase terdiri dari tiga orang arbiter, maka sistem pengambilan putusan dilakukan dengan suara terbanyak, yang lazim disebut party arbitrare. Dalam sistem pengambilan putusan dengan suara terbayak/mayoritas ini kedudukan para arbiter diletakkan dalam posisi yang sama. Sistem lainnya, yang disebut Sistem Umpire, menganut prinsip, putusan diambil berdasarkan mayoritas, namun apabila mayoritas tidak tercapai, maka arbiter ketiga yang bertindak sebagai ketua majelis sarbiter memiliki kewenangan sebagai umpire untuk memutus sendiri tanpa memperhatikan pendapat memperhatikan pendapat arbiter-arbiter lain.
            Putusan arbitese mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (in kracht van gewijsde) bagi para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap (final and binding). Putusan ini didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan. Karena putusan abiter bersifat final dan berkekuatan hukum yang tetap, maka bilamana salah satu pihak tidak melaksanakan putusan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa saja putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan.

Apabila arbitrase dipilih sebagai lembaga penyelesaian Perselisihan hubungan industrial, adapun tahapan yang akan dilalui adalah sebagai berikut:

            Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tersebut, dengan adanya pembatasan waktu, bahwa suatu perselisihan hubungan industrial harus dapat diselesaikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dipilih sebagai lembaga yang memeriksa dan memutus perselisihan tersebut paling lama dalam jangka waktu 120 (seratus dua puluh) hari sejak perselisihan tersebut didaftarkan/dimintakan penyelesaian secara resmi. Pengadilan perburuhan (industrial court atau labour court), merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan pengadilan negeri adalah merupakan mekanisme baru dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004. Sistim peradilan perburuhan melalui pengadilan hubungan industrial yang cepat, adil, dan murah tidak mungkin dapat terealisasikan di Indonesia, karena Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 masih mendasarkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan menggunakan paradigma lama yaitu “Paradigma Konflik”, bukan paradigma baru yaitu “Paradigma Kemitraan”.




BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan
            Secara institusional penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat diselesaikan baik melalui pengadilan yakni pengadilan hubungan industrial dan di luar pengadilan (out of court) seperti mediasi, konsiliasi dan arbitrase, dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 telah mengakomodir keduanya, meskipun masih perlu dilakukan harmonisasi hukum perburuhan, agar lebih komprehensif dan integral.
Meskipun penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan dan di luar peradilan. Oleh karenanya, ke depan penyelesaian perselisihan hubungan industrial akan lebih populer melalui pengadilan hubungan industrial apabila dibandingkan dengan penyelesaian di luar pengadilan seperti mediasi, konsiliasi dan arbitrase, meskipun secara dan dalam perspektif sosiologis dan antropologis serta sejarah hukum, penyelesaian perselisihan di luar pengadilan (settlement disputes out of court) tersebut sebenarnya sudah ada dan diterima melalui penyelesaian perselisihan dengan musyawarah dan mufakat. Pengadilan hubungan industrial harus dapat membuktikan sebagai lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial guna terwujudnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial cepat, tepat, adil, dan murah serta biaya ringan.
            Arbitrase menurut ketentuan Pasal 1 butir 15 UU No. 2 Tahun 2004 adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Selanjutnya mengenai mekanisme pelaksanaannya adalah dimulai dari pembuatan perjanjian arbitrase oleh para pihak yang berselisih dan diikuti dengan pelaksanaan perjanjian arbitrase tersebut. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan putusan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa saja putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan.